Hari ini saya dapat
kiriman melalui WhatsApp. Isinya foto-foto persiapan untuk lamaran saudara sepupu
yang rencananya akan menikah di bulan Januari nanti. Fotonya membuat saya
berdecak kagum. Hantarannya banyak sekali! Setiap jenih hantaran pernikahan
disimpan di dalam kotak kaca yang beralaskan kayu berukir, dan di sudut atas
kaca berhiaskan lempengan ukiran emas.
“Waah, keren
banget!” Seru saya seraya memanggil Emak. “Mak, lihat deh, hantaran nikahannya.”
Si Emak pun
berdecak kagum juga melihatnya. “Pasti mahal dong yak. Emang kerjanya di mana
sih?”
Nah, ini dia! Kenapa
ya setiap pesta pernikahan selalu dihubungkan dengan tingkat penghasilan atau
pekerjaannya? Semakin besar pesta pernikahan seseorang, menunjukkan tingkat
status sosial seseorang. Tidak peduli apakah memang untuk membiayai pesta
pernikahan itu perlu tahunan untuk mengumpulkan uang, atau uang pinjeman, atau
memang dasarnya kaya raya yak.
Untuk menjadi raja
dan ratu sehari, tak jarang pasangan pengantin harus mengeluarkan modal yang
cukup besar. Untuk sewa gedung, catering, rias pengantin, mahar, cincin nikah, pre
wedding photo, dokumentasi pernikahan, urus-urus surat-surat pernikahan,
souvenir, baju untuk para saudara biar seragaman, belum jika calon pengantin
berasal dari daerah yang berbeda, ada budget tambahan untuk penginapan pihak
keluarga laki-laki.
Pengeluaran dan
tenaga akan lebih banyak lagi jika banyak rentetan acara yang mendahuluinya
pesta pernikahan itu sendiri. Seperti perkenalan kunjungan keluarga perempuan
ke keluarga laki-laki, kunjungan balasan, lamaran, pernikahan. Itu yang
singkatnya, belum ada tambahan upacara pemberian gelar dan sebagainya. Ya, untung
sih kalau punya penghasilan besar atau orang tua dan saudara bisa full support
untuk membiayai.
Sekali seumur
hidup. Itu yang sering kita dengar. Betul banget, bisa jadi memang itu once in lifetime (dengan catatan ngga
nikah lagi). Sangatlah wajar jika pasangan pengantin menginginkan pesta
pernikahan yang tidak terlupakan.
Sedikit berbeda
dengan saya. Bagi saya, pernikahan bukanlah mengenai satu hari itu saja. Tapi
ada puluhan tahun atau puluhan ribu bulan di hadapan kita. I don’t want to be in bad debt just because of one day.
Kalau dipikir-pikir,
wajar jika orang bilang saya “slebor”.
Dengan bahasa lain, suka menabrak aturan-aturan yang umum berlaku. Misalnya
soal pesta pernikahan yang sedang dibicarakan di atas. Eits, jangan men-judge
dulu yak.
Disaat kebanyakan
pasangan pengantin menggelar pesta pernikahan, kami justru melawan arus. Pernikahan
kami terbilang cukup sederhana jika dibandingkan pesta-pesta pernikahan pada
masanya, apalagi dibandingkan pesta pernikahan sekarang. Malah awalnya, kalau
bisa ijab kabul saja, ngga perlu pakai pesta, apalagi kalau sampai 7 hari 7
malam.
Entahlah, apakah
saat itu kami kekurangan dana atau memang karena rasi bintang Gemini yang
mempengaruhi sifat bebas saya. Tapi kalau dipikir ke belakang, jika seandainya
saya punya uang satu milyarpun, saya akan tetap memilih pernikahan seperti itu.
Uangnya lebih baik saya pakai keliling Eropa deh, ke Cordoba, Al Hamra, dan
Turki yang merupakan places that I want
to visit badly. Jauh sebelum 99 Cahaya di Langit Eropa, Cordoba & Al Hamra
telah menjadi impian saya, selain Mekah & Madinah.
Tapi sebetulnya
sih pertimbangannya sederhana kenapa saya memilih yang tanpa ribet. Kayaknya saya
ngga sabaran dengan segala tetek bengek rentetan kegiatan pesta pernikahan.
Pikiran saya, kenapa sih ngga dibuat simple dan efisien. Haha, otak matematika
saya mulai keluar kalau kayak gini. Kebayang harus berdiri sepanjang hari di
pelaminan dengan riasan tebel.
Ngomong-ngomong berdiri
di pelaminan seharian, ingat cerita teman yang menggunakan adat pernikahan Padang
dengan hiasan mahkota yang berat, belum dengan aksesoris yang melekat di baju
pengantinnya. “Kebayang ngga berdiri lama dengan pakaian dan aksesoris seberat
itu? Kepala pening saking beratnya, tapi kita tetap harus senyum,” ceritanya
mengenang pesta pernikahannya dulu. “Udah gitu, laki gue, setiap ada tamu berdiri,
terus duduk lagi, berdiri, duduk, berdiri, duduk. Masalahnya setiap kali gerakan
ini, nyenggol hiasan mahkota rambut. Uuuugh, sakitnya!!”
