Our death is not an end if we can live on in our children and the
younger generation.
For they are us, our body only witted leaves on the tree of
life.
(Albert Einstein)
Siang itu matahari panas terik. Sudah beberapa hari ini tidak
turun hujan, sehingga udara menjadi lembab. Adzan dzuhur beberapa menit lagi
akan berkumadang. Jalanan kompleks sudah mulai sepi. Anak-anak yang biasa
bermain di sekitar rumah pun kelihatannya sudah mulai memasuki rumahnya.
Tiba-tiba
suara tangisan memecah kebisuan siang. Awalnya aku tidak peduli. Tetapi tangis
anak perempuan itu makin keras dan menyayat hati.
"Ma,
siapa yang nangis? Kenapa?" teriakku kepada mbaknya anak-anak, yang
kebetulan sedang berada di depan garasi rumah.
Terdengar
si mbak seperti sedang menengahi perkelahian. Terdengar teriakan anak
laki-laki, diiringi jeritan anak perempuan, bercampur suara si mbak.
Tangisan yang makin keras memaksaku beranjak keluar.
Terlihat
si anak laki-laki menyeret paksa si anak perempuan. Tangan kanannya memegang
uang 2.000 rupiah. Usia mereka sepertinya tidak terpaut jauh. Dari raut wajah
mereka, dapat dipastikan adik dan kakak.
"Ayo
Aisya! Jangan aleman kamu!" maki
anak lelaki itu, sambil berusaha menarik paksa tangan adiknya.
Adiknya
semakin meronta. Si kakak terlihat makin kesal, dan plak! tangan si kakak
mendarat di pipi adiknya. Tak hanya tangan, kakinya pun mendarat di tulang
kering adiknya.
"Ya
ampun, itu adiknya kalau dipukuli sakit!" teriakku dari balik pintu garasi.
"Sabar
kakak, biar adiknya berhenti dulu nangisnya,” lanjutku lagi.
Tetapi
si kakak kelihatannya tidak menggubris kata-kataku. Kelihatan raut wajahnya
semakin panik dan ketakutan. Si adik semakin ketakutan bersembunyi di balik
badan si mbak. Sepintas, terlihat kedua belah kakinya penuh dengan lebam
kebiruan.
"Ma,
antarkan saja pulang, kasihan," pintaku. Si anak laki-laki makin panik. Kedua tangannya
memegangi kepalanya, sambil teriak-teriak pusing. Kemudian melampiaskan
kekesalannya dengan mengeluarkan bahasa-bahasa kebun binatang.
Rupanya
kedua anak tersebut tinggal di bedengan kontrakan di kampung sebelah. Mereka
tinggal bersama dengan neneknya. Ibunya, menurut cerita anak lelaki tadi,
tinggal Jakarta. Dia ketakutan neneknya akan marah. Menurut cerita
neneknya, kakaknya memang sering memukuli adiknya.
Entah
bagaimana selanjutnya nasib anak perempuan itu. Terbayang tamparan ke mukanya,
tendangan ke tulang kering kakinya. Tangisannya yang menyayat hati. Bagaimana
dia bersembunyi di balik badan si mbak seolah minta perlindungan. Mau tidak mau
mengingatkan pada kedua anak perempuanku, yang mungkin masih sebaya dengan
anak-anak tadi, terutama Aisha, putri bungsuku. Entahlah mungkin karena
kesamaan nama keduanya.
---
Peristiwa
siang hari tadi bermain terus dipikiranku. Sulit sekali mata ini terpejam
walaupun malam telah larut. Terlintas berita dan video yang beredar tentang
anak sekolah yang di-bully
temannya. Ingat bocah SD Renggo yang
tewas dianiaya karena sebuah pisang? Ingat bocah kelas SD di Sumatra &
Makasar yang tewas dikeroyok temannya?
