Di usia saya yang menjelang 40 tahun ini, belum pernah
sekalipun saya menginjak Monumen Nasional, atau orang sering menyebutnya dengan
Tugu Monas. Beberapa kali menginjak kaki di Jakarta, dan beberapa kali pula
melewati kawasan Monas, tapi tidak pernah sekalipun berhenti untuk sekedar
mengambil foto di sini. Tugu Monas, yang menjadi landmark Jakarta, dibangun
pada tahun 1961 atas perintah Presiden Sukarno untuk membangun ikon yang setara
dengan Menara Eiffel.
Apa sih yang menarik dari Tugu Monas? Hanya sebuah
tugu panjang, dengan landasan menyerupai mangkuk dan ujung atas tugu terdapat
lidah api yang konon terbuat dari emas. Saya pikir tidak ada sesuatu pun yang
menarik dari Monas yang membuat saya ingin singgah, sampai hari Minggu kemarin,
saat ayahnya anak-anak mengajak ke Istiqlal untuk menghadiri kajian akbar. Ah,
sudah datang jauh dari Cilegon, kenapa tidak sekalian mengunjungi Monas?
Letaknya kan berdekatan dengan Istiqlal. Anak-anak pun terlihat antusias ketika
saya bilang, setelah dari Istiqlal kita akan menuju Monas, terutama Aisya.
Ba’da Dhuhur, Jenderal Hitam meluncur menuju kawasan
Lapangan Merdeka dimana Tugu Monas berada. Agak kebingungan juga menemukan
jalan masuk menuju ke Lapangan Merdeka. “Dimana sih gerbang utamannya?” Gerutu
saya bingung, Jenderal Hitam malah berputar-putar mengelilingi kawasan wisata
yang satu ini. “Coba tanya Yah,” saya akhirnya menerapkan prinsip jangan malu
bertanya jika tidak mau gagal masuk Monas. Aisya dengan sigap menekan tombol
power window si Jenderal Hitam, dan menyapa seorang petugas bersegaram biru
pupus. “Pak, mau tanya, kalau mau ke Monas, parkirnya dimana?” Tanyanya dengan
lantang. “Oh, di sebelah sana! Tidak jauh kok. Ada tulisannya, parkiran IRTI.
Itu tempat parkir untuk pengunjung Monas,” jelasnya sambil menunjuk ke arah
depan kami.
Wow! Monas penuh! Ternyata Minggu siang hari begini
agak susah mencari tempat parkir. Terlihat beberapa bule lalu lalang. Banyak
yang berkunjung ke Monas. Wah, saya kemana saja ya, sampai ngga tahu daya tarik
Monas.
Sempat parkir di sebelah mobil patroli, yang akhirnya
di usir karena menghalangi manuveur mobil lain. Sebenarnya sih kalau menurut
perhitungan saya space-nya masih cukup. Sesekali petugas parkir juga memberikan
keterangan kepada yang datang mengenai pintu masuk ke Tugu Monas. “Itu pintu
masuknya yang dekat pohon besar,” petugas parkir menunjuk-nunjuk ke pojokan.
Kemudian terdengar sesama petugas parkir berbincang-bincang. “Hari gini masih
banyak yang ngga tahu gerbang masuk Monas rupanya.” Haha, saya juga belum tahu
Bang, pintu masuknya sebelah mana yak? Tawa saya dalam hati.
Setelah mendapat tempat parkir untuk si Jenderal
Hitam, kami pun menuju pojok tempat pohon besar berada yang ditunjuk si petugas
parkir tadi. Banyak penjual-penjual cenderamata di sepanjang jalan menuju pintu
masuk Monas. Belum begitu jauh kami masuk, terdapat banyak badut seperti badut
Marsha, Boboboy, Hello Kitty, Doraemon, Ondel-ondel Jakarta. Dan anak-anak pun
tergoda untuk berfoto dengan para badut ini. 3 kali jepretan foto, infaknya Rp
5.000 ya. Setelah puas, kami pun meneruskan masuk. Eh, di sini malah bertemu
dengan komunitas manusia patung! Sudah bisa ditebak, anak-anak ingin berpose
dengan si manusia patung yang berwarna-warni mencolok. Nih, posenya keren-keren
kan? Si Manusia patung juga bertindak sebagai penata gaya anak-anak. Mereka
dipandu untuk berpose supaya menghasilkan pose keren. Infak untuk si manusia
patung ini sama seperti berfoto dengan badut.
