“Sometimes it's the
journey that teaches you a lot about your destination.” (Drake)
---
Agustus 2015
Malam telah semakin larut. Mata saya sudah terasa berat,
ibarat lampu yang sinarnya meredup. Jam menunjukkan pukul 12 malam, saat
laporan hasil rapat kemarin selesai. Setelah menekan perintah shut down, saya bergegas bangkit dan menuruni
tangga. Saya masih harus menyiapkan dan mengemas barang-barang ke dalam tas
ransel. Besok malam sudah siap berangkat untuk menyusuri Jalur Sutra Gong
Traveling bersama Azka dan ke 12 peserta lainnya. Barang bawaan harus seringkas
mungkin karena perjalanan melintasi 2 negara dengan berbagai moda transportasi
akan lebih nyaman dengan bawaan yang tidak memberatkan pundak.
Kembali ke kamar atas, terdengar suara nafas Azka yang
tiba-tiba memberat dan berbunyi. Aku panik, kuambil nebulizer dan kubangunkan Azka untuk memasangnya masker di mukanya.
Aduh, ya Allah, aku mohon jangan sampai kambuh dan bertambah parah alerginya
Azka. Besok malam, kami sudah harus berangkat.
"Kapan berangkat?" tiba-tiba suara suamiku yang
menahan kantuk terdengar.
"Besok malam," jawabku singkat, tertunduk, dan
khawatir dia akan menyuruh saya membatalkan rencana keberangkatan kami besok.
"Bawa saja nebulizer-nya.
Jaga-jaga kalau alerginya kambuh," sahutnya dengan mata masih terpejam.
Kulirik 2 tas ransel di sampingku. Hmm...ditambah nebulizer dan tas kecil berisi
dokumen-dokumen perjalanan! Aku menarik napas panjang. Ah, sebelum berangkat
pun barang bawaan sudah terasa berat di pundak.
Bagi kamu, kemana perjalanan terberat dan terjauh yang pernah
kamu lakukan?
Apakah ke Singapura? Jepang? Eropa? Amerika?
Atau, backpacker ke luar negeri bersama anak yang
sewaktu-waktu kambuh alerginya, melintasi Jalur Sutra selama 5 hari . . .
Traveling melintasi 2 negara, membawa anak usia 10 tahun,
saat alergi dan asmanya kumat, membuatku sedikit was-was. Bagaimana jika
tiba-tiba asmanya bertambah parah di tengah perjalanan? Tanpa ayahnya, ditambah
perjalanan backpacker yang menuntut stamina prima karena banyak mengandalkan
kekuatan kedua belah kaki dan juga pundak, tentunya akan menjadi perjalanan
yang cukup melelahkan.
Tak sadar saya melirik kembali kedua buah ransel dan tas
kecil saya.
Terpaksa dengan berat hati saya meninggalkan nebulizer. Bismillah, Azka akan sehat
dan kuat. Surat keterangan dokter yang saya dapat kemarin, saya pastikan masuk di dalam tas dokumen.
Saya berdoa dalam hati mudah-mudahan obat-obat cair Azka tidak kena sweeping di bandara, karena penerbangan
internasional tidak memperbolehkan membawa cairan lebih dari 100 ml.
Akankah perjalanan ini menjadi perjalanan terberat dan
terjauh bagiku?
---
Kisha o matsu kimi no yoko de boku wa (aku berdiri di sampingmu menunggu kereta)
Tokei wo kinishiteru (tidak
bisa tidak melirik jam)
Kisetsuhazure no yuki ga futteru (salju turun dari langit, bukan musimnya)
Suara Kiroro sayup-sayup menelisik kuping saya. Sambil menahan kantuk dengan mata setengah tertutup, saya mencoba meraih telepon genggam yang seingat saya terselip di bawah bantal. Jam berapa ini? Sudah tiba waktu subuh?
Jemari saya menyentuh layar touch screen LG G3. Suara Kiroro pun berhenti. Terlihat dilayar
pukul 4.30 pagi. Ah, sudah tiba waktu subuh. Dengan susah payah, saya memaksa
tubuh untuk bergerak bangun. Berat sekali! Tubuh rasanya remuk redam setelah
seharian kemarin menyusuri Marina Bay menonton pertunjukan spektakuler, laser
dan kembang api dalam rangka perayaan ulang tahun emas Singapura, kemudian
dilanjutkan menyusuri kawasan Chinatown sebelum akhirnya kembali terkapar di
Adamson Inn, penginapan cozy di area Bugis.
Bu
Nufus beserta anaknya yang berusia hampir sama dengan Azka, Alya dan Nabila masih tertidur nyenyak di ranjangnya masing-masing.
