Terompet panjang tanda berakhirnya perjalanan
menyeberangi Selat Sunda telah berbunyi. Semua pengendara bermotor, penumpang
telah bersiap-siap untuk keluar dari dalam perut kapal. Si Jenderal Hitam pun
melaju begitu mulut kapal terbuka. First
In First Out. Sepertinya kapal pun menganut sistem FIFO, kapal yang masuk
duluan akan keluar duluan.
Karena jarak dengan mobil teman berjauhan di dalam
perut kapal, setelah keluar kami pun menunggu di bawah jembatan penumpang,
menunggu mobilnya lewat. Setelah beberapa saat, sebuah sedan melaju di depan
kami, dan suami saya refleks menggerakkan kemudi mobil. “Lho, itu bukan
mobilnya, Yah!” Seru saya panik. “Tadikan rasanya warnanya silver deh bukan
coklat kopi susu kayak gitu.”
“Bener ah itu,” kata Aisya sambil menghentikan mainan
slime-nya.
“Bukan,” sanggah saya, “iya kan Ca?” Saya mencari
persetujuan Azka.
“Kayaknya sih bukan,” Azka menjawab dengan ragu-ragu.
“Udah Yah, kita berhenti dulu di depan tugu selamat
datang,” pinta saya sambil menunjuk ke arah Tugu Selamat Datang di depan kami.
Saya pun mencoba menghubungi handphone teman, hanya untuk mendapati kedua
nomornya tidak bisa dihubungi. Setelah beberapa lama, ada panggilan di
handphone suami dari nomor yang tidak dikenal. “Mbak, aku sudah di dekat Menara
Siger,” terdengar suara teman di seberang sana, “nanti belok ke kanan menuju
Menara Siger ya. Si Tetehnya nunggu di pinggir jalan.”
Oala, rupanya mobil sedan tadi memang mobilnya teman. Sebersit
perasaan bersalah menyeruak di relung batin. Maaf Yah. Kata maaf hanya tercetus
di dalam hati. “Tadi kenapa terlihat warnanya silver ya?” Saya mencoba mencari
pembenaran, “mungkin karena masih subuh yak?” Dan dengan kalemnya dia menjawab,
“hijau warnanya, terus berubah jadi coklat.” Hahaha.
Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera Yang Sedang Menggeliat
Perjalanan ke Desa Ketapang tidak memerlukan waktu
lama. Mungkin sekitar 30 menitan dari Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni.
Sebelum sampai di Desa Ketapang, setelah melewati Menara Siger, mata kami
dimanjakan oleh pura-pura khas Bali. Ya, kami sedang melintasi perkampungan
Bali. Dalam bayangan kami, desa yang akan kami tuju pun adalah perkampungan
Bali dilihat dari namanya yang mirip-mirip Pelabuhan Ketapang tempat
penyeberangan menuju Gilimanuk.
Jangan salah mengira dengan Dermaga Ketapang di
Pesawaran Lampung. Desa Ketapang yang satu ini terletak di pesisir Timur
Lampung, sedangkan Ketapang yang satu lagi terletak berseberangan, yaitu di
pesisir Barat Lampung. Sepertinya nama Ketapang menjadi favorit untuk nama
tempat. Ketapang sendiri merupakan sejenis pohon yang biasanya tumbuh di
sekitar pantai. Saya suka dengan pohon Ketapang. Daunnya lebar-lebar, dan jika
daunnya akan gugur, warna daunnya berubah menjadi kemerahan. Jika berjalan di sepanjang
jalan yang ditumbuhi pohon Ketapang, berasa musim gugur pindah ke Indonesia.
Konon biji Ketapang juga bisa dimakan dan lebih enak dari kemari.
Jalan Lintas Pantai Timur merupakan jalan alternatif
selain Jalan Lintas Timur Sumatera. Kondisi jalanan menurut saya lebih baik, mungkin
karena masih baru. Jika kita hendak ke Palembang, Jalan Lintas Pantai Timur dapat
menghemat waktu perjalanan yang cukup significant. Saat pulang dari Palembang
melalui jalur ini, waktu tempuh perjalanan sekitar 10 jam sampai Bakauheni,
dibanding melalui jalur biasa yang bisa memakan waktu 13 jam dengan kecepatan
normal tanpa kemacetan.
