Amarah menggelegak di
dada Kidang Garungan. Hatinya
sakit seperti tertusuk ratusan ujung pedang tajam. Tangan kanannya mengapai
langit, mencoba mengemis bantuan raihan tangan seseorang di atas sana. Seperti
inikah dendam yang berkobar di dada Bandung Bandawasa atas pengkhianatan Loro
Jongrang, sampai dia mengutuk Jongrang menjadi arca? Beginikah kekecewaan
Sangkuriang atas pengkhinatan Dayang Sumbi, sampai perahu pun terbalik dan
menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
“Kauuu . . ?” Matanya nanar memandang Shinta
Dewi. Kemarahan dan kesedihan
terpancar di kedua matanya, atas pengkhianatan perempuan cantik yang telah
menerima pinangannya.
Shinta Dewi menggigit
ujung bawah bibirnya, tapi tekadnya telah kuat. Lirikan matanya kepada para
prajurit, mengisyaratkan untuk terus menimbun tubuh Kidang Garungan. Daripada menikah dengannya, lebih
baik kubiarkan dia tertutup timbunan tanah di sini, bisik hati Shinta Dewi.
Dengan sisa-sisa
tenaga, Kidang Garungan berusaha meronta untuk keluar dari kubangan yang
dibuatnya. Apa daya kekuatannya semakin melemah. Terucaplah sebuah tuah di
negeri yang terkenal dengan sebutan negeri para dewa. Tuah bahwa seluruh
keturunan Shinta Dewi akan berambut gimbal.
***
“Yuk, kita menyusuri Pesona Jawa Tengah di Jalur Selatan!”
(Ajakan
suami di tahun 2009)
Kisah Kidang Garungan
membuat saya menerima ajakan suami berkendara menyusuri jalur selatan Jawa
Tengah. Tujuan utama adalah suatu tempat di mana terdapat cerita kawah utama
yang selalu berpindah tempat mirip kidang atau kijang. Kemarahan Kidang
Garungan dipercaya terlihat pada Kawah Sikidang yang selalu meletup dan
mengeluarkan asap, bahkan konon kabarnya kawah utama sering berpindah tempat.
Dataran tinggi yang disebut sebagai atapnya Pulau Jawa, yang juga merupakan
saksi bisu kejayaan Dinasti Sanjaya.
Perjalanan kami 7 tahun
yang lalu bermula dari Cilegon menuju Losari di daerah perbatasan Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Setelah bermalam diiringi alunan irama kereta api sepanjang
malam di Losari, kami meneruskan perjalanan menyusuri Jawa Tengah. Dari Losari
kami berbelok menuju ke kanan, menyusuri Jalur Selatan Jawa Tengah. Orang
bilang, jalur ini lebih menantang karena banyak kelokan tajam. Bukan kami
namanya jika tidak tertarik dengan hal yang diluar kebiasaan. Ketika kebanyakan
pengendara melalui Jalur Pantura yang lurus bebas hambatan, maka kami mengambil
Jalur Pantai Selatan, menyusuri Tanjung, Prupuk, Bumi Ayu, Aji Barang, Wangon,
Kroya, Kebumen, Purworejo, kemudian naik menuju Magelang dan berbelok di jalur
tengah menuju Wonosobo dan Banjarnegara.
Walaupun jalurnya penuh
kelokan tajam, tapi saya tidak menyesal memilih Jalur Selatan. Selain
menawarkan keindahan alam di sepanjang jalan yang dilewati, kita juga bisa
melihat aneka ragam kehidupan sehari-hari masyarakat di sepanjang jalur ini.
Sepanjang Brebes terlihat bahwa hampir sebagian besar masyarakat
bermatapencaharian dari bercocok tanam. Sejauh mata memandang penuh dengan
gundukan bawang merah. Para petani bawang sedang memanen hasil tanamannya. Lucunya
budidaya bawang merah ini ternyata telah diperkenalkan sejak tahun 1950-an oleh
warga keturunan Tionghoa.
Ah, katanya beli bawang
di sini lebih murah daripada di kota. Terbersit di hati untuk membeli bawang
merah saat pulang nanti.