Saya memanjat tangga yang menghubungkan ranjang bawah dan atas, melongok Azka yang
juga masih meringkuk nyenyak dibuai mimpi. Hmmm . . . selagi yang lain masih asyik
di pulau kapuk, lebih baik saya mandi dengan air hangat untuk menghilangkan
penat dan kantuk. Dengan suasana guest
house masih sunyi senyap, kita bisa sepuasnya mandi air hangat tanpa
gangguan.
Jam menunjukan pukul 5.30 pagi. Saya ingat perbedaan waktu
Indonesia dengan Singapura adalah 1 jam. Berarti sekarang pukul 4.30 WIB, pikir
saya. Jarum jam terus berputar. Lho, kok tidak ada tanda-tanda adzan dari
Mesjid Sultan yang dua bangunan dari Adamson Inn. Saya menyingkap tirai
jendela. Masih gelap. Sesekali terlihat mobil lewat di ruas Jalan Pinang. Kubah
masjid berwarna kekuningan muncul dibalik gedung sebelah. Ah, sudah waktunya
Shubuh mungkin, pikir saya. Kemudian saya memutuskan untuk sholat subuh 2
raka'at, walaupun saya tidak tahu apakah sudah masuk waktunya atau belum. Masjid
Sultan dekat sekali, tapi saya ragu dan takut pergi sendirian untuk menunaikan
sholat di sana.
"Satu-satunya mesjid di Singapura yang adzannya boleh dikeraskan adalah di Masjid Sultan ini," kata Gola Gong, saat kami melintasi masjid kemarin siang, menuju penginapan kami di Adamson Inn. Sama sekali tidak terlintas bahwa yang dimaksud boleh dikeraskan itu adalah panggilan adzan samar-samar yang saya dengar kemudian. Ah, panggilan yang sayup sekali dari arah Masjid Sultan.
Bukan suara adzan yang seperti sering terdengar di tanah air.
Walaupun sangat dekat dengan masjid, hanya terhalang dua bangunan ruko dari
Adamson Inn, suara adzan di sini hampir tidak terdengar. Dan Adamson Inn
bukanlah sebuah bangunan hotel dengan peredam dinding yang bisa menghalangi
suara masuk dari luar. Saya sampai harus mendekati jendela agar bisa mendengar
suara adzan.
Tiba-tiba Saya dilanda kerinduan suasana Shubuh di tanah air,
di mana suara adzan yang kencang saling bersahutan dari beberapa mesjid,
mengguncang keheningan dini hari, membangunkan umat. Dada terasa sesak, dan kelopak mata mulai
dipenuhi genangan air.
Masjid Sultan yang terletak di Muscat Street, Singapura.
Masjid ini merupakan masjid terbesar di Singapura dan merupakan landmark daerah Bugis. Wisatawan banyak
mendatangi areal masjid yang dibangun oleh Sultan Hussain, bangsawan Melayu
dari Johor setelah perjanjian dengan Stanford Raffless. Letaknya berdekatan
dengan istana sultan yang sekarang telah berubah fungsi menjadi Malay Heritage
Centre.
Jika kamu berjalan mengelilingi area ini, akan terasa suasana
perpaduan budaya muslim Arab, Turki, Melayu, India, juga Sumatra dan Jawa. Di sini
sebelah Malay Heritage Centre, didominasi oleh bangunan-bangunan tinggi khas
Eropa. Menyusuri jalur ini seolah lost in
time. Saya de javu, seolah
terlempar ke abad lampau.
Terus berjalan melewati Bussorah Street, suasana Timur Tengah
semakin terasa lebih kental. Dahulu, Bussorah Street ini bernama Jalan Sultan.
Sebagian jalan yang dekat dengan Masjid Sultan terkenal dengan sebutan Kampung
Kaji. Diduga kata ini berasal dari bahasa Jawa "haji", yang
dilafalkan "kaji". Ya, sampai tahun 1970-an, area ini merupakan
tempat berkumpul muslim Asia Tenggara yang mau berangkat haji menggunakan kapal
laut, menuju ke dan kembali dari Jeddah. Tak
heran jika area Bugis ini banyak ditemukan restoran makanan halal, seperti restoran
India, Arab, bahkan warung Padang pun ada.
Mau tidak mau, di benak saya melayang wacana larangan penggunaan
speaker untuk adzan di masjid. Ah, akankah ke depannya Indonesia seperti
Singapura? Suara adzan, panggilan untuk sholat tidak boleh berkumandang lagi
atas nama tolerasi beragama?
Jika
di Singapura ada Masjid Sultan, saya pun penasaran dengan wilayah antara
Singapura dan Malaysia. Entah kenapa saya selalu
tertarik dengan bangunan kuno, terutama masjid. Saya ingin mengetahui
sejarahnya dan maknanya bagi masyarakat sekitar. Tujuan kami berikutnya adalah Malaka.