Di perempatan Ketapang, mobil berbelok ke kanan,
memasuki Desa Ketapang. Tidak berapa lama terlihat pesisir pantai dengan
puluhan kapal – kapal nelayan berderet di bibir pantai. Rumah – rumah sederhana
terbuat dari papan-papan kayu masih mewarnai perumahan di Kampung Nelayan
Ketapang, walaupun beberapa terlihat sudah bangunan tembok permanen bertingkat
tetapi masih berupa plesteran semen. Jam masih menunjukkan pukul 10.00 pagi
waktu Indonesia bagian Barat, tetapi cuaca terik sudah terasa menyengat di
kulit begitu pintu si Jenderal Hitam terbuka. Ouch! Panas sekali.
Menghampiri Perkampungan Nelayan Ketapang Lampung Selatan
Si Jenderal Hitam terparkir manis di salah satu lahan
kosong di sebelah rumah kayu. Bau ikan samar – samar tercium indera penciuman.
Perahu – perahu nelayan terlihat dari tempat saya berdiri yang menunjukkan
bahwa pantai sangat dekat dari area parkiran. Para wanita Desa Nelayan Ketapang
duduk – duduk di depan rumah. “Foto engko ning kapal nong, buagus!” Komentar
seorang ibu berperawakan besar ketika melihat saya berfoto-foto di area lapangan
itu. Saya mengerti, walaupun saya tidak bisa berbicara bahasa Jawa, maksudnya
kira – kira: nanti foto itu di kapal, bagus.
Ternyata, penduduk Desa Nelayan Ketapang sebagian
besar adalah suku Jawa, bukannya Bali seperti perkiraan kami semula. Di sini
tidak terlihat pura – pura khas Bali yang tadi mewarnai perjalanan kami.
Pemandangan yang sama terlihat saat kami memasuki gang menuju ke rumah pengasuh
anaknya teman. Di setiap rumah yang kami lewati, terlihat penghuni rumah
berkumpul di depan rumahnya, dan membakar ikan, sepertinya untuk persiapan
makan siang.
Sesampainya di rumah yang dituju, kami disambut dengan
hidangan yang cukup mewah dan banyak. Duh, sayang sekali tidak bisa ikut
semuanya. Makanannya cukup banyak terhidang. Sama seperti halnya di rumah yang
lain, pemilik rumah sedang mengulek bumbu di saung depan rumah untuk bumbu ikan
bakar yang rencananya akan kami bawa ke Pulo (orang sini menyebutnya Pulo
Gede), sebuah pulau yang terletak di seberang Timur pantai Ketapang. Hmmm, bau
ikan bakar semerbak di hidung. Tiba – tiba perut pun keroncongan, Tapi terpaksa
perut harus bersabar sampai nanti tiba di Pulo.
Tergoda Hasil Tangkapan Nelayan Ketapang
Segala persiapan pun sudah siap diangkut menuju perahu
yang akan membawa kami ke Pulo. Berhubung yang ikut dari Cilegon hanya 5 orang
dewasa dan 5 orang anak – anak, maka kami pun sangat welcome ketika banyak yang ikut ke Pulo. Yippy! Seru deh kebayang berpetualang dengan penduduk setempat dan
anak – anak pantai.
Siap berangkat, Guys!!!
Ready for sailing the sea! Yeaahh . . .
