Di Malaka, sangat beruntung sekali penginapan kami
berseberangan dengan Masjid Kampung Kling yang terkenal sebagai salah satu masjid
tertua di Kota Merah Malaka. Saya bertekad untuk menunaikan sholat Shubuh di masjid,
esok hari.
Tidak seperti halnya di Singapura, di Malaka saya mendengar
suara adzan Shubuh yang menembus kayu-kayu jendela tanpa kaca, kamar saya yang
kebetulan letaknya paling depan. Alangkah senangnya hati saya begitu mendengar
suara tersebut. Tak sabar, saya membuka jendela kamar. Menara masjid terlihat
dari tempat saya berdiri. Walaupun suara
adzannya tidak sekencang di Indonesia, saya sudah merasa senang, minimal
suasananya lebih terasa dibanding saat di Singapura.
Bergegas saya bangunkan Azka, mengajaknya ke Masjid Kampung
Kling. Terbayang, asyiknya sholat berjama'ah berbaur dengan masyarakat sekitar.
Suasana guest house masih gelap, penghuninya masih terlelap dalam peraduan.
Mengendap-ngendap, berusaha tidak membuat kebisingan, kami berjalan keluar.
Menara Masjid Kling, terlihat dari kejauhan. |
Seorang nenek berambut putih pendek dengan baju rumahan,
terlihat mengendarai sepeda berlawanan dengan arah kami berjalan. Dari wajah dan mata sipitnya, saya menebak
bahwa nenek tersebut keturunan China. Tidak mengherankan, karena Malaka sejak
dahulu kala adalah tempat bercampurnya berbagai suku bangsa.
Sebagai bekas kerajaan Islam, Malaka masih menyimpan
tanda-tanda kebesarannya. Terdapat banyak masjid tua di Malaka: Masjid Kampung
Hulu, Masjid Tengkera, Masjid Kampung Kling, dan lainnya. Tidak sulit untuk
menemukan lokasi-lokasi masjid dan tempat bersejarah lainnya di Malaka, karena
di banyak sudut jalan ada peta informasi yang memudahkan para pelancong.
Masjid Kampung Kling yang terletak di Jalan Tukang Besi
merupakan salah satu bangunan warisan Malaka tempo dulu. Salah satu keunikan
masjid-masjid di Malaka ini adalah arsitekturnya yang merupakan paduan dari
berbagai macam budaya seperti Sumatera, China dan Melayu. Masjid Kampung Kling
sangat dipengaruhi oleh China, terlihat dari banyaknya ornamen-ornamen China
juga marmer yang menghiasi bangunan. Dilengkapi
dengan air mancur yang cantik, membuat mesjid ini sangat menawan.
Keunikan Masjid Kampung Kling, salah satunya adalah karena berada
satu komplek dengan kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, yaitu kuil umat Hindu
sebagai bentuk persembahan terhadap Ganesha dan kuil Cheng Hoon Teng, yaitu
kuil umat Budha sebagai bentuk persembahan terhadap Dewi Kuan Im. Tidaklah
heran jika dulu Jalan Tukang Emas ini dikenal juga sebagai Jalan Harmoni.
Menunjukan kehidupan yang harmoni antar umat beragama di kawasan perkampungan
China Malaka ini.
Arsitektur Masjid Kling sangat menawan, merupakan perpaduan Sumatera, China & Melayu |
Di sini lah pertama kali aku mendengar suara adzan, disusul
kemudian bunyi kloneng lonceng dan bunyi lonceng lainnya secara berurutan di
pagi hari. Pagi hari tidak hanya umat Islam yang bergeliat, tetapi para biksu
juga terlihat sedang mempersiapkan untuk upacara ibadah. Sepintas saya melihat
para biksu menyalakan dupa dan menyimpannya ditempat pemujaan.
Memasuki area Masjid Kampung Kling, serasa berada di tanah
air. Jema'ah belum berdatangan. Tempat area perempuan pun masih kosong. Di
pintu masuk masjid tergantung gamis-gamis panjang di gantungan besi panjang
beroda.
"Ibu, banyak kotoran burung," bisik Azka, sambil
menunjuk ke arah karpet masjid yang cantik, yang sayangnya terkena onggokan
kecil putih kotoran burung.
