Kamis, 14 April 2016, Pukul 21.00
Beberapa hari kemarin si bungsu kembali berulah.
Gara-gara ulahnya ini saya sampai dibuat sakit kepala dibuatnya. Bahkan saking
ngga sanggup nahan sakitnya, malam-malam terpaksa saya diantar si bebeb ke
dokter minta diberi pereda sakit dan antibiotik. “Sakit sekali Ayah, ngga
sanggup kalau nunggu sampai besok,” saya menangis berguling-guling di tempat
tidur. Sakitnya tidak juga reda walaupun saya sudah minum Sanmol. Entah
dosisnya yang kerendahan atau memang belum bereaksi.
“Ini sih fix harus dioperasi Bu. Kalau tidak, Ibu akan
terus menerus merasa sakit,” kata Bu Dokter di ruang pemeriksaan. “Tidak ada
cara lain ya Dok?” Tanya saya berharap. “Takut banget Dok,” ujar saya.
“Jangankan Ibu, saya juga takut, Bu.” Hadeuh, kirain saya namanya Dokter ngga
pernah takut, ternyata mereka juga manusia. Takut juga sama Dokter Gigi.
Ya, si bungsu maksudnya adalah gigi yang paling akhir
tumbuh. Kita sering menyebutnya gigi bungsu. Gigi ini merupakan geraham ke-3.
Banyak orang yang mempunyai masalah dengan gigi bungsu ini, termasuk saya. Gigi
bungsu saya tumbuh miring dan menumbuk gigi geraham ke-2 yang terletak di
depannya. Istilah kedokterannya impacted atau gigi impaksi. Dokter sering
menyebut juga, “oh, M3.” Entah apa maksudnya dari istilah M3 ini.
Menunggu dipanggil untuk mengambil obat sangat lama.
Saya mengamati ke sekeliling. Banyak juga ternyata yang sedang berobat di
klinik ini. Mulai dari anak kecil hingga ke orang dewasa. Ada seorang ibu
dengan penampilan modis, berakrab-akrab ria dengan si petugas di kasir dan
perawat lainnya yang bertugas memberikan obat. Saya ingat, si ibu ini adalah
pasien yang dipanggil dokter umum setelah saya keluar dari ruang dokter. Entah
kenapa si ibu ini justru dipanggil duluan oleh perawat untuk melakukan
pembayaran dan mengambil obat. Wah, langsung saja darah naik ke ubun-ubun.
Begitu giliran saya dipanggil, dengan judes saya bertanya, “Mbak, memang
obatnya racikan?” Si Mbaknya heran mendengar pertanyaan saya, dan dengan
ragu-ragu menjawab, “bukan racikan Bu. Memangnya kenapa?” Dia belum ngeh saya
sebel banget karena si ibu berkerudung merah dipanggil duluan. “Oh, dia sudah
duluan, Bu,” jawabnya. Saya masih marah, bagaimana mungkin dia duluan, padahal
saya tahu dia masuk belakangan? Saya masih cemberut, bahkan sampai si Mbak
bilang semoga lekas sembuh pun tidak saya jawab.
Dalam perjalanan pulang, angin malam dingin menerpa
wajahku. Si bebeb memacu motor matic-nya tidak terlalu kencang. Sakit di gigi
pun tidak sesakit tadi. Ah, ternyata sanmolnya baru bereaksi. Tiba-tiba saya
terpikirkan bahwa si ibu tadi bisa jadi pergi ke dokter lain kemudian
menyerahkan berkas sebelum pergi ke dokter umum. Kalau seperti itu make sense
sekali kalau dia didahulukan. Saya tertawa sendiri cekikikan, mentertawakan
diri sendiri. Duh, ternyata sakit gigi juga bisa membuat nalar tidak terkontrol
dan akhirnya emosi yang didahulukan. Maaf ya Mbak, sudah marah-marah.
Jum’at, 15 April 2016, Pukul 10.00
Sudah dua orang menunggu di ruang klinik ini, suster
belum juga selesai bicara di telepon. Sepertinya masalah lumayan serius. Ih,
siapa sih karyawan yang bandel ini yak, diurusin kok susah, runtuk saya dalam
hati. Sambil menunggu, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Tabung-tabung oksigen berjejer belum tersentuh, di sebelahnya ada tempat tidur
pasien. Obat-obatan umum terlihat berada di dalam lemari kaca tersendiri.
Paramedik yang lain sedang memisah-misahkan obat yang baru datang dari Apotek.
Karyawan yang sakit dan berobat diklinik, biasanya obat ditebus oleh klinik di
Apotek rekanan, sehingga karyawan tidak perlu pergi ke Apotek, hanya tinggal
mengambilnya di klinik.
“Kenapa nong (nong adalah panggilan untuk perempuan di Banten)?” Tanya suster tiba-tiba membuyarkan pengamatan saya.
Saya meringis menunjuk-nunjuk ke arah pipi, “Sakit gigi! Gigi yang miring itu.”
“Ih, elu mah, penyakit dipiara ye! Udah cabut aja!”
Suara suster meninggi dengan mata khawatir. “Daripada lu sakit kepala
terus-terusan, mending di cabut. Ngga apa-apa. Tinggal mangap doang. Lu daftar,
mangap, pulang. Ngga usah bayar. Yang penting kalau gigi miring lu harus ke
bedah mulut ya!” Cerocosnya ngga ada jeda.