Eiits, sampai di bibir
pantai, rombongan Cilegon pada menghilang. Lho kemana? Mata saya mencari –
cari. Ternyata mereka memasuki sebuah bangunan kayu yang cukup besar. Di
dalamnya banyak terdapat kontainer – kontainer yang biasa dipakai untuk
menyimpan hasil tangkapan laut. Owh! Tempat pelelangan ikan! Tadi sempat
mendengar pengasuhnya anak teman mengajak ke gudang ikan. Ya, rencana kami
berwisata ke sini memang sekalian membeli ikan – ikan sebagai oleh – oleh. Oh,
ini toh yang disebut gudang ikan? Kaki saya pun melangkah masuk ke dalam gudang
ikan. Mata saya pun langsung penuh love – love melihat hasil tangkapan yang
baru datang ini. Warnanya cantik – cantik dan matanya bening – bening. “Ayaah!
Sini!” Tak sadar saya berteriak memanggil si bebeb yang berada di luar gudang.
Dia pun mengikuti masuk ke dalam gudang bersama anak – anak.
Cumi yang baru datang dipisah – pisahkan berdasarkan
ukuran. Wuiiih, badan cumi masih putih agak – agak transparan, tanda masih
segar. Katanya di lautan cumi ini transparan, hanya bisa dipancing saat malam
gelap. Mungkin karena tergolong binatang moluska kali ya, tubuhnya lunak – lunak begitu. Cumi ini juga merupakan kelompok hewan Cephalopoda, alias berkaki di kepala. Konon jenis cumi ini bermacam – macam, malah sampai 300 species. Wuih, banyak sekali ya. Biasanya untuk cumi – cumi kecil, nelayan menaburkan makanan supaya cumi
berkumpul, kemudian di jaring. Ada juga yang menggunakan alat pancing khusus
untuk cumi.
Selain cumi – cumi, hasil tangkapan hari ini ada ikan
kakap merah, ikan tenggiri, ikan pari, ikan kuniran, ikan kuwe, dan lainnya.
Kakap merahnya sungguh menggoda hati, begitu pula ikan tenggirinya yang besar –
besar. Tenggiri yang paling kecil berukuran 3,5 kg.
“Mau beli tambahan lagi ngga, Yah?” Tanyaku. Dari
budget party itu sebetulnya masing – masing sudah mendapat jatah untuk membeli
bermacam ikan ini. Hanya saja karena dibagi – bagi, tentunya hasilnya seadanya.
Teman membeli tambahan rajungan. Siapa tidak tergoda melihat cumi yang segar
ini. Rasanya pun katanya sih berbeda. “Kalau digigit, ngga ngelawan,” kata
suaminya teman. Maksudnya dagingnya kenyal dan empuk, tidak alot. “Cumi yang
sudah disimpan berhari – hari selain matanya burem, warnanya juga merah. Itu
tandanya sudah alot,” jelasnya lagi. “Mumpung di sini Mbak, harganya murah
lagi. Di Cilegon mana bisa dapat cumi seharga Rp 30.000 per kilogram. Ya, cumi
yang ukuran sedang sampai kecil dihargai RP 30.000 per kg, sedangkan yang besar
– besar Rp 40.000 per kg. Saya pun membeli tambahan cumi 1 kg dan ikan tenggiri
seberat 3,5 kg, berhubung ingat kapasitas kulkas di rumah yang kecil. Ikan
tenggirinya dijual seharga Rp 50.000 per kg. Murah bukan?
Saya juga baru tahu bahwa rajungan itu aslinya cantik
sekali. Warna kebiruan di kaki – kakinya dan gradasi ungu di tubuhnya, membuat
saya mengagumi Sang Pencipta. Oh, begini toh yang namanya rajungan. Cantik sekali.
Saya pun sibuk jepret sana jepret sini. Orang kota yang aneh, mungkin itu yang
terlintas di benak para nelayan di gudang ikan. Tapi mereka dengan sabar
melayani hasrat saya untuk mengambil foto hasil olahan itu, bahkan mereka ikut
menata rajungan supaya terlihat keseluruhan badannya. “Kalau yang ini namanya
rajungan juga?” Saya menunjuk ke arah di bawah rajungan biru, yang berwarna
kecoklatan. “Oh, itu kepiting,” jawab si Bapak yang bekerja di gudang ikan. “Oh,
ternyata macam - macam ya. Ini jenis
kepiting apa?” Tanya saya lagi. “Kepiting Al Kaeda,” jawabnya sambil tertawa.