Memasuki Prupuk dan
Bumiayu, sesekali terdapat turunan dan tanjakan. Cuaca pun terkadang berubah
dingin. Hmmm, pada saat itu mungkin kami berada dekat dengan Gunung Slamet.
Saya dengar di daerah sini terdapat wisata Guci yang terkenal dengan pemandian
air panasnya. Kali ini kami lewatkan dulu Guci.
Kami juga berpapasan
dengan beberapa aliran sungai. Sepertinya itu adalah Sungai Serayu dan Sungai
Cipamali yang pada zaman kerajaan Galuh dan Mataram Kuno menjadi pembatas
wilayah. Entah kenapa, setiap melewati sungai-sungai ini, dada terasa berdesir
aneh. Saya membayang seorang putri cantik bersama rombongan bangsawan Kerajaan
Padjadjaran, diiringi prajurit dan para dayang berlayar menuju negeri yang
dikenal dengan nama Majapahit. Kidung Sundayana mengatakan bahwa laut yang biru
tiba-tiba berubah menjadi merah. Semerah darah yang tertumpah di Bubat.
Di beberapa tempat, saya
tidak bisa mengetahui posisi kami karena sinyal GPS yang tiba-tiba hilang.
Dalam keadaan seperti itu kami hanya bisa mengandalkan petunjuk jalan dan
bertanya kepada masyarakat sekitar yang dengan senang hati memberi petunjuk
arah.
Memasuki Purworejo terasa
suasana yang tenang dan damai. Tak heran jika kota ini dikenal dengan sebutan
Kota Pensiun. Di salah satu sudut jalan terdapat patung jenderal besar yang
selalu dihormati, Panglima Besar Sudirman. Ah, ini dia, panglima yang tidak
gila hormat dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Memandang patungnya cukup
membuat rasa nasionalisme saya meletup-letup.
Jenderal Hitam terus
dipacu menuju Magelang sebagai tempat pemberhentian kami berikutnya sebelum
menuju Wonosobo. Kami tidak ingin kemalaman di jalan. Ada dua balita dan 2
orang tua sepuh bersama kami, juga tambahan kakak ipar yang memerlukan
perhatian khusus. Tentunya kekuatan fisik mereka tidak bisa disamakan dengan
kami yang muda dalam menempuh perjalanan panjang.
Walaupun sebetulnya ini adalah perjalanan yang menguras fisik dan mental saya,
dengan kedua anak balita yang selalu berebut perhatian, tidak ada yang mau
mengalah, belum ditambah ibu yang sukar tidur nyenyak sepanjang malam.
Belakangan saya tahu bahwa beliau mengidap darah tinggi yang menyebabkan susah
tidur nyenyak.
“Borobudur, candi Budha
terbesar dan terlengkap di dunia, dengan 2.672 panel relief, 504 patung Budha, dan
72 stupa berlubang.”
Dan inilah kami,
berhasil mencapai puncak Candi Borobudur yang terkenal sampai ke mancanegara. Candi
Budha cantik peninggalan Wangsa Syailendra yang pernah bertahta di Tanah Jawa.
Tidak ada yang aneh pada bangunan ini. Hanya bebatuan dan situs yang sudah
mati. Tapi inilah jejak kejayaan nenek moyang. Bagaimana batuan itu disusun
satu demi satu sampai membentuk satu kompleks bangunan yang megah, membuat kita
berdecak kagum. Stupa-stupa yang dibuat dengan presisi, panel-panel relief
yang sangat detail dan lengkap, menjadikan Borobudur sebagai kuil Budha
terbesar dan terlengkap di dunia.
Dikatakan pada masa ini
Jawa Tengah bagian utara menganut agama Hindu dan Jawa Tengah bagian selatan
beragama Budha. Walaupun berbeda keyakinan, di bawah pemerintahan Rakai Pikatan
dari Wangsa Sanjaya dan istrinya Pramordawardhani dari Wangsa Syailendra yang
beragama Budha, mereka hidup saling berdampingan dan menghormati. Hmmm,
kerukunan antar umat beragama yang mana saat ini saya rasakan makin memudar.