“Takuuuut,” sahut saya. “Percaya deh, mending sakit
sebentar daripada terus-terusan sakit kepala.” Saya masih bimbang dan ragu.
“Iya Bu, saya juga dicabut dua-duanya. Setelah itu ngga pernah sakit lagi.”
Teman yang juga datang ke klinik memberikan sarannya. “Nih, gue kasih nomornya
yak. Terserah lu mau kemana. Mau di Bethsaida ada dokter Alex, lu tinggal sms
perawatnya. Mau di Mayapada juga bisa, dokternya perempuan. Atau mau di Bona
Medika, ada dokter Heri, lu tinggal telepon Bona Medika, nanti perawatnya
telepon elu.” Katanya sambil menulisakan nomor-nomor telepon yang bisa saya
hubungi. “Udah, Bismillah aja. Insya Allah, kagak nape-nape.” Dia menyerahkan
secarik kertas berisi nomor kotak dokter-dokter bedah mulut.
“Oke deh thank
you,” sahut saya dengan galau.
Gigi impaksi ini adalah gigi yang tumbuh dengan posisi
tidak normal, bisa tertanam seluruhnya atau sebagian. Pada umumnya gigi yang mengalami
impaksi adalah gigi geraham bungsu yang biasanya muncul saat usia sekitar 17 –
21 tahun. Ada juga sih yang baru muncul
di usia 25 tahun. Ada yang langsung jelas kelihatan, karena si gigi mencuat sebagian
ke permukaan gusi, hanya saja miring posisinya. Ada juga yang tidak terlihat
giginya, tahu-tahu gusinya bengkak sampai tidak bisa makan, seperti kasus teman
saya, yang akhirnya ketahuan bahwa penyebabnya adalah si bungsu yang impaksi.
Tidak tanggung-tanggung, langsung cabut sekaligus 3 gigi bungsu.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti
kenapa gigi ini bisa tidak tumbuh normal. Katanya sih karena rahang tidak
mempunyai tempat yang cukup untuk tumbuhnya gigi geraham bungsu ini. Besar
kemungkinan rahang yang sempit ada hubungannya dengan tekstur makanan yang
dikonsumsi. Zaman dahulu katanya sih orang makannya yang keras-keras, jadi
rahang lebih berkembang. Sekarang manusia lebih memilih yang praktis dan lunak.
Ada salah satu teman yang cerita bahwa keponakannya rahangnya sempit, karena
dari kecil hingga besar selalu dikasih yang lunak-lunak, seperti bubur.
Sabtu, 16 April 2016, Pukul 10.00
Bethsaida? Bona Medika? Siloam?
Saya galau. Asli galau. “Yah, mending di Cilegon aja
atau ke Tangerang?” Saya meminta persetujuan. “Terserah,” jawabnya singkat. Ih,
sebel! Tidak menghilangkan kegalauan saya. “Takut Yah,” kata saya pelan. “Cuma
operasi ringan ini,” jawabnya enteng.
Operasi ringan. Saya menghela napas panjang. Operasi
bedah mulut untuk mengangkat gigi impaksi memang operasi ringan. Tapi saya
takut. Bagaimana jika saya alergi obat bius? Duh, cukup dulu mengalami alergi
antibiotik, timbul bintik bintik merah atau yang di sebut steven johnson
syndrome, yang menyebabkan saya harus minum obat berbulan-bulan lamanya.
Bagaimana jika obat bius yang disuntikan salah. Saya teringat kasus di rumah
sakit mewah yang terkenal, beberapa orang meninggal karena ternyata ampul bukan
berisi obat bius, karena kesalahan dari manufakturnya? Belum lagi cerita kakak
tingkat saya yang pernah dicabut gigi geraham oleh dokter gigi pembantu, yang
menyebabkan masalah dengan rahangnya. Berbulan-bulan doi mengenaikan penyangga
dan makan melalui sedotan akibat hal tersebut. Ah, pokoknya berbagai hal buruk
muncul di benak saya.
“Wah, itu bengkaknya bisa seminggu,” kata seorang
rekan kerja. Busyet, bengkaknya seminggu? “Pilih dokternya jangan yang
perempuan. Kalau perempuan ngga kuat cabut gigi geraham,” kata yang lain. “Iya,
Mbak. Saya aja kapok ke dokter gigi waktu cabut geraham. Dokternya ngga kuat
nyabutnya, sampai lama digoyang-goyang cabut geraham dan menimbulkan sakit di
mulut.
Obat yang diberikan dokter umum hanya membantu
sementara, jika obat lupa diminum, kembali gigi cenat-cenut kembali. Akhirnya
saya bertekad untuk melakukan operasi pengangkatan gigi bungsu ini. Dengan hati
agak berat, saya beranikan untuk menelepon ke Bona Medika. “Mau daftar ke
dokter bedah mulut, Mbak,” kata saya, “saya sudah rontgen paranomic 3 tahun
lalu Mbak, jadi saya ngga mesti rontgen lagi kan?” Si Mbaknya menjawab,
harusnya sih masa berlaku rontgen 6 bulan, tapi dia suruh saya membawanya saja
saat periksa. Saya memang sudah melakukan rontgen paranomic jauh sebelumnya.