Saya pun mengerti setelah dia menjelaskan kenapa dia menyebutnya seperti itu.
Hasil tangkapan nelayan ini akan dibawa ke Jakarta
pada jam 12.00 siang, menurut si Mbak penjaga kasir. Dia bagian mencatat berapa
kilogram ikan hasil tangkapan nelayan. “Ini saya kurangi ya harganya, karena
sudah kenal,” kata si Mbaknya. Asyik, dapat potongan harga lagi. Ngga banyak
sih, tapi ya lumayan, mendengar kata potongan harga saja sudah senang. Xixixi.
Saking asyiknya berkencan dengan ikan dan cumi, kami
lupa bahwa orang – orang sudah menunggu di bibir pantai. Makanan, minuman serta
peralatan makan telah rapi tersusun di kapal. Kami pun secepatnya membayar
belanjaan kami dan menuju ke kapal nelayan. Akhirnya saya berhasil naik ke atas
kapal setelah berjuang naik. Aduh, sepertinya berat badan saya sudah bertambah
lagi, untuk memanjatpun cukup kesulitan.
“Ke pulau apa tuh namanya,” colek saya sama anak yang
mengemudikan perahu. “Pulau Seram,” jawabnya. What? Pulau Seram? Namanya
menakutkan. Tiba – tiba saya berdebar – debar, ditambah di awal perjalanan,
sebelum berangkat, kakaknya pengasuh anaknya teman sempat turun, nyelup ke air
laut untuk membetulkan baling – baling perahu.
Bersambung bagian
ke - 3 Click Here
Klo ikan matanya bening tandanya masih seger ya mb lev
BalasHapusBtw itu kue bentuk mawarnya kok ciantik banget ya mirip bolu kukus
Kalau saya sih biasanya liat seger atau tidaknya dari matanya Mbak. Hehe. Biasanya kalau sudah di es berhari-hari matanya burem. Biasanya lagi kalau lagi terang bulan jarang ada ikan segar di pasar.
HapusRasanya sih mirip bolu kukus, cuma penampilannya jadi cantik ya dibikin bunga mawar. Kreasinya boleh juga ya ibu ibu di desa nelayan ini.
Wah..seru sekali petualang mbak Levina dikampung nelayan Ketapang...sepertinya asyik ya mbak jika kita tidak terikat dengan pekerjaan...bebas berpetualang kemana saja kita suka!
BalasHapus******
Hemmm...
Lihat photo ikan jadi inget dulu saat masih hoby mancing :)
Hehe, kebetulan ini karena dekat tinggal nyeberang jadi bisa dilakukan perjalanan pulang pergi 1 hari.
HapusSuka mancing ya Mas? Spot mancing di Ketapang di Pulau Mundu yang sering dieksplore.
Asyiknya jalan2 terus, Mbak. Anak2nya juga bisa sambil belajar dlm perjalanan ya...
BalasHapusIkan2 di tempat pelelangan ikan biasanya memang lebih murah ya... Apalagi kalau minta tolong pedagang yg biasa ikut lelang, bisa dpt murah lagi. Ditempat saya biasanya seperti itu, Mbak. :)
Hehe, ini one day trip Mbak..deket sebenernya, cuma nyeberang pulaunya yang makan waktu agak lama, sekitar 3 jam. Kadang ngebayangin kalo jembatan selat sunda jadi dibangun, waktu tempuhnya lebih cepat atau lebih lambat ya..
HapusKalau menurut warga sini, ini namanya gudang ikan, bukan pelelangan ikan katanya Mbak. Pelelangan ikannya ada juga, cuma sudah tidak berfungsi.