Tak jauh dari Magelang,
sebuah candi Hindu megah pun berdiri. Prambanan. Menjadi saksi sejarah
bagaimana kerukunan antar umat terjalin. Saya berandai-andai, sekiranya setiap
diri kita bisa kembali ke akar rumput nilai-nilai kearifan yang telah
ditanamkan leluhur kita terdahulu, kita mungkin akan terhindar dari perpecahan.
Beranjak ke sisi
sebelah barat Magelang, tepatnya di kabupaten Wonosobo, katanya selain terdapat
Telaga Warna dan Kawah Sikidang, terdapat pula kompleks candi Hindu. Kompleks
Candi Arjuna, kompleks Candi Gatot Kaca, kompleks Candi Dwarawati dan kompleks
Candi Bima. Duh, ngga sabar untuk segera berangkat menuju ketinggian 2.000 meter
di atas permukaan laut. Hasrat ingin mengetahui bentuk candi-candi peninggalan
Kerajaan Kalingga, merasakan amarah Kidang Garungan, semakin menderu laksana
angin. Ngga sabar rasanya menuju Dieng Plateau.
“Dieng, tempat para
Dewa dan Dewi bersemayam.”
Kondisi jalan menuju
Dieng, sedikit berbeda dengan jalur yang telah kami tempuh sebelumnya. Terdapat
banyak tanjakan dan jalanan pun berkelok-kelok. Terang saja, karena kami akan
menuju tempat yang disebut-sebut sebagai atap Pulau Jawa. Ya, Dataran Tinggi
Dieng adalah dataran tertinggi yang ada di Jawa. Jika Himalaya memiliki Tibet,
maka Pulau Jawa memiliki Dieng.
Semakin tinggi kami berkendara,
udara semakin sejuk. Saya menekan tombol power window di samping saya. Angin dingin
berhembus menerpa wajah.
“Wow! Segarnya!” Saya
ingat waktu itu pikiran dan perasaan saya terbawa rileks dengan suasana
pegunungan. Kedua anak saya yang masih balita berebutan mengeluarkan kepalanya.
Mungkin mereka juga merasakan kelegaan setelah sekian lama dikurung dalam sebongkah
rangka logam yang berjalan. Truthfully, berada di sini seolah lepas dari kepenatan yang selama ini mendera.
Kami banyak melewati
lahan pertanian. Di kanan kiri kami penuh dengan bermacam jenis komoditi
tanaman. Yang saya ingat, kami melewati perkebunan kubis, kol, bawang, dan kentang.
Ibu mertua saya tidak berhenti-berhentinya berdecak kagum sambil berteriak-teriak,
“Atis! Uatisne!” Yang berarti dingin
sekali udaranya.
Kami kebingungan mencari
kompleks candi juga Kawah Sikidang, hingga kami akhirnya menemukan sebuah tanah
lapang tempat parkiran, yang ternyata dekat ke tempat wisata Telaga Warna dan
Telaga Pengilon.
Brrrr . . . Saat kaki menginjak tanah, sesaat setelah keluar dari dalam mobil, udara
dingin langsung menyergap. Segera saya mengenakan baju hangat ke tubuh si krucil. Area parkiran penuh dengan kabut
putih yang terlihat seperti asap di penglihatan saya. Bau belereng, samar-samar tercium oleh Saraf Olfaktori. Aroma mistis memenuhi ruang udara. Menyenangkan
berada di sini. Di ketinggian 2,000 meter di atas permukaan lain, dengan kesunyian
dan ketenangan yang menenangkan batin dan pikiran.
Telaga Warna dan Pengilon
terletak berdampingan. Konon kabarnya Telaga Warna bisa berubah warna dari
waktu ke waktu. Tapi pada saat saya datang, telaga ini hanya menampakan warna
hijau. Sedangkan Telaga Pengilon yang berarti telaga cermin, airnya lebih jernih.
Pada musim kemarau katanya sih lebih indah, dengan latar belakang Gunung Prau.
Selain kedua telaga, di kawasan ini juga terdapat beberapa gua yang sepertinya
dikeramatkan. Ada Gua Jaran, Gua Sumur, Gua Pengantin dan Gua Semar.