Kasus-kasus
penganiayaan yang terjadi membuatku miris dan mengelus dada. Apa yang mereka
lakukan sudah melenceng dari batas kewajaran prilaku usianya. Hanya karena
masalah sepele, emosi seorang anak menjadi tidak terkendali sehingga
menyebabkan anak lain meregang nyawa.
Kasus
bunuh diri pun menjadi trend akhir-akhir ini. Kasus terbaru, satu keluarga
tewas bunuh diri di Kediri, diduga karena motif himpitan ekonomi. Tak kalah
seru, remaja-remaja pun seolah tidak mau ketinggalan, gara-gara putus cinta
menabrakan dirinya ke kereta listrik yang sedang berjalan. Ada pula seorang
anak yang ditemukan tewas tergantung di lemari pakaian, diduga karena depresi
akibat perceraian kedua orang tuanya.
Kulirik
dua malaikat kecilku, Naylal & Aisha, yang terlelap di samping kanan
kiriku. Sebersit perasaan bersalah menyelusup di relung batinku. Sebagai wanita
yang bekerja, kebanyakan waktu yang kupunya, kuhabiskan di kantor. Tak jarang
ketika berada di rumah pun, kuhabiskan waktuku untuk menonton drama korea
kesukaanku. Sehingga mereka lebih hapal dengan artis Korea Lee Min Ho atau Park
Shin Hye dibandingkan dengan pahlawan islam seperti Tariq ibn Ziyad ataupun
Salahuddin Ayyubi. Mereka lebih hafal dengan judul-judul drama Korea dibanding
judul-judul peristiwa sejarah islam Indonesia.
“Ibu,
tadi siang, Emergency Couple-nya lucu
dan seru lho,” cerita Aisya dengan semangat pada suatu sore sepulang aku kerja.
“Ibu,
kasian lho tadi Chang Ming, kena
marah dokter senior,” lanjut kakaknya Naylal tidak mau ketinggalan.
Aku
hanya bisa terpana “takjub”, begitu lancarnya mereka menceritakan alur cerita
salah satu episode Emergency Couple
yang diputar siang hari di salah satu stasiun televisi. Tiba-tiba seolah ada
gerimis di hatiku.
---
Pikiranku
terus mengembara menembus ruang dan waktu, ke abad pertengahan, di suatu masa
di daratan Eropa. Seluruh Eropa berada dalam zaman yang dikenal dengan istilah dark age, karena mati surinya ilmu
pengetahuan. Tetapi justru di zaman itulah Islam bersinar terang dari arah
daratan Andalusia.
Cordoba,
kota terbesar di semenanjung Andalusia, terkenal sebagai pusat peradaban Islam
di Eropa selama hampir 5 abad lamanya. Ilmu dan kebudayaan berkembang pesat di
sini. Cordoba telah bermandikan cahaya lampu di malam hari, sedangkan kota
London 700 tahun kemudian masih dalam keadaan gelap gulita. Cordoba yang pernah
menjadi kiblat Ilmu pengetahuan, budaya dan teknologi bagi bangsa-bangsa di
Eropa.
100
tahun sebelum Columbus, Vasco de Gama, Magellan mengarungi samudra, Ibn Battutah dari
Maroko telah menjelajah muka bumi untuk mentafakuri alam ciptaan Allah. Ibn
Battutah menuliskan dalam buku perjalanannya: ‘Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14
Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun 4 bulan. Tujuanku adalah menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di
Madinah.’
Berkembangnya Islam pada masa itu, tidak lepas
dari pengaruh orang-orang Islam yang semangat dalam mencari ilmu. Ibn Sina atau
Avicenna dikenal sebagai Bapak Kedokteran Dunia. Usia 5 tahun telah belajar
menghafal Al-quran. Selain itu belajar mengenai ilmu-ilmu agama dan mendalami
masalah fikih. Ibn Sina ahli dalam bidang matematika, logika, fisika, geometri,
astronomi, metafisika dan Filosofi. Ada pula Ibn Rusyd atau Averroes dari
Cordoba, seorang filsuf muslim terbesar di abad pertengahan. Dalam bidang
astronomi pun, waktu itu, Islam bersinar. Al-Battani yang berhasil menentukan
perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari. Al-Biruni yang
mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Al-Biruni pula yang membetulkan
arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia.