Oya, Aisya penasaran sekali sama manusia patung yang
berpose duduk, tapi tidak memakai kursi. “Itu gimana caranya sih Bu, kok ngga
jatuh orangnya?” Tanyanya dengan mata takjub memandangi si manusia patung yang
duduk cukup lama tanpa penyangga. “Tanya dong sama orangnya,” kata saya. Eh,
dia langsung tanpa dikomando menghampiri si manusia patung, “Om, itu gimana
cara duduk ngga tanpa kursi?” Aisya bertanya sama si manusia patung. Entah apa
yang diperbincangkan kedua orang itu, yang pasti Aisya terlihat mempraktekan
mencoba pose duduk tanpa kursi. “Disuruh latihan, Bu,” jelas Aisya menghampiri
saya. “Oooh,” saya cuma membulatkan bibir. “Kok bisa tahan lama gitu ya?” Saya
penasaran, mecolek ayahnya anak-anak. “Ih, itu kan pakai magnet, ada plat di
bawahnya, dibuat supaya saling tolak menolak,” jawabnya. “Alaaaa, bohong banget
sih!” Seruku tidak percaya omongannya. Ayahnya anak-anak cuma ketawa ngakak.
Untuk sampai ke gerbang masuk Monas, kita harus
melewati pedagang-pedagang kaki lima. Tidak di Jakarta, tidak di Banten Lama,
tidak di Cirebon, setiap akan memasuki pintu kawasan wisata kita diputar-putar
dulu mengelilingi tenda-tenda dagangan seperti ini. Sebetulnya jika tidak
membawa kendaraan lebih enak, bisa masuk lewat beberapa pintu gerbang yang
terbuka. Akhirnya setelah berjalan, kami pun masuk ke kawasan Taman Monas. Dan
seperti dugaan sebelumnya, Monas sungguh sangat ramai.
“Bagi para pengunjung yang ingin menuju Tugu Monas,
loket tiket masuk menuju puncak telah ditutup, sedangkan tiket menuju cawan
masih tersedia,” kira-kira begitu pengumuman yang terdengar dari pengemudi
kereta wisata. Pengunjung yang ingin masuk ke Tugu Monas, bisa menaiki kereta
wisata yang berupa 3 gerbong mirip kereta api. Saat naik untuk menuju Tugu
Monas, kita tidak ditagih bayaran. Kita diminta menyimpan potongan tiket masuk jika
ingin kembali menaiki kereta wisata menuju parkiran IRTI.
Duh, ternyata yang berminat masuk ke Tugu Monas sangat
banyak. Kita pun harus antre membeli tiket. Tiket masuk sampai ke bagian cawan
seharga Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 2.000 untuk anak-anak. Harga tersebut
sudah termasuk infak ZIS sebesar Rp 1.000, menurut keterangan yang tertempel di
dekat loket tiket. Melihat kerumunan yang seperti lebah ini, ayahnya anak-anak
langsung keder. “Ngga usah masuk yuk!” Ajaknya. “Ngapain, cuma lihat tugu doang,”
katanya lagi dengan muka rungsing melihat kerumunan yang sesak dan padat
tersebut. “Idiih, nanggung sih. Jauh-jauh datang, masa ngga jadi,” saya menolak
ajakkannya. “Ya sudah, biarin saya saja yang antre,” kata saya, tetap bertekad
harus bisa masuk Monas hari ini.