Saat rias
pengantin pun, saya juga sedikit rewel. Saya ngga mau dandanan yang tebal.
Maunya yang soft dan natural. Saya juga ngga mau alis saya dicukur-cukur. Duh,
heran deh kenapa harus cukur alis segala yak. Wah, pokoknya saya menolak segala
jenis kanibalisme terhadap wajah saya. Again,
untungnya, perias pengantinnya ya teman dekatnya Mama, jadi ya bisa dinego.
Lain halnya dengan teman saya, protes ngga mau cukur alis, periasnya yang
mutung. Terpaksa deh pasrah katanya. Sebetulnya sih kalau dipikir, wajar juga
si perias pengantin mutung ngga mau merias. Mungkin mempertaruhkan kredibilitasnya
sebagai perias pengantin yak.
Well, untuk menggelar pernikahan sesederhana
ala kami, bukanlah semulus apa yang dipikirkan orang. Mungkin orang bilang
pernikahan sederhana kok pusing dan ruwet? Ya, sebetulnya karena melawan arus
kebiasaan, ya banyak pertentangan dari sana-sini. Alhamdulillahnya orang tua
saya bisa menerima keinginan saya, walaupun sebetulnya mungkin jauh di lubuk
hati, mereka menginginkan pesta pernikahan saya diselenggarakan sebagaimana
kebiasaan, apalagi saya anak pertama. Thanks ya Mama & Bapak.
Belum lagi
tantangan dari sekitar. Masa sih ngga ngundang ini ngga ngundang itu. Masa cuma
sederhana saja. Uuurgh, pusing juga
sih jadinya. Tapi akhirnya sih saya pikir mau sesederhana apapun dan mau
semewah apapun, pasti ada omongannya. Just
go ahead. Lama-lama juga gosip akan tergantikan dengan gosip yang lain.
Hahaha.
Beberapa waktu
sebelumnya sempat ada kontroversi mengenai masalah nikah sederhana tapi bisa
punya rumah setelahnya daripada mewah tapi dapat hutang. Menurut saya sih mau
gaya apapun, semua balik lagi ke kepribadian dan kesanggupan kita. Walaupun
kita misal termasuk yang sanggup mengadakan pesta mewah tapi kalau kepribadian
kita tidak suka hal yang seperti itu ya jatuhnya akan terpaksa. Dan, jangan malu juga dengan pernikahan yang sederhana. Just make your own style and appreciate other couple’s choice.
Ada yang mau
sharing mengenai cerita pernikahannya atau persiapan pernikahan? Feel free to comment ya.
Ngapain mbak nikah pake pesta heboh, cukup ijab kabul aja di KUA. Ngirit !
BalasHapusHabis itu syukuran, orang satu RT diundang, yang sederhana aja. Diomong orang? Dih bodo amat ! Mereka kan gak ngasih kita makan, jadi kenapa harus dipikir pusing. Paling digosipin 3 hari juga udah kelar.
Daripada pesta gede abis duit 100 juta, mendingan duitnya gw pake DP rumah, ada bekasnya. Lah buat pesta, mana ada bekasnya. Cuman prestige doang.
Hidup sederhana aja, nggak usah pusing mikirin omongan orang. Bener apa kata mbak, nikah itu gak cuman sehari.
Iya..cuma terkadang banyak benturan juga sih. Nah, itu kita perlu mengerti semua pihak..ngerangkul semua. Kalau orang lain mungkin kita bisa cuek. Nah, yg repot adalah kalau dari keluarga sendiri. Memang setelah menikah..perjalanan ke depan masih panjang..bukan hanya sekedar hari itu saja. Itu juga perlu dipikirin sih. Perlu DP rumah, perlu dll...hehe.
HapusSaya jadi inget omongan ustadz saya dulu. Katanya, yang memberatkan dalam suatu pernikahan (di zaman modern ini) itu bukanlah proses mencari-jodoh, bukan kesiapan mental, bukan mas kawin atau segala macem. Tapi: Budaya.
BalasHapus'Budaya' (tanda kutip) lah yang memberatkan. Budaya di kita, yang mengharuskan ini-itu segala macem, membuat prosesi pernikahan menjadi ribet dan memberatkan (baik dari segi finansial maupun tenaga). Hehe.
Hmmm, bener juga sih Pak Ustadz-nya. Sebetulnya ya walimah juga perlu sih sebagai syiar. Cuma mungkin harus disesuaikan dgn kondisi masing-masing dan ngga memaksakan diri. Semua pihak harus saling menghargai.