Tiba-tiba,
di hadapan mataku berdiri megah Mesjid Cordoba. Di dalam mesjid terdapat
mihrab. Di sekeliling mihrab terukir 99 asmaul husna dengan tinta emas dan
biru. Pilar-pilar yang tinggi, marmer dan mozaik-mozaik yang menghiasi mesjid
sungguh indah. Kemudian, terlihat peperangan. Bunyi pedang yang beradu. Dan,
Mesjid Cordoba berubah menjadi La Mezquita.
Berganti
pemandangan dengan hamparan taman indah dan gemercik air dari air mancur taman.
Gedung disekelilingnya dipenuhi relief-relief cantik, dan warnanya kemerahan.
Tiang-tiang marmer berdiri dengan megah. Ah, ini mungkin Istana Al Hamra di
Granada. Benteng terakhir kekhalifahan Islam di Eropa. Tapi semua tiba-tiba
lenyap. Ada perebutan kekuasaan antar keluarga kerajaan. Raja Ferdinand dan
Ratu Isabelle menguasai Al Hamra.
Air
mataku menetes.
---
IMPIAN AISYAH
Aisyah
menggeliat, mata kecilnya terpicing. Ketika dilihatnya aku masih terbangun, ia
bertanya, “Ini jam berapa Ibu?”
“Sudah
hampir subuh, Nak.”
“Ibu
belum tidur?”
“Iya.”
“Ibu,
aku bermimpi.”
“Mimpi
apa, Sayang?”
“Aku
bertualang keliling dunia Ibu. Aku seperti Ibnu Battutah yang Ibu ceritakan
itu,” cerita Aisya, “aku juga menulis, Ibu. Aku bermimpi, Indonesia bersinar
seperti kalung emas Ibu.”
“Aku
mau seperti Ibnu Battutah berkeliling dunia dan menuliskan semua ciptaan Allah.
Aku juga mau seperti Cut Nyak Dien yang hafal Al-qur’an. Aku sekarang sudah
hafal surat Al-lail, lho Bu. Aku
dapat nilai 95 untuk tahfiz Al-lail,” berondong Aisyah.
“Semoga
cita-citamu terkabul ya, Nak,” sahutku, “Oya, Ibu mau donk dengar hafalannya Aisyah.”
“Dengarkan
ya Bu,” jawabnya sambil langsung mengambil sikap duduk sempurna. Terdengar
lantunan surat Al-lail dari mulut kecilnya. Sesekali masih berhenti karena
mengingat-ingat sambungan ayat berikutnya.
“Wah,
hebat! Sudah hampir hafal!” seruku sambil bertepuk tangan. Rasa haru dan bangga
membuncah di Dada. Anakku sudah hampir hafal Al-lail. Lebih baik dari aku yang
hanya berputar seputar surat-surat sangat pendek seperti An-naas, Al-falaq,
Al-ikhlas, Al-kafirun. Ini memotivasi aku untuk juga menghafal Al-qur’an juga.
Matanya
bersinar bangga sesaat, kemudian dengan lesu Aisyah berkata, “Tapi aku masih
kalah sama Caca, Bu. Caca sekarang mau menghafal At-takwir.”
Aku
mengelus rambut ikalnya. Sambil menatap wajahnya, aku berkata, “Ya, bagus
Aisyah jika ingin seperti Caca. Tapi, yang terpenting Aisyah tetap berusaha
yang terbaik. Tidak usah peduli siapa menang siapa kalah.”
Sayup-sayup
terdengar suara adzan pertama dari masjid. Tak terasa sudah mau memasuki waktu
subuh.