Malaka, negeri yang pernah terkenal dan berjaya dengan
kesultanan Islam. Rasanya sudah tak sabar mengunjungi negeri ini. Azka
pun seolah berkompromi dengan alerginya di hari pertama perjalanan ini.
Alhamdulillah, dia tidur dengan nyenyak setelah seharian tanpa rewel menjelajah
Bugis, Marina Bay dan China Town.
(Bersambung part-2)
Wah jadi ngiler liat foto-fotonya mba duh ^-^
BalasHapusHiks,semoga cepat sembuh Azkanya :)
BalasHapusGak sabar nunggu kelanjutan ceritanya di part 2
BalasHapusFotonya apik2 banget. Seru :)
BalasHapusSuka bacanya Mbak. Kapan part 2na? colek2 aku ya Mbak :)
suara adzan meski kuat tapi tetep aja buat hati adem. saya selama jadi perantauan di Medan kalau cari kontrakkan pasti nyari yang suara adzan masih kedengeran sampai ke kos :)
BalasHapusDiantos part 2nya mba :)
BalasHapusseneng klo baca ulasan mba klo jalan-jalan jadi keinget lg yg pas mba di Thailand itu hahaha
Alhmdlh semoga perjalanannya lancar2 ya. Btw, gambarnya bagus mbak, jadi pengen kesana juga. Ditunggu part2 nya ya
BalasHapusTinggal nunggu cerita perjalanannya, membaca ini terasa sejuk dingin seperti diserang angin subuh :)
BalasHapusBerasa kaya ikutan ke Singapura. :D Itu masjidnya keren banget.
BalasHapusFoto-fotonya cakep. Selalu sehat ya Azka.
BalasHapuswahhhh, enaknya jalan sama keluarga.. apalagi keluarga sendiri, apalgi sama orang tua atau mertua eak hehe
BalasHapusseneng banget sama gaya berceritanya mba Levina deh..., gak sabar menunggu part 2 dst :)
BalasHapusYa ampun adek Azkha, kasihan bun. tpi untungnya gak rewel dan bs kompromi di hari pertama perjalanan ya bun.
BalasHapusbunda sering bgt sih jalan" keluar negeri, urusan pekerjaan atau wisata bun? asyik ya klo urusan pekerjaan bs smbil menikmati perjlanan dan dpt pengalaman jg.
bunda, have fun terus ya. smoga adek azkha cpet smbuh dan total jg :)
ditunggu kelanjutan part 2 nya bun.
saya jd menikmati jg perjalanan ke malaysia nya nih :)
Wah seru sekali perjalanannya, ditunggu part keduanya ya maaak..
BalasHapusSaya ke masjid Sultan belum. Jadi kangen jalan kaki di Singapur 😀
BalasHapusSuasana kotanya melayu sekali tapi kok bisa ya adzan mesjid sayup-sayup begitu, kayak ada rasa sedih-sedihnya gitu
BalasHapusdisana ga boleh mengeraskan adzan yya mba ?
BalasHapuswah cuma berdua dgn anak mbak? aku mah kalo ama anak, harus ama papinya ;p... krn si kaka lbh deket ama si papi sih, jd bakal bisa lbh anteng anaknya :D.. kalo sama aku sendiri mah nyerah lah -__-..
BalasHapusselalu suka ama daerah2 di singapur ini... walopun ttp aja yg paling aku suka daerah clarke quay nya ;p... soalnya ada bungy jumping ama giant swing yg slalu aku coba tiap kali kesana:D
Asyiknya bisa jalan-jalan bareng anak. AKu pasti berat banget, Teh. Soalnya kalo ke mana-mana pasti bareng bapaknya. Dan anak-anak kalau di luar selalu pengen sama bapaknya. Saya mah pan balanja. Riweuh ku barang belanjaan. Hihihi...
BalasHapusSedih bgt mba, atas nama toleransi ya jadi bgitu :'(
BalasHapusNgga kbayang traveling sama anak2 tanpa ayahnya, pernah bawa dua bayi2ku, lumayan riweh hihiii
Seruuu...
BalasHapusAlhamdulillah azkanya kuat diajak jalan kaya gitu ya. Ak blm pernah nih ngajak anak2 backpakeran.
Kalo traveling ke daerah terutama non muslim emang selalu bikin kangen azan. Biasanya setiap magrib dengerin azan, ini malah nggak ada.
BalasHapusdi tempat tinggal temanku juga ada yang adzan nya gak boleh dikerasin pake speaker, jadi paling kedenger suara bedugnya
BalasHapusBeruntungnya si kecil sudah ikut mamanya travelling kemana-mana :)
BalasHapus