“Ini ramai sekali pemberitaan ghosting, ya?” Guman saya perlahan.
“Apaan, Bu?” Tanya Azka,
sambil tetap memainkan game di Hp-nya. Rupanya dia mendengar gumaman saya.
“Itu, ghosting yang
lagi viral. Kaesang sama Felicia,” jawab saya. “Ngikutin beritanya tidak?” tanya
saya lanjut.
“Ngga terlalu,” jawab Azka
singkat. “Biasa saja, mungkin karena anak presiden, jadinya viral,” lanjutnya
lagi.
“Emang kamu ga sakit hati
kalau di-ghosting?” tanya saya penasaran ingin tahu pendapat anak gadis.
“Ghosting itu kan kalau
belum pacaran. Biasa sih ghosting itu.”
What? Saya kaget.
“Tapi kan ini sudah serius, 5 tahun lho Ka, pacarannya. Kalau kamu seperti itu bagaimana?”
“Punya cadangan laaaah.”
What?
Mamaknya tambah pusing mendengarnya.
Ah,
sudahlah. Anggap saja anak gadis belum kenal cinta dan belum tahu rasanya jatuh
cinta sepenuh hati 😊
Terus terang jadi teringat
sebuah kisah seseorang, yang pernah menjalin hubungan dengan seorang, sampai begitu
dekatnya dan dijanjikan untuk dinikahi. Tetapi karena sesuatu dan lain hal,
akhirnya yang ada hanyalah janji-janji palsu, janji-janji tinggal janji. Sang
pria ghosting, bahkan menyalahkannya telah diguna-guna. Sekarang dia
telah berhasil move on. Sudah lupa berapa lama dia menangis, berapa lama
terkadang dia histeris. Sudah lupa juga, apakah ini sebetulnya pernah terjadi
atau hanya gosip hoax yang beredar di kalangan terbatas.
By the way, ghosting
sebetulnya bukan merupakan hal baru dan tidak hanya menimpa kaum wanita, tetapi
juga bisa menimpa para pria.
Dilansir oleh psychologytoday.com, bahwa kurang lebih 50% pria dan wanita pernah mengalami apa yang dinamakan di-ghosting, hampir sama jumlahnya dengan pelaku ghosting itu sendiri. Jangankan di dunia nyata, fenomena ghosting pun pernah terjadi kepada Cinta yang di-ghosting Rangga selama sekian purnama lamanya.
Terlepas bahwa fenomena ghosting itu adalah hal yang umum, efek emosional yang ditimbulkan bisa sangat merusak, terutama bagi orang-orang yang memang sudah memiliki rasa kurang percaya diri.
Ghosting! Apa sih itu?
“Kamu seperti hantu, terus menghantuiku, ke mana pun tubuhku
pergi, kamu terus membayangi aku.”
“Salahku biarkan kamu bermain dengan hatiku.”
(Kosong – Dewa 19)
Ada seorang wanita bertemu atau
berkenalan dengan seorang pria. Mereka tertarik satu sama lain dan kemudian
menjalin hubungan. Awalnya si pria selalu memberikan perhatian, chat setiap hari,
kirim “good morning message” dan lainnya yang membuat si perempuan
akhirnya luluh dan jatuh hati, merasa bahwa hubungan mereka sudah sangat dekat.
Nah, pada kondisi si perempuan telah benar-benar jatuh hati, tiba-tiba si pria tidak
pernah menghubunginya lagi. Komunikasi putus sama sekali, tidak ada kabar
berita. Si perempuan pun menghubungi si pria hanya untuk mendapati pesan yang
tidak pernah terbaca atau terjawab.
Itu namanya ghosting. Seperti
hantu kali yak, tidak terlihat bayangannya pun juga.
Untuk kamu yang belum pernah
mengalami di-ghosting, itu sama dengan mempunyai seseorang yang kamu percaya
bahwa dia peduli sama kamu, baik itu teman ataupun pacar, tiba-tiba menghilang
tanpa kontak, tanpa ada penjelasan sama sekali, baik itu melalui telepon, email
ataupun teks.
Sakit hati? Pastinya sih.
Bukan hanya itu, kita pun jadi
bertanya-tanya, apa salah kita, apakah perkataan kita yang menyakitkan, apakah
dia sudah tidak suka, apakah dia menemukan seseorang yang lebih dari kita,
apakah kita kurang cantik, dan lainnya. Pada akhirnya segala pertanyaan-pertanyaan
yang tidak terjawab tersebut malah membuat pihak yang di-ghosting merasa
tidak percaya diri dan semakin memperkuat bahwa dirinya ngga layak untuk
dicintai.
Salah siapa?
Bukan salah siapa-siapa.
Kenapa Orang Melakukan Ghosting?