Ya, sakit akibat si gigi bungsu yang rewel sebetulnya bukan kali ini saja. Jauh
sebelumnya gusi pernah bengkak dan sakitnya ruaaar biasa. Tapi setelah diberi
obat dan sembuh, saya pun melupakan rujukan dokter untuk rontgen paranomic dan
konsultasi ke dokter bedah mulut. Dalam masa itu 2x si bungsu ngadat dan
membuat gusi bengkak. 3 tahun yang lalu, sakitnya kambuh lagi, sehingga saya
pun ke dokter gigi dan rontgen paranomic. Tapi berhubung besoknya saya mau
berangkat haji, dokter gigi umum tersebut bilang, nanti saja setelah kembali
dari Mekkah, takutnya malah nanti bengkak dan mengganggu perjalanan ibadah
haji. Herannya, setelah kembali dari Mekkah, si bungsu adem ayem, ngga rewel.
Saya pun lupa jika harus cabut gigi bungsu.
Senin, 18 April 2016, Pukul 10.00
“Halo Bu, Ibu daftar ke dokter Heri ya?” Suara
perempuan terdengar di ujung gagang telepon di seberang sana. “Maaf, hari ini
dokter Heri tidak bisa praktek. Besok baru praktek, bagaimana Bu?” Dia
menjelaskan bahwa dokter Heri hanya praktek Senin sampai Kamis di Bona Medika,
karena beliau tinggal di Bandung, dan hari Senin ini beliau tidak bisa praktek.
Masih galau, apalagi mendengar saran-saran dari teman
yang pernah melakukan proses pencabutan gigi. “Di Siloam aja Na, dokternya
canggih. Alat suntik biusnya kayak stepler.
Kalau pakai suntikan, lo kebayang sakitnya,” saran seorang teman yang
sebelumnya pernah mengalami operasi pencabutan gigi bungsu.
Ah, what ever will
be, will be. Pain, please go away!
D-Day, Pukul 14.00
Setelah meminta ijin untuk early leaving, alias hanya kerja setengah hari, saya pun menuju ke
klinik Bona Medika yang terletak di Kompleks Bonakarta. Saya sengaja tidak
cuti, karena saya pikir jika saya cuti di rumah, menunggu sampai waktunya
operasi akan semakin deg-degan ngga karuan. Saya juga akhirnya memilih di Bona
Medika, klinik kecil dibandingkan rumah sakit besar. Saya malas jika harus ke
Tangerang, walaupun sebetulnya tinggal duduk saja, karena rumah sakit
menyediakan jemputan yang akan mengantar jemput saya. “Bismillah aja yak,
banyakin minum air putih sama banyakin zikir,” kata suster sebelum saya
berangkat keluar dari gerbang pabrik.
Klinik Bona Medika, jam segini sangat sepi. Ditambah
lagi ruangan agak sedikit gelap dari biasanya. Entah sengaja dimatikan lampu
penerangannya supaya hemat listrik atau lampunya lagi mati. Hanya ada satu dua
orang pasien terlihat di ruang tunggu. Setelah mendaftar ulang, saya pun naik
ke lantai atas. “Dokternya sudah ada, Sus?” Tanya saya. “Sudah Bu, dari jam
14.00 juga sudah datang. Biasa, siap-siap dulu.” Pasien pertama adalah saya,
waktu perjanjian saya adalah jam 2.30 sore. Wah, tumben ada dokter yang datang
jauh sebelum pasiennya datang, pikir saya.
Menunggu 30 menit yang menegangkan. Untuk membunuh
rasa tegang, saya memainkan game andalan saya di android. Sampai akhirnya nama
saya pun dipanggil. Bismillah!
“Kenapa nih?” Tanya si dokter membuka percakapan.
“Gigi saya miring, Dok. Sakit,” jawab saya meringis,
“saya sudah rontgen paranomic, tapi 3 tahun yang lalu.”
“Coba saya lihat,” sahutnya. Saya pun menyerahkan
amplop putih berisi hasil rontgen 3 tahun yang lalu. Dokter pun mengeluarkan
isinya dan memasangnya di display lampu.
“Wah, ini mah harus di cabut 2, Bu. Yang depannya juga
sudah kena,” kata Dokter.
Saya tercekat. Dua? “Sakit ngga, Dok?” Tanya saya
khawatir.
“Ngga jamin ya Bu. Ya pasti ada sakitnya. Kalau saya
bilang ngga sakit, saya bohong dong Bu,” jawabnya. “Siap, Bu?”
“Ya, sudah Dok, mau bagaimana lagi,” saya nekat.
Soalnya walaupun sudah diberi antibiotik masih agak sedikit cekot-cekot.
“Masih sakit ngga giginya?”
“Sedikit. Agak mendingan setelah dikasih obat dari
dokter umum,” saya mengeluarkan obat yang saya dapat dari dokter umum. Dokter
Heri melihat sambil mengangguk, dan meminta saya ke kursi “eksekusi”.
Jangan ditanya degdegannya seperti apa. “Ulah tegang
Bu, biasa wae,” kata dokter menenangkan. Saya menarik napas panjang, apalagi
sepintas melihat jarum yang sedang disiapkan. “Si Ibu meuni tegang pisan.