“Sudah
mau subuh rupanya. Aisyah mau ikut sholat tahajud?” tanyaku
Kepala
kecilnya mengangguk. Aku beranjak untuk mengambil air wudhu. Sebelum melewati
pintu kamar, kulirik Aisyah membangunkan kakaknya untuk sekalian sembahyang
tahajud.
---
Tanggal
23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional, dan harapan
saya di hari ini, adalah semoga anak-anak Indonesia bisa bermimpi indah dan dapat menggenggam nyata impian serta harapannya.
ceritanya :(
BalasHapusIya, kalau ingat kejadian siang itu suka sedih, jadi kepikiran, nanti anak-anak gimana yak kedepannya. Hiks.
HapusCeritanya bagus. Bisa dapet ilmu sejarah-nya lagi.
BalasHapusSedih euy yang cerita pertama. Miris juga. Itu true story yah? Btw, Cordoba/Andalusia itu termasuk wilayah negara Spanyol kan?
Iya, kejadian di suatu siang. Saya saja sampai jantung berdebar-debar saking paniknya.
HapusCordoba termasuk wilayah Spanyol sekarang. Di sanalah salah satu pusat kemajuan Islam. Salah satu tempat yang ingin saya kunjungi. Semoga Allah meringankan langkah saya menuju ke sana suatu hari kelak.
Sebagai ibu bekerja saya suka galau, sudah baikkah saya sebagai ibu untuk anak2? Pada akhirnya saya berusaha sekemampuan saya, dan setelahnya saya pasrahkan pada Allah, semoga Dia senantiasa menjaga anak2 saya.
BalasHapusDilema ya Mbak. Kata ibu saya juga begitu, ujung-ujungnya walaupun khawatir ya dipasrahin sama Allah, katanya.
HapusSelamat hari anak nasional. semoga mereka menjadi generasi emas bangsa yang bersinar menerangi dunia seperti zaman kejayaan islam.
BalasHapuscordoba ingatkn saya pada Hanum Rais, 99 Cahaya di Langit Eropa.
Ingin jg jjs, salah satunya ke Cordoba. bareng yuk mbak hehehe... Aamiin
Iya, saya suka sejarah. Jadi dari dulu sebetulnya saya pengen menjelajah, napak tilas tempat-tempat peradaban islam dulu. Pas ada 99 Cahaya itu jadi senang sekali, sedikit bisa mengobati keinginan, walaupun pergi sendiri tentunya akan lebih afdol yak.
HapusMahal ngga ya pergi ke sana? Kadang kalau berpikir pergi sendiri mungkin bisa ya Mbak, cuma suka pengen ajak anak-anak juga, supaya mengenalkan kepada mereka. Jadinya suka mundur maju Mbak, inget cost-nya.
luarbiasa mimpinya.. seandainya bisa mimpi berjalan keliling dunia yaa.
BalasHapussayangnya mimpi itu hny bisa dibayangkan dgn sejarah yg kita ketahui melalui cerita..
selamat hari anak nasional bun. :) buat anak bunda tersayang..
semoga bunda bisa menelusuri cordoba. wah keren yaa.
Hapusapalagi sudah prnh menuliskan sejarahnya..
mengesankan! :)
Thank youuu...
HapusIya, kalau membaca sejarah seperti itu suka bangkit semangat..hahaha.
Pengennya Yu, keliling dunia....apalagi ke pusat-pusat peradaban Islam masa lalu...
Aamiin...
selamat hari anak nasional
BalasHapuskasihan bangat kak anak itu
BalasHapussedih ya kalau melihat kekerasan atau makian yang keluar dari anak-anak yang seharusnya terjadi
BalasHapusSedih dan terharu, pelajarannya dapet, terimakasih mbak. tulisannya menginspirasi :)
BalasHapusterharu bacanya, sangat menginspirasi :")
BalasHapus