Ghosting
sesungguhnya bukan tentang personalitas orang yang di-ghosting, tetapi lebih mengungkapkan
kepribadian dari si peng-ghosting itu sendiri. Jadi ghosting sendiri hampir
mirip dengan “avoidance” yang cenderung untuk menghindari kedekatan emosional
yang terlalu intim. Lebih lanjut menurut livescience.com, orang-orang yang
tidak ingin mempunyai kedekatan emosional, mereka akan menderung bertindak
seperti ghost alias hantu.
Banyak faktor sih sebetulnya yang
membuat orang melakukan ghosting. Sebagian orang yang percaya dengan takdir
melihat bahwa ghosting adalah sesuatu cara yang dianggap wajar dilakukan
untuk mengakhiri sebuah hubungan. Terkadang juga orang melakukan ghosting
karena mereka ingin menghindari konfrontrasi atau menghindari menyakiti perasaan
yang di ghosting (kenyataannya lebih sakit di-ghosting, iya ngga
sih?), atau malah seringkali untuk melindungi diri mereka sendiri dari rasa
tersakiti. Dia sendiri mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya telah
menyakiti perasaan yang lain dengan sangat parah.
Meskipun sebetulnya ghosting
ini bukanlah cara yang benar untuk mengakhiri hubungan dengan seseorang, alasan-alasan
kenapa orang melakukan ghosting sangatlah kompleks. Bisa jadi mereka
yang melakukan ghosting tidak pernah betul-betul mencintai kita, atau
mereka sibuk sehingga menjalin hubungan bukan menjadi prioritas, mungkin mereka
juga berpikir bahwa hubungan yang selama ini telah terjalin lama tidak akan
berjalan ke depannya.
Bagaimana Menyikapi Ghosting?
Terus bagaimana dong jika kita
menjadi korban ghosting?
Pada umumnya sih ya, orang
akan memberikan saran untuk melepaskan si “hantu”. Tapi, percaya deh, itu susah
untuk sebagian orang, apalagi jika kita termasuk tipe orang yang sensitive dan romantis,
bukan tipe si cuek yang penuh percaya diri.
Si cuek mungkin akan bilang: “tanpa
elo, gue bisa hidup”, “emang elo siapa?”, “elo yang rugi kehilangan gue”, “ga
ada yang bakal sama kayak gue”, dan lainnya.
Tapi orang yang sensitif
mungkin akan berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan menyalahkan diri sendiri.
Jadi bagaimana dong?
Intinya sih memang kita harus
banyak “mengobrol” dengan diri kita sendiri. Bagaimana kita memandang diri kita
sebagai sesuatu yang tiada ternilai harganya. Diri kita sangat berharga untuk
diperlakukan seperti itu. Apa kita mau terus menerus diperlakukan seperti itu. Kita
tidak bisa mengontrol perasaan orang lain, tapi kita harus bisa mengontrol diri
kita sendiri. Kita yang menentukan batasan-batasannya, di mana orang lain tidak
mempunyai hak untuk melanggar batasan kita.
Jika kita tergoda untuk terus
berhubungan dengan si “hantu”, ingat dia telah menunjukan ketidakmampuannya
untuk menangani konflik dengan cara yang sehat. Tanya balik ke diri kita,
apakah kita memang ingin bersama dengan orang seperti ini?
Kalau sudah lama menjalin
hubungan, akan lebih sulit melupakan. Mending handphone-nya diganti
saja, yang tidak ada nomor kontak si “hantu”, atau hapus nomor si “hantu” dari handphone
kita, sehingga ketika kita tergoda untuk menghubungi sedikit lebih susah.
Tidak ada nomor kontak, tapi
biasanya kita pun tergoda untuk mencuri dengar bagaimana kabarnya sekarang,
apakah dia bahagia, apakah dia bersama yang baru, dan kabar lainnya dari
orang-orang yang kemungkinan dekat dengannya. Hmmm, kalau seperti ini sih,
sepertinya kita harus mencari kegiatan lain yang memungkinkan kita lupa untuk
mencuri dengar. Misalkan dengan traveling bersama group yang baru kita kenal, memulai
hobi baru seperti berkebun atau melakukan charity, bisa juga mulai
memikirkan untuk misalkan melanjutkan sekolah lagi. Pikirkan apa yang dulu
pernah kita inginkan tapi belum terlaksana.
Awalnya akan susah. Si “hantu”
pasti akan nempel terus kemana pun kita pergi. Tapi, dengan berjalannya waktu,
semuanya akan berjalan dengan baik. Pada suatu saat di masa depan, mungkin kita
akan bersyukur bahwa hal ini terjadi.
Love me before you …
cintai diri kita sendiri sebelum dirinya.
Terakhir, biarkan lagu Tulus,
Bumerang, mengiburmu. Ngga ada hubungannya sih, saya cuma suka lagu-lagunya Tulus aja.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar. Silahkan tinggalkan jejak, ya.
Follow my media social for any update of articles
Twitter: @mandalagiri_ID
Instagram: mandalagiri_ID