Santai wae Bu. Da ngga bakalan diperkosa ini.” Wkwkwk, coba kalau teman saya
yang diajak ngomong kayak gini, mungkin dia bakal balik nantangin.
“Tes alergi dulu ya Bu,” terasa jarum kecil menyentuh
pingiran permukaan dalam pipi disebelah gusi belakang. Oh, ternyata ngga awal
suntik obat bius toh. Ada tes alerginya dulu, pikir saya. Sambil menunggu
bereaksi, dokter mengajak ngobrol. Entah kenapa tiba-tiba obrolan menjadi
menjurus ke tempat kuliah di Jatinangor dulu. Rupanya pak dokter ini angkatan
tahun 90 kedokteran gigi Unpad. Wih, agak bangga dikit, ternyata anak gigi
Unpad canggih-canggih. Akhirnya ngobrol seputar kampus deh, sampai ke unit
pelayanan gigi segala.
“Ngga alergi. Yuk. Siap yak,” kata dokter setelah
beberapa saat. Saya pasrah. Terasa sebuah benda menusuk gusi. Saya pikir pasti
sakit nih. Eh, ternyata tidak sakit sama sekali. Tidak lama, sekitar gusi
terasa menebal. Entah berapa kali tusukan. Saya merasa ada 2 kali tusuk. Tak
berapa lama, rasa tebal merangsek menuju ujung bibir kiri. Saya menunjuk ke arah
bibir. “Kebas,” kata saya. Tiba-tiba teringat cerita salah satu bos saya,
istrinya sampai sekarang bibirnya sebelah tidak merasa akibat dicabut gigi.
“Iya, memang kebas Bu, separuh bibir,” jawab dokter menenangkan kembali.
Cekrik. Cekrik. Cekrik. Terdengar seperti
bunyi ujung gunting yang sangat kecil yang hanya bisa satu kali gunting. Antara
bunyi cekrik satu dengan cekrik yang lain ada jeda. Entahlah apa
gusi sedang dibuka? Kemudian, terasa seperti ada alat masuk dicelah sebelah
luar gigi geraham belakang. Gigi seolah didongkrak ke atas beberapa kali.
“Kerasa ngagebros nya?” tanya dokter, maksudnya terasa terperosok ya giginya.
Ah, tapi saya ngga bisa merasakan bedanya sama sekali. Hihi. Kemudian terasa
gigi dicabut dari tempatnya. Rasanya ngga sampai 2 menit, 2 gigi sudah berhasil
dicabut. “Tinggal dijahit ya,” kata dokternya. Saya melihat benang untuk
menjahit gusi yang berwarna hitam. Jarumnya tidak mirip dengan jarum jahit yang
dipakai untuk menjahit baju. Sepintas sih mirip dengan kawat pendek. Tapi
entahlah, saya tidak memperhatikan betul. Boro-boro ingin melihatnya. Hitungan
saya sih ada 3 kali dokter mengganti benangnya untuk kemudian menjahit gusi
yang terbuka.
“Udah, selesai. Ini digigit yak kapasnya selama 1 jam.
Jangan makan panas, minum panas dulu,” kata dokter. Dih, tahu begini, mendingan
dari dulu di cabut yak, pikir saya dalam hati. “Nih, giginya. Udah rusak banget
kan?” katanya sambil menunjuk gigi yang barusan dicabut, “itu sampai besok
darahnya masih keluar, jadi jangan kaget yak. Normal kok.” Dokter kembali ke
meja dan menulis resep.
“Bengkak ngga dok sesudahnya,” tanya saya. “Bengkak
lah. Kalau saya bilang ngga bengkak berarti saya bohong,” jawabnya lagi cuek,
dan tetap melanjutkan menulis resep. “Tenang, saya kasih obat penghilang rasa
sakit yang bagus juga anti bengkaknya,” lanjutnya lagi. “Mulai diminum kapan
dok itu obat?” Tanya saya. “Sekarang langsung minum,” ujar dokter. “Dok, ini
mulai agak senut-senut,” potong saya. “Oh, ya udah, nih kamu secepatnya tebus
obatnya, langsung minum ya,” kata dokter. Saya langsung berdiri dan angkat
kali, lari ke lantai bawah. Wah, gawat nih kalau sampai telat minum obat pereda
sakit.
Setelah minta minum sama si Mbak penjaga apotek, saya
pun langsung minum obat anti sakitnya, Celebrex. Jiah, sama halnya seperti
sanmol, ternyata obat ini tidak langsung bereaksi. Suster pun memerikan
obat-obatan lainnya dan memberikan struk pembayaran yang harus saya
tanda-tangani. Wow! Cabut 2 gigi ternyata lumayan juga harganya. Untuk
ditanggung penuh.
Penderitaan ternyata masih panjang. Karena saya sok
mandiri, saya pergi cabut gigi sendiri. Tapi ternyata terasa banget, apalagi
naik angkotan umum. Mau bilang stop aja susahnya minta ampun, karena mulut
isinya penuh ludah semua. Mau ditelan kok agak sisih karena bercampur darah. Emang
sih darah sendiri. Tapi tetap saja merasa bagaimana gitu. Sebetulnya sih
disuruh ditelan karena kalau diludahin katanya mengganggu pembekuan darah.