"Di belakang sini bersih Ka," sahut saya pelan,
takut mengganggu jemaah pria di jajaran depan. Azka menggelengkan kepala,
"Kaka sholat di penginapan saja Bu."
Sampai menjelang sholat subuh hanya 3 orang yang ada di
deretan barisan laki-laki, 1 imam dan 2 ma'mum, sedangkan area perempuan hanya
kami berdua. Ah, mungkin di Malaka, hanya para pria yang berangkat ke masjid,
pikir saya.
Sholat Shubuh di Masjid Kling, Malaka |
Sedikit kecewa melihat hanya segelintir orang yang sembahyang
di masjid. Jumlahnya pun jauh lebih sedikit dari jema'ah masjid kompleks di
tanah air. Tapi, hal ini tidak menyurutkan langkah untuk mengenal masjid lain
yang akan ditemui sepanjang perjalanan di "jalur sutra". Dan next
destination adalah masjid di Kuala Lumpur.
Masjid bersejarah di Kuala Lumpur yang terkenal adalah Masjid
Jamek. Letaknya hanya 1 stasiun pemberhentian kereta komuter dari stasiun Pasar
Seni, tempat kami menginap di daerah China Town. Berjalan kaki pun sebetulnya
bisa. Turis asal Kazastan, yang ternyata punya hobi mirip menyambangi bangunan
mesjid, bernama Nurbek bilang, "arsitektur Masjid Jamek sangat
menawan."
Sedikit sedih mendengar komentarnya tentang Masjid Jamek,
yang sebenarnya ingin saya sambangi, tetapi
karena keterbatasan waktu akhirnya hanya sempat menyaksikan Masjid Jamek dari
atas Jembatan belakang Pasar Seni.
Dan, sebagai gantinya, terdamparlah kami, sholat dhuhur di Masjid
Negara Kuala Lumpur.
Ada taman air di dekat masjid negara, cuaca panas pun menjadi adem |
Tidak seperti halnya masjid lainnya dengan ciri khas kubah
melengkung bentuk dome, Masjid Negara memiliki ciri arsitektur yang lebih
sederhana dan artistik. Di teras dan halaman masjid terdapat kolam air dengan
pancaran air dari berbagai titik. Sehingga walaupun cuaca panas, adanya unsur
air membuat efek dingin di sekitarnya.
Bentuk kubah masjid negara |
Azka sangat antusias, 1 hari menjelang kepulangan ke tanah
air, alerginya belum menunjukan tanda-tanda. "Ibu, kenapa orang itu
berpakaian ungu? Cantik sekali Bu," tunjuk Azka, matanya menatap
segerombolan orang berjubah ungu sedangkan perempuan dilengkapi hijab menutupi
kepala mereka, sebagian rambut poninya terlihat dibalik jilbabnya yang
berkibar. Sesaat saya melongo, ini asrama atau masjid?
Saya jadi ragu untuk memasuki area masjid, secara saya cuma mengenakan kaos dan
celana jeans.
Mesjid negara ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan |
"Harus menggunakan jubah ungu untuk masuk masjid?"
tanya saya pada anak perempuan yang duduk di teras masjid.
"Itu buat yang bukan Islam. Awak tak apa, kerana
muslim", jawabnya sambil menunjuk ke arah jilbab yang saya kenakan.
Ah, saya baru mengerti. Rupanya Masjid Negara selain
didatangi umat Islam, ramai juga didatangi para pelancong non Islam. Sehingga
pengurus masjid menyiapkan jubah untuk mereka kenakan sebelum memasuki area
masjid. Mereka terlihat antusias bertanya seputar Islam pada para petugas.
Lucunya, mereka berselfie ria dan exciting dengan kostum serba tertutup
tersebut. Saya mengamati ada orang
Korea, Jepang, negara-negara Eropa, dan lainnya. Yang perempuan terlihat cantik
dalam balutan busana muslimah.
berpose bersama uni - uni cantik |
Seperti halnya masjid di Indonesia, jumlah orang yang
melaksanakan sholat di Masjid Negara pun bisa dihitung dengan jari. Barisan
laki-laki pun tidak sampai 2 shaf.