Menurut pemandu yang
membawa kami, gua-gua ini sering didatangi orang dengan tujuan-tujuan tertentu.
Gua Jaran misalnya, didatangi oleh pasangan yang ingin segera memperoleh keturunan.
Di Gua Sumur terdapat sebuah mata air yang dipercaya dijaga oleh Eyang
Kumolosari, katanya sih berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Gua
Pengantin, dari namanya saja bisa ditebak. Ya, gua ini didatangi oleh orang
yang ingin segera memperoleh jodoh. Sedangkan Gua Sumur, yang konon dijaga oleh
Eyang Semar, kabarnya sering didatangi oleh para raja di Jawa dan pemimpin.
Ah, entahlah. Bagi
saya, mendatangi tempat-tempat seperti ini bukanlah untuk meminta-minta
sesuatu. Cukup sekedar tahu cerita dibaliknya. Toh segala sesuatu, hanya pada
Allah, kita meminta.
“Tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya.”
(QS : Al-An’am)
Saat keluar dari
kawasan Telaga Warna, menuju kembali ke tempat parkiran, terlihat seorang turis
wanita yang diperkirakan berasal dari Jepang, menolak memasuki Telaga Warna.
Menurut dia, harga yang ditetapkan untuk wisatawan asing lebih mahal daripada
wisatawan lokal. Tetapi banyak juga wisatawan mancanegara yang tertarik datang ke Dieng, yang saya sebut "Atap Langit Pulau Jawa".
“Lanjut ke Kawah
Sikidang dan kompleks candi Dieng kan?” Tanya saya yang sekaligus berupa ajakan
kepada suami. Dia tidak menjawab karena keburu handphone-nya berbunyi. Saya kurang mengerti apa yang
dibicarakannya, yang saya tahu sepertinya ada seseorang meninggal. Setelah itu,
suami terburu-buru memberitahu ayah mertua. Terlihat mereka berbicara serius.
Ah, siapakah yang meninggal?
“Kita harus buru-buru kembali
ke Serang. Kayaknya kita ngga bisa menuntaskan wisata ke seluruh tempat di
Dieng. Kakaknya Abah (kami menyebut ayah mertua dengan sebutan itu) meninggal,”
jelas suami saya, mendekati saya.
Saya pun membeku. Dinginnya
kabut Dieng seolah membekukan pikiran. Saya tidak mengerti kenapa peristiwa ini
terjadi tiba-tiba. Padahal ini telah direncanakan jauh-jauh hari. Saya benci!!!
Sudah menempuh perjalanan jauh, dan hanya tinggal sekitar 800 meter untuk
sampai di tempat yang saya idamkan. Amarah merasuki diri saya. Mungkin seperti
amarahnya Kidang Garungan yang terpendam bersama Kawah Sikidang yang bahkan
tidak bisa saya kunjungi.
“Ini kan diluar kendali
kita. Nanti suatu saat kita kembali ke sini ya, untuk menuntaskan mengunjungi
tempat-tempat wisata di Jawa Tengah ini,” suami membujuk. “Kita juga kan belum
ke Guci, Pekalongan, Semarang, Ambarawa, Baturaden. Semua itu masih pesona Jawa
Tengah.”
Saya pun tersadar. Ya,
tidak ada sesuatu pun terjadi atas kehendak-Nya. Sehelai daun jatuh pun, atas
sepengetahuan-Nya. Saya ikhlas. Di balik semua semua yang terjadi pasti ada
alasan yang baik. Perjalanan ini juga mengajarkan saya mengenai berharganya kebersamaan bersama keluarga. Tanpa mereka, perjalanan akan terasa hambar.
Saya terpesona padamu, Jawa Tengah! Kelak saya kan kembali menginjakkan kaki, menuntaskan rencana yang tertunda, mencari tahu tentang legenda Kidang Garungan dan Anak Gembel. Till, we meet again, Jateng!