Kepala pun rasanya nyut-nyutan. Haduh, obatnya belum
bereaksi. Rasanya pengen cepat sampai di rumah. Mamang ojek pun sampai
khawatir, “ngga apa-apa itu, Bu. Masih banyak keluar darah?” Haduuh, maaf ya
Mang, bukannya ngga mau jawab. Susah mau buka mulut Mang, masih gigit kain kasa
di gusi yang dibedah.
Sampai di rumah, langsung ganti baju, langsung tidur,
walaupun tetap hanya bisa gulang-guling selama lebih dari 30 menit. Baru
kemudian berangsur-angsur membaik, tidak terasa sakit. Sejak itu gusi yang
dibedah tidak sakit selama minum obatnya tepat waktu.
Nah, berkaca dari pengalaman saya, jadi:
1.
Jika
gigi bungsu dipastikan impaksi, mau dia posisinya miring atau horizontal,
mending dicabut deh, daripada nyesel seperti saya akhirnya 2 gigi yang dicabut
karena sudah merusak bagian depannya. Beberapa dokter malah menyarankan untuk
mencabut gigi ini saat usia 18 tahun jika sudah terdeteksi melalui rontgen
paranomic.
2.
Operasi
bedah mulut untuk pengangkatan gigi impaksi ternyata tidak seseram yang
dibayangkan. Saat disuntik obat bius pun tidak sakit kok. Malah sakitnya
sesudahnya. Itupun paling selama 1 jam sebelum obat penghilang rasa sakit
bereaksi. Daripada sakit kepala terus menerus, lebih baik senut-senut selama 1
jam deh.
3.
Gigi
impaksi bisa menyebabkan sakit kepala terus menerus, karena dia tumbuh mendesak
saraf. Terkadang bisa juga menimbulkan gangguan pada telinga dan mata. Pada kasus yang lebih serius, jika dibiarkan
akan menimbulkan kista atau tumor. Seram yak.
4.
Gigi
impaksi sebetulnya bisa dicabut bisa tidak, tergantung letak dan posisinya. Lebih
baik sih langsung dikomunikasikan dengan dokter bedah mulutnya.
5.
Saat
operasi enaknya sih ada yang nemenin. Biar ada yang bisa foto-foto buat blog, eits, ngga denk, biar pulang ada yang mendampingi. Kemarin saya sok jago, sok
mandiri. Tersiksa deh. Hihihi.
6.
Setelah
operasi, jangan makan yang panas-panas karena akan mengganggu proses pembekuan
darah.
hihihhi, dan aku tertipu judulnya..
BalasHapussemoga cepat sembuh ya mba, aku juga pernah operasi gigi bungsu koq :)
hehe, iya ya, kenapa sebutannya sama sama bungsu yak?
Hapusthank you Mbak, ternyata selama ini ketakutan sendiri hanya karena denger cerita kanan kiri, padahal ternyata ngga semengerikan yang diceritakan. makanya saya bikin tulisan ini Mbak, semoga yang sama seperti saya tidak merasa ketakutan sebelum konsultasi dengan dokter bedah mulutnya.
saya parno deh ke dokter gigi lagi, udah 3 yg dicabut >< semoga sehat2 terus :)
BalasHapusSaya parno ke dokter gigi memang Mbak. Teman ada yang cabut gigi sampe lama banget, akhirnya malah ngga ke cabut karena keburu kesakitan.
HapusAlhamdulillah ya mbak Levi, akhirnya si bungsu yang nakal itu sudah nggak nakal lagi, meskipun harus dengan perjuangan yang berat, udah sakit diangkot, naik ojek. Saya juga heran kenapa pergi sendirian mbak?
BalasHapusGigi saya juga sudah banyak yang rusak dan tanggal tapi nggak pernah ke dokter gigi, mbak. Mereka copot sendiri satu persatu, hehe
BTW game favoritnya apa sih? **kepo
Hihi, itu dia Mbak, sok mau jadi mandiri. Haha. Sebenernya mau naik taxi, ealah, kok dilalahnya, aku lupa bayar tagihan telkomku, kena blokir. Hiks. Ampuuun deh.
HapusSaya juga nunggu begitu Mbak, nunggu copot sendiri. Sumpah Mbak, takut banget saya cabut gigi. Tapi ngga copot2, xixi. Mungkin karena posisinya yang miring banget kali ya.
daku kok malah pengin ketawa baca yang ini ya mbak.
BalasHapus“Ini sih fix harus dioperasi Bu. Kalau tidak, Ibu akan terus menerus merasa sakit,” kata Bu Dokter di ruang pemeriksaan. “Tidak ada cara lain ya Dok?” Tanya saya berharap. “Takut banget Dok,” ujar saya. “Jangankan Ibu, saya juga takut, Bu.” Hadeuh, kirain saya namanya Dokter ngga pernah takut, ternyata mereka juga manusia. Takut juga sama Dokter Gigi.
Bacanya udah tegang dari atas, eh pas sampai situ malah di belokin :D
Semoga cepat sembuh mbak, kalo masalah gigi emang serem sih :|
Iya, saya juga lagi meringis, denger dokternya bilang kayak gitu bengong sekaligus pengen ketawa. Jiaah, dokter juga ternyata takut sama dokter gigi.