Tiba-tiba aku merasa bahwa Islam memang kembali kepada
keterasingan. Bangunan masjid yang megah dan luas hanya berisi segelintir
orang. Mungkin tidak hanya di Singapura ataupun di Malaysia, di Indonesia pun
serupa. Tiba-tiba masjid hanya menjadi sebuah bangunan heritage yang didatangi
wisatawan untuk sekedar melancong dan mendengarkan sejarahnya.
Ternyata perjalanan terjauh dan terberat bukanlah pergi
menuju penjuru dunia. Bukan pula perjalanan meraih titel sarjana, bukan pula
backpacker bersama anak-anak. Perjalanan terjauh dan terberat adalah menuju masjid.
Walaupun hanya beberapa langkah dari mesjid, tak jarang kita lebih memilih
mengerjakan sholat di rumah. Tak jarang kita memilih menarik selimut kembali
saat adzan subuh berkumandang daripada bergegas menuju Masjid.
Mudahnya bepergian ke seluruh penjuru dunia, Jepang, Korea,
Turki, Amerika, tetapi berat sekali kaki melangkah menuju rumah-Nya. Jarak yang
terbentang beberapa langkah tiba-tiba berubah menjadi jarak tidak terhingga.
*Sebuah renungan perjalanan, Agustus 2015
Baca cerita sebelumnya: Perjalanan Terjauh dan Terberat (Part-1)
bagus banget mbak ya disana, masjid masjid bersejarah berdiri gagah tak lekang dimakan waktu
BalasHapusAsik yah travelling ke tempat yang memiliki tantangan kayak gini.
BalasHapusTraveling ke tempat baru tambah pengalaman baru, salah satunya dengan melihat langsung sikap toleransi antar umat beragama.
BalasHapusarsitekturnya bagus ya mbak
BalasHapusSeru dan tempatnya bagus banget ya Mbak. Pingin travelling sampai sono :)
BalasHapusSubhanallah, masjidnya cakep mba, bersih, penuh warna jadi betah juga buat lama2 di sana, semoga udaranya juga sejuk
BalasHapusMbak, paragraf terakhir itu 'jleb' banget buat saya. Daleeemm :)
BalasHapusWah ada foto dalamnya Masjid Kampung Keling. Saya waktu itu cuma lihatnya luarnya aja
BalasHapusKalimat penutupnya bikin hati tertujes2 nih :/
BalasHapusMasjidnya indah ya yang di Malaka itu, sayang jamaahnya dikit, kondisinya kyk ngingetin kondisi di tanah air.
BalasHapusKalimat terakhirnya mak jleb banget mbk TFS :)
tertampar banget baca kata2 terakhir :(.. bener ya mbak, perjalanan terberat itu memang ke mesjid... rumahku itu cuma beberapa langkah doang dr mesjid, tp aku malu hrs bilang, aku blm pernah sholat di sana -__-. lebih milih slalu di rumah...
BalasHapusYa Allah mba, jd malu karena jarang ke masjid tp ambisinya pengen keliling dunia, hikss
BalasHapusMelaka nyaman banget yaa buat pejalan kaki, apalagi kalo bawa anak kecil pasti senang diajak main ke outdoor yang nggak begitu ramai dari kendaraan lalu lalang.
BalasHapusJadi, perjalanan kali ini untuk menelusuri sejarah islam di negara tetangga ya? :)
asyiknya mbak. pengen deh suatu saat bisa ke malaka juga
BalasHapusKlo gak salah di Malaka banyak bangunan portugis juga ya
BalasHapusSeru mbak, salut bisa traveling sama anak-anak, ke Malaka pula :)
Ngeliat fotonya, jadi kangen sama Malaka. Kota yang masih jadi destinasi favoritku di Malaysia :) seru perjalanannya mbak, jadi keingat solat di Masjid Kling. Aku menginap di ruko persis di depannya dulu :)
BalasHapusomnduut.com
oh my, ternyata bagus yah dalamnya si Mesjid ini, suka banget sama warna tegelnya. Btw waktu aku ke sini, mesjidnya lagi direnovasi dan ga sempat mampir ke dalam, kayaknya musti coba stay 1 atau dua hari di Melaka deh buat eksplor
BalasHapus