Ah, satu lagi tulisan yang bikin saya nyesel kenapa nggak sekalian ke Dieng pas sudah sampe Banjarnegara beberapa bulan kemarin. Nggak salah Teh Levina menyebut Dieng sebagai atap Pulau Jawa. Dari tempat saya di Pemalang aja keliatan lho pebukitan di Dieng itu. Ya keliatan biru-biru dari kejauhan gitu. Suatu saat harus ke sana! Harus! Hehehe...
BalasHapusSaya belum puas ke Dieng nih Mas Eko. Belum eksplore semua. Pengen tour the Java lagi nih .. sekalian ke Lombok. Haha. Butuh cuti berapa lama yak? #langsungliatkalenderkerja
HapusWah keren banget.
BalasHapusMemang, tempat-tempat wisata di Jawa Tengah ini menarik banget. Saya pernah sekali, ke Baturaden yang ada di Purwokerto. Tempatnya baguuus banget.
Saya belum ke Baturaden. Iya, katanya cakep yak. Saya baru lihat-lihat foto-foto teman. Waktu itu mau sekalian ke sana ... eh, belum kesampean. Masih banyak PR nih ...
HapusMemang jawa pantas menjadi surganya pulau di indonesia. Pantas saja katanya koesplus tongkat kayu dan batu jadi tanaman hehe
BalasHapusSebenernya Indonesia itu kaya raya yak. Alamnya aja udah mendukung abis. Ya itu, tongkat kayu jadi tanaman ..
HapusSayang belum teroptimalkan potensinya.
widihhhh ajak aku jalan-jalan mbak, sudah lama banget nih aku gak ke jateng
BalasHapusIya..saya pun kangen dengan Jateng. Pengen Tour the Java sama Mbak...sampai Lombok. Xixi. Cita-cita ...
HapusWaktu ke candi borobudur, pas banget tengah ramai sekali di sana. Karena berbarengan dengan hari libur. Keluarga kami menginapnya di Magelang yang sampai saat ini saya kembali merindukan tempat tersebut. Karena airnya dingin, kemudian udaranya itu segaaar banget, plus di belakang rumah Bude, langsung disapa pemandangan sawah lengkap dengan gunung merapi yang tampak berkabut waktu itu.
BalasHapusSaya jadi kepengen ke sana lagi deh, nginep berlama2 gitu :D. Semoga sukses yaa Mba :)
Waktu pertama kali ke Magelang, nginepnya di hotel sebelah. Hotel kecil sih, tapi belakangnya sawah dan deretan perbukitan .. cakep pemandangannya. Apalagi di pagi hari.
Hapusinget jaman pas masih kuliah, sering banget pergi ke dieng.. emang tempat yang keren :-)
BalasHapusAhi hi hi jujur ya mbak kalau liburan ketempat yang banyak pengunjung mancanegara jadi bukan berlibur lagi mbak tujuannya tapi jadi berburu photo dengan bule, ahi hi hi jadi seru deh nyari bulenya, ahi hi hi.
BalasHapusWaah, kenapa tidak sekalian Mampir di Jepara mbk, banyak situs bersejarah peningalan Ratu Kalinyamat lo...
BalasHapusBorobudur sama Prambanan udah sering. Ehehe. Kalo Dieng belum pernah. Hufft. :(
BalasHapusBtw, jadi beli bawang merah? Beneran murah, ya? Ahaha.
Desain foto post nya keren mbak. Kayak kalender gitu.
BalasHapusbyk org udh menginjakkan kaki ke candi borobudur yg terkenal ini, candi prambanan dan telaga itu dan lainnya. saya malah msh mendekam di rumah aja :D hihi
BalasHapusliburan bersama keluarga jd terasa hangat bgt ya bun momentnya.
utk tmpt yg belum dikunjungi/tertunda, semoga bs segera terbayar kesana ya bun.
ada hikmah pasti dibalik smua itu, turut berbelasungkawa jg bun.
ohya, tulisannya bunda selalu inspiratif, edukasinya jg enak dibaca.
moga menang ya bun^^ fighting bunda^^
belum kesampaian ke Borobudur :)
BalasHapusAku bisa komentar apa ini mbak ? seumur-umur aku belum pernah ke Jawa Tengah padahal aku paling penasaran sama Candi Borobudur itu. :D
BalasHapus