HapusTengkyuuu...masih agak ngga nyaman sih, benang jahitannya belum di cabut. Selama seminggu juga mulut rasanya penuh sariawan, perih. termasuk tenggorokan pun perih.
saya paling cenat-cenut kalau sama urusan dokter gigi hihihi.
BalasHapusXixi..sama Mbaaaak. Saya mah pake banget malah. Tapi ke anak-anak malah saya suruh-suruh dari kecil biar berani. Jangan kayak emaknya yang penakut ke dokter gigi. Tapi ya itu karena ngga takut, kalau dibilangin harus merawat gigi, jawabannya, ngga apa-apa, kan ada dokter gigi. Hadeeuuh, bocah.
Hapussemoga lekas sembuh mbak, sakit gigi emang gak enak :(
BalasHapusMakasih. Iyup ngga enak banget. Sakit gigi emang berjuta rasanya. hehe.
HapusHmm alhamdulillah saya tidak demikian, tapi saya do'akan semoga cepat sembuh dan semoga tidak muncul lagi, amin.
BalasHapusIya bersyukur ya tidak ngalamin sakit gigi akibat gigi miring. Alhamdulillah banget. Jangan sampe deh. Suakitnya sampe bikin menangis kalo udah ngga tahan. xixi.
HapusIya bersyukur ya tidak ngalamin sakit gigi akibat gigi miring. Alhamdulillah banget. Jangan sampe deh. Suakitnya sampe bikin menangis kalo udah ngga tahan. xixi.
HapusIya mbak tapi sih lebih baik sekarang beralih saja ke pola hidup yang lebih sehat agar tidak terkena sakit gigi lagi.
HapusAku kmrn juga abis sakit gigi, ampe sekarang blm di cabut tapi mesti cabut minggu depan
BalasHapus3 malam gw nanggis karna nahan sakit ihik ihik
Samaaaa doooong...kirain bisa ditahan sakitnya. Wadau ternyata suakiiit bingits. Sampe nuangis akhirnya. Jebol pertahanan untuk jenguk dokter gigi. Semoga abis dicabut ngga sakit lagi ya Om Cumi. Saya juga masih ngeri2 niy, soalnya benangnya masih ngewer-ngewer belum di cabut. Agak-agak nyangkut...hihihi.
Hapusseseram itu gigi bungsu ya bun, bahaya ya kalo gak cepet ditanganin. smpe bisa sakit kepala terus menerus, fatalnya bisa ngidap tumor dan kista. >_<
BalasHapusKatanya sih begitu, kalau udah parah banget. Gigi bungsu yang impaksi alias tumbuhnya miring Mbak, kalau normal sih ngga yak. Entah kenapa nih si bungsu ini tumbuhnya ke samping bukannya ke atas atau bawah.
HapusOh itu namanya impaksi ya, nyesel juga kenapa ya ga dicabut waktu itu, sekarang giginya mendesak gigi yg di depannya sampai ga beraturan :(
BalasHapusSama impaksi juga ya Mbak gigi geraham terakhirnya? Iya salah satu dampaknya gigi ikut terdesak jadi ga beraturan. Sebetulnya sih dokter ada yang bilang harus dicabut ada juga yang bilang dicabut jika mengganggu. Kalau kategori saya sih sebetulnya sudah sangat mengganggu..hahaha. Sebetulnya harus dicabut dari dulu. Tapi karena takut akhirnya baru kemarin. Hiks, terpaksa korban 1 gigi depannya karena sudah numbuk ke situ menyebabkan lubang.
HapusDuh berasa banget pas sakit gigi. Aku belum pernah cabut gigi, padahal gigiku udah masuk dalam kategori parah.
BalasHapushihi..kalau kata dokter bedah mulut kemarin, karena aku tahan ga cabut cabut, dia bilang "uyuhan" bisa nahan padahal giginya udah rusak parah, pasti sering bengkak. Apa yak "uyuhan dalam bahasa Indonesianya?
HapusDuh berasa banget pas sakit gigi. Aku belum pernah cabut gigi, padahal gigiku udah masuk dalam kategori parah.
BalasHapusIya..kalau sakit gigi mana tahaaan...meriang Mbak..
HapusIya..kalau sakit gigi mana tahaaan...meriang Mbak..
HapusPermasalahan gigi ini sungguh pelik ya mb lev, sama, aku juga ni tumpuk tumpuk, jadi adavyang ga rapi punyaku huhu
BalasHapusEmbeer. Saya paling takut kalau masalah pergigian. Takut, tapi ngga berani juga ke dokter gigi. hihi. Saking takutnya, mimpi saya selalu dipenuhi gigi rontok. heeeeuuuu...
Hapussemoga sehat terus mbak anaknya
BalasHapushehe...terima kasih
HapusPertama kali baca judulnya, kukira anak mba yang bikin sakit kepala ternyata problemnya beda wkk.. semoga bisa cepet berakhir ya mba dan sembuh total :D
BalasHapusHaha..sama-sama bungsu sih ya namanya. tengkyu yaaaa Mbak..