HapusAku pernah lewat Pantai Timur mbak, memang disini hati saya tenang dan ayem soalnya beberapa sesaat setelah lewat, ew pemandangan yang ada banyak pura - pura nya khas Bali,,, Kok bisa hampir sama ya nama tempatnya, ini Kampung Nelayan Ketapang Lampung, satunya lagi tempat penyeberangan Ketapang - Gilimanuk, :-)
BalasHapusLintas Pantai Timur relative masih sepi. Buat alternatif pulang lebaran lebih cepet ini. Tambah satu lagi, Dermaga Ketapang buat penyeberangan ke Pahawang :)
Hapuskapan kapan pengen kesana
BalasHapusIya Mas...berburu ikan segat murah :)
Hapuseh segar maksudnya...
HapusSeru banget melihat aktivitas nelayan seperti ini ya Mbak. Apa lagi kalau saat iktu sedang menurunkan ikan. Duh segar-segar. Terbayang aja seafood di atas meja :)
BalasHapusSaya pas lihatnya nurunin di gudang ikannya saja Mbak. Seru juga kayaknya kalau pas berbarengan dengan nelayan pulang dari laut membawa hasil tangkapannya. Yang masih penasaran di sini adalah lihat sunrise, pantainya tepat menghadap arah Timur. Jadi pastinya tempat paling pas untuk lihat sunrise. Pengen balik lagi Mbak.
HapusAhh ikannya banyak jenisnya dan besar-besar ya mbak Levi, pas kalau dibakar dan bikin sambel pedes, hmm jadi laparrr :)
BalasHapusItu cuminya sangat meggugah selera, selama ini saya hanya makan cumi kecil atau disebut ikan nus. Asyik nih jalan-jalannya :)
Cuminya ada yang besar dan kecil. Kalau ngga salah orang sini menyebutnya sotong. Trus dimasak hitam. Tapi kalau saya ngga suka cumi masak hitam.....:) Aneh ngelihat hitamnya...wkwkwkwk
HapusOh cumi kecil disebut ikan nus kah? sekecil yg difoto di atas?
Cuminya ada yang besar dan kecil. Kalau ngga salah orang sini menyebutnya sotong. Trus dimasak hitam. Tapi kalau saya ngga suka cumi masak hitam.....:) Aneh ngelihat hitamnya...wkwkwkwk
HapusOh cumi kecil disebut ikan nus kah? sekecil yg difoto di atas?
Hihihi, pohon ketapang di tempat saya banyak banget. Di pinggir pantai sih, hehe..
BalasHapusBtw, Salam kenal mbak, saya blogger baru yang sedang bertualang mencari ilmu :D
Salam kenal juga. Iya banyak juga ternyata yg bernama ketapang. sempet bikin bingung juga. rupanya ketapang ini aslinya tanaman pingir pantai. sering lihat pohon ketapang di pabrik. seneng daunnya lebar lebar trus pas lagi memerah atau menguning mirip mirip kayak musim gugur gitu...cakep banget.
HapusWuih Wuih, seegeerrnya ngelihat ikan yg bru di tangkap.
BalasHapuskeren bgt adventure nya bunda..
memang fantasy bgt ya bisa liburan di tepian pantai gitu. fresh brain and soul :D
Betul, ikannya seger-seger banget. Saya aja sampai senang ngelihatnya. berbagai macam jenis beraneka warna. Ikan pari besar juga ada. diangkatnya dijepit dikedua matanya. Iiih, geli juga sih. Kalau buat saya sih ini pengalaman yang mengasyikan, karena ngga pernah nemu sebelumnya. hehe, tahunya udah jadi makanan saja tersaji di meja. hehe.
Hapusselalu seneng kalo bisa beli ikan yg baru saja ditangkap :).. rasanya beda, hargapun jauh lebih murah :D.. makanya tiap mudik ke sibolga, aku ga prnh absen utk belanja seafood segar, trs dimasak di tempat mbak, buat makan rame2 juga.. itu untungnya jd anak pesisir ;)
BalasHapusSeneng banget milihin ikan yang baru ditangkap Mbak. Matanya itu bening-bening banget. Ih, sekarang jadinya suka ngebandingin kalau ke pasar or mall, ternyata sebening2nya yg ada di pasar or mall tetep ajah bening butek bukan bening jernih. Hiks.
Hapus