HapusSuka serba salah sih, seperti perayaan ultah anak di sekolah. Mungkin saya berpikir ngga ada salahnya dong saya ngerayain ultah anak setahun sekali. Tapi misua berpikiran, bayangkan katanya kalau ada anak yang karena kita, jadi pengen merayakan ultah di sekolah juga sampai maksa orang tuanya, sampai akhirnya orang tuanya maksain diri. Kan, jadi garuk2 kepala saya.
Saya kapan yah bisa jadi raja? #efekjomblo :D
BalasHapusSuatu saatnya nanti pada waktu yang tepat, tempat yang tepat dan pasangan yang tepat pastinya. Hehe. Yakin, pasti saat itu akan tiba...#tsaaaah...
HapusMbaa, kadang ada juga anak yang mau sederhana saja. Tapi orangtua yang nggak mau. Itu pengalaman saudaraku dan temanku juga.
BalasHapusIyaaa...memang seperti itu. Tidak selamanya berlangsung sesuai keinginan. Banyak sih alasannya. Dan saya bisa mengerti kekhawatiran orang tua. Terus terang kadang saya suka agak merasa bersalah sama orang tua, karena selama ini saya hanya berbicara mengenai apa yang saya mau, dan kebanyakan orang tua mendengar dan mengabulkan permintaan saya.
HapusAh untunglah dulu pas dirias saya ga mau di cukur alis apalagi dicukur bulu jidad saya yang lumayan panjang2 hahaha...
BalasHapusNgomong2 nikahan memang pengennya sederhana tapi tau sendiri mba di kita klo yg sederhana ntar dibilangnya wah hamil duluan tuh makanya ga mau rame2 hehhee cape deh. Kembalikan saja kepada yng nikahnya deh klo siap ngontrak abis resepsi gede2an mangga, klo nikah sederhana siap diomongin orang jg mangga yang jalanin kita yang komenin orang lain xixixi
Haha..iya Mbak. Itu salah satu alasan. Takut dibilang hamil duluan. Btw, sebetulnya buat saya sih mana saja okay, tergantung kesiapan pengantin. Tapi ya yang mampu ngga mesti memandang sebelah mata atau nggosip hamil dulu jika ada temannya yg hanya nikah di masjid saja. Kasian gitu Mbak..xixixi. Yang pasti sih semoga menjadi Keluarga Samara.
HapusKarena kami sama-sama anak perantau, nikahnya sangat sederhana, karena memang dana sangat terbatas, hahaha.
BalasHapusMungkin karena berasal dari keluarga sederhana, jadi keluargapun tak banyak menuntut apa-apa.
Alhamdullillah, sudah menjelang 24 tahun, usia perkawinan kita.
Iya Mbak..disesuaikan. Hehe. Tapi ya itu kita juga ga bisa egois memaksakan kehendak kita. Saat kita pengen sederhana, ternyata orang tua berlainan keinginan, ya harus bisa menyeimbangkan.
HapusWah udah lama ya Mbak 24 tahun. Bentar lagi 25, udah mau silver yak...xixi. Semoga selamanya langgeng ya Mbak.
Wah, tentang pernikahan. Semoga yang jomblo disegerakan biar merasakan. Hahah..
BalasHapusMengenai pernikahan buatku juga gak mau yang terlalu mewah. Pengennya sih yang sederhana aja, biar gak terlalu berfoya-foya. Biar mewah cinta kami aja.
Aku jadi inget istrinya temen yang nikah pakai adat Padang. Itu katanya cweknya udahnya sampai nangis grgr pusing, keberatan mahkota itu..
Tapi kerenlah adat padang itu. Aku suka kl liat adat pernikahannya :D
Haha..iya Mbak. Kita yang ngeliatnya seneng yak, pakai adat. Sama kayak temen orang Padang, mahkotanya berat banget katanya, berasa sakit kepalanya. Boro bisa senyum saat foto katanya.
HapusThe same gemini, pemikiran saya dan mba hampir sama ya, haha... Saya pernah bilang ke tante (krn tinggal dg beliau) kalau nanti saya nikah, akad aja trus kita ke restoran aja sekeluarga, haha...
BalasHapusHaahhahaa, gokil aku bacanya. Tapi emang iya sih, pesta pernikahan itu ribet, aku pengennya nanti juga yg sederhana aja. Dan, setuju bgt sama Mbak, kalau punya duit mending buat keliling Eropaaaaahhh :D
BalasHapusDulu waktu nikah, sy malah g mau pake riasan. Eh ternyata pas difoto hasilnya kurang bagus. Terpaksa deh dirias demi foto yg lebih oke
BalasHapusAku jg sukanya yg biasa aja mba. Tapi bpk maunya beda huhu alhasil yaudah ikut bpk. Cuma konsep acara aku yg buat.. suamiku jg Gemini.. Santai kaya di pantai yaa hihi
BalasHapus