HapusSaya punya pengalaman cabut gigi. Takut sekali. Apalagi sudah 2 kali ditolak dokter gigi. Karena sudah tak kuat menahan sakit saya memberanikan diri cabut gigi. Ternyata tidak seseram yang saya bayangkan selama ini.
BalasHapusBetul. Ternyata memang ngga seseram yang dibayangkan. Sebetulnya ketakutan diri kita sendiri yak. Saya juga pas dicabut gigi sempat merenung, sambil si dokternya menjahit gusi, kenapa ngga dari dulu dicabut, mungkin gigi yang depannya bisa diselamatkan jika saya cabut dari dulu.
Hapussaya nih Mba, udah akrab sama sakit gigi sejak SD, akrab sama dokter gigi pas kelas 1 SMA..
BalasHapussakit gigi emang gak enak banget yah Mba, rasanya lebih baik sakit hati daripada sakit gigi :(
Iya Mbak, bener itu, mending sakit hati daripada sakit gigi. Apalagi kalau parasetamol udah ngga mempan...aduuuuh biyuuung.
Hapusmemang serem mbak kalo sibungsu kenapa napa, ah aku pun gitu, btw mbakk salam kenal ya :)
BalasHapusSalam kenal kembali.
HapusSebagian orang gigi bungsunya bermasalah, menimbulkan impaksi gigi. Ini yang perlu dituntaskan segera, kalau ngga banyak permasalahan yang timbul, salah satunya geraham di depannya jadi rusak karena tertumbuk geraham bungsu.
Waduuh kirainmah anak bungsunya,, ternyata Gigi bungsu yah,, hampir gagal paham..,. :D
BalasHapusHaha, ternyata sama ya. Aduuh maaf, soalnya si gigi geraham terakhir ini sama-sama dinamakan bungsu.
Hapussakit gigi memang gak bisa ditahan.. memang lebih baik dicabut sih mba,sakit bentar gak apa lah. hehe
BalasHapusYep, ternyata tidak seseram yang saya bayangkan. Sakitnya pun tidak sampai berminggu-minggu. Ehm, emang sih sedikit ngga nyaman selama 1 mingguan, karena banyak sariawan jadinya, tenggorokan agak perih dan benang jahitan belum dicabut.
HapusSaya pikir cerita anak. Ternyata si bungsu itu gigi. Hehehe.
BalasHapusSakit gigi semua tubuh ikut sakit. Kepala sampai badan.
Hehe, iya si gigi geraham bungsu. Udah lama bikin sakit kepala, sama sakit pundak. Belum lagi sakit giginya. Ah, sekarang sudah beres...lega rasanya. xixi.
HapusSakit gigi bisa bikin marah2 ya Mbak ? Tp kok susternya judes amat
BalasHapusHaha, bikin emosi tinggi dan baper. Sewot berat, karena yang didahulukan dipanggil adalah orang yang dibelakang saya. Padahal saya pengen buru2 minum obat saking sakitnya...xixi.
HapusSi bungsu... bisa aj buat sebutannya....
BalasHapusHihihi...sebutannya emang gigi bungsu kan yak? apa saya aja ya yang nyebutnya gigi bungsu?
HapusAku jg prnh operasi gigi abis operasi pipi bengkak. Pas operasi ngak sakit kdn di bius, nahh abisan nya duhh mending sakit hati dah dr pd sakit gigi hahhah
BalasHapusXixi. Kemarin saya dikasih obat penahan sakit sama anti bengkaknya Mbak. Kayaknya lihat saya ketakutan, dokternya bilang, "saya kasih obatnya yang bagus." Haha. Setelah seminggu obat habis, sakitnya bukan karena bengkak, tapi karena sariawan, mungkin luka bekas ditahan lidahnya kali yak.
Hapusmoral of the story:
BalasHapusjangan macam-macam sama orang sakit gigi
hahaha
Betul, betul, betul sekali. Orang sakit gigi bisa jadi kayak macan. Xixi.
HapusDuh, sakit gigi itu menyiksa banget ya mbak...mending sakit hati. ahahaha.
BalasHapusAku dulu inget wakti kecil nyabut gigi ke dokter gak berani. Akhirnya ku cabut sendiri sama benang, ku ikat lalu ku tarik. hahah.
Ceritanya menarik :) Semoga cepat sembuh, dan gak sakit gigi lagi.
Alamak, cabut sendiri pakai benang? Aduh ngga berani saya. Emang sih pernah denger, katanya kalau dicabut gigi pakai bantuan benang.
HapusWahhh segera sembuh ya mbak..
BalasHapussalam..
Thank you Mbaaak...
Hapuskalo menurut saya di cabut gigi gak terlalu sakit mbak . yang paling sakit menurut saya malah nambal gigi yang bolong atau keropos
BalasHapusIya itu dia, jadi ceritanya ini karena ketakutan sendiri. Belum juga ngalamin dicabut gigi, ketakutannya udah ngga karuan. Padahal mah ternyata ngga sakit seperti yang dibayangkan. Kalau ditambal sakitnya karena harus dibor nya itu yak. Duh, kalau itu denger suara bornya bikin ngilu.
Hapushiks hiks... mbaaa, aku ngilu baca ini -__-.. berasa sakitnya juga... dulu aku sempet pake kawat gigi dari sd kls 4 ato 3 ampe smu kls 1.. itu gara2 gigi maju, trs nabrak2 tumbuhnya.. perjuangan sebelum pasang kawat, semua gigi yg nabrak grs dicabut termasuk bbrp geraham.. sakitnya ampuuuuuuun, sumpah mbak aku mnding patah hati wkwkwkwkw ;p.. makanya aku bisa byngin sakitnya gigimu ini :(.. tp perjuangan demi mau cantik di gigi, memang berat :D
BalasHapusPasang kawat mesti dicabut beberapa geraham juga yak? Belum lagi saat pasang kawatnya ditarik giginya kali yak. Ngilu banget pastinya yak. Wah, kalau saya udah tua eung mau pasang kawat mah..malu amat yak...xixi. Padahal gigi juga ngga beraturan.
HapusAku pernah cabut gigi *terpaksa disuruh dokter. Pas dicabutnya sih belum kerasa, pas gigit kapas satu jamnya itu yang menyiksa. Terus selama dua hari males ngunyah makanan takut masuk ke situ. Huhu nggak mau terulang kedua kali T_t semoga mba Levina lekas sembuh ya :)
BalasHapusIya, pas dicabut, eh kok ngga sakit yak? Tahu begini kenapa ngga dicabut dari dulu, arrrgh melihara penyakit! Gitu batin saya Mbak, pas lagi gigi didongkrak-dongkrak. Haha. Begitu beberapa menit kemudian, setelah selesai, udah mulai kerasa tuh nyut2an. Sebelum dokternya selesai nulis di kartu status, saya bilang, "dok kok mulai nyut2 yak?" Langsung sama dokternya disuruh cepet2 tebus obat. Akhirnya saya lari deh turun ke bawah. Hahaha. Bener, walaupun dah minum obat, sekitar satu jam masih kerasa cekot-cekot. Abis itu sih ngga lagi.
Hapussaya juga lagi dilema soal cabut gigi atau tidak belakangan ini...
BalasHapusKalau kasusnya gigi miring seperti saya sih, mending di cabut Mas. Kalau udah kumat ngga tahan sakitnya lama-lama, karena giginya mendesak ke depan. Btw, kenapa dilemanya Mas Usup?
Hapussaya pernah lho diomelin dokter gigi karena melihara penyakit, gigi sampai bolong dan bengkak, akhirnya kalau sekarang udah kerasa sakit mending langsung ke dokter aja, apalagi kalo yang sakit gigi
BalasHapusYang ngomelin pasti dokter cewek ya Mbak. Xixixi.
HapusEh, ngga juga sih, cuma rata2 sih begituh, walau ga semuanya xixi.
Saya pun kemarin kena omel. Pas mau cabut jahitan bekas operasi gigi bungsunya. Kebetulan dokter bedah mulutnya ngga ada. Aiih, malah diomelin harusnya bersihin karang gigi dulu sebelum dicabut kemarin. Heudeu. Boro-boro mikirin bersihin karang gigi, lah wong sakit nyut2an. Tapi ya menurut saya sih bagus begitu sih. dokternya berarti care ya Mbak. Demi kebaikan kita juga ngomelnya. Haha. Tapi tetep pedih kalau diomelin. Cuma kalau ngga diomelin ngga kapok-kapok.
Mbaa
BalasHapusSakit kepalanya bukan pusing spt biasa tp rasanya lbi ky nyut2an gt yah?
Gigi bungsu saya yg atas tumbuh, tp karena tajem jd gusi dibawahnya yg sakit jd nyut2an jg sampe ke telinga sakitnya
Sakitnya sih dibagian kepala yang giginya sakit. Tumbuh gigi memang sakit juga sih katanya. Tapi untuk mastiin giginya tumbuh normal atau impaksi biasanya sih dilihat dari foto rontgen kalau yg belum muncul. Kalau udah muncul ke permukaan sih biasanya keliatan kalau gigi bungsu itu impaksi atau ngga.
HapusWaktu itu sih dokternya bilang, bahwa sebetulnya gigi bungsu saya harusnya dicabut sejak belum keluar. Jadi bisa dideteksi dini apa bakal tumbuh impaksi atau tidak. Kalau bakal tumbuh impaksi baiknya dicabut katanya sih.
Haduh ni liurku bercamour darah 😵 ditelan malah muntah coba ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapussy jg ada masalah nih sm gigi bungsu, gak sakit ato ngilu,.cuma kok rasa nya ky pegal2 aja, gigi bungsu bagian kanan bawah. 4bln lalu cek ke dokter gigi pas ada yg lubang baru ketahuan kt dokter gigi nya miring semua. shock banget Mba, sy paling takut sm urusan jarum suntik, darah, apalagi operasi. gimana ya Mba, galau berat nih. Pas baca pengalaman proses cabut dr Mba jd ikut keringet dingin. lebih merinding pasca operasi nya sih Mba, kebayang penderitaan nya itu loh.
BalasHapussaya jg udh ngalami cabut gigi bungsu,awalnya takut banget, tp karna udh g tahan sakit kepala selama 7 th akhirnya nekat kedokter gigi, setelah dicabut sdh aman, tp msh ada 2 gigi bungsu lagi nih yg bikin sakit kepala dan mesti dicabut jg....
BalasHapus