Untuk sampai ke Tugu Monas, dari depan loket masuk, kita melewati terowongan bawah tanah. Tempat yang pertama kita tuju adalah bagian dasar tugu. Kita menuruni tangga, memasuki satu hall yang luas dengan penerangan yang temaram. Ya, ruangan ini adalah ruangan diorama. Di sini terdapat 4 sisi diorama, dan ada 3 diorama di bagian tengah. “Wow! Keren banget dioramanya, De!” Seruku pada Aisya, “lihat De, sebelah sini!” Diorama berbentuk karya 3 dimensi dengan patung-patung dan benda yang dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Diorama ini sambung meyambung, dari mulai zaman prasejarah, zaman kerajaan-kerajaan, perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Dioramanya menurut saya lengkap. Anak-anak bisa belajar di sini, mengenang kembali keberanian para pahlawan Indonesia dalam memperjuangkan tanah air hingga titik darah penghabisan. Dalam diorama ini juga dilukiskan mengenai pengkhianakan G 30 S PKI, termasuk diorama penimbunan mayat para Jenderal di Lubang Buaya. Melihat perjalanan perjuangan ini, entah kenapa saya berpikir, “duh, bangsa ini ternyata terus-menerus dijajah.”
Diorama - diorama itu kelihatannya dibuat mirip sesuai dengan aslinya. Aisya saja sampai mengenali salah satu gedung yang ada dalam diorama tersebut. "Lho, ini kan kita pernah ke sini ya Bu?" Tanyanya dengan penuh keheranan dan takjub. Gedung yang dimaksud adalah Gedung Merdeka Bandung, tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika. Diorama yang dibicarakan Aisya adalah diorama ketika sedang berlangsungnya Konferensi Asia Afrika. Aisya mengenalinya dari warna tirainya yang merah juga tempat duduk di depan podium.
Baca juga: Historical Walk Asia Afrika
Setelah puas mengelilingi 4 sisi diorama, kami pun
naik ke Ruang Kemerdekaan, dimana dari ruangan ini terdengar alunan lagu yang
merdu tetapi mengharu biru, entah apa judul lagunya. Saya serasa berada di
ruang meditasi mendengar alunan musik yang keluar dari ruangan kotak. Sayangnya
sesampainya di atas, ruangan berpintu hijau berlapis emas itu sudah terkunci.
“Memang sudah waktunya tutup, Bu,” jelas si penjaga. Jadilah kami harus puas
hanya dengan berkeliling di bagian luar Ruang Kemerdekaan yang membentuk tempat
duduk mirip di teater (amphitheater) dengan sisi dinding yang miring.
Sepertinya itu adalah bagian cawan yang miring. Anak-anak tampak memanfaatkan
sisi miring ini sebagai tempat perosotan. Katanya ruangan ini menyimpan
simbol-simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia, seperti naskah
asli proklamasi kemerdekaan yang disimpan dalan kotak kaca, peta kepulauan yang
berlapis emas, bendera merah putih (wikipedia). Setiap satu jam sekali akan pintu kayu jati ini akan terbuka dari jam 08.00 - 15.00, akan terdengar suara Bung Karno membacakan naskah proklamasi yang menggetarkan jiwa, ditutup dengan lagu Padamu Negeri. Ih, membacanya aja merinding, apalagi sampai mendengar Bung Karno membacakan teks proklamasi pada detik-detik 17 Agustus ya.
Kembali ke bagian luar Tugu Monas, di sana terdapat
tembok patung 3 dimensi yang mengisahkan tentang kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Di paling ujung sepertinya patung Mahapatih Gajah Mada yang terkenal
dengan sumpah palapa. Beberapa remaja terlihat sedang berfoto dengan latar
belakang Tugu Monas. Bentuk tugu ini ternyata tidak sembarang dirancang, tetapi
telah melewati serangkaian pemikiran panjang dari Bapak Pendiri Bangsa. Setiap
bentuk memiliki arti. Bentuk tugu panjang merupakan bentuk lingga, sedangkan
cawan adalah bentuk yoni. Dalam tradisi, lingga yang mirip tugu obeliks
melambangkan laki-laki sedangkan yoni adalah perempuan. Mengandung arti kesuburan dan
keharmonisan yang saling melengkapi layaknya laki-laki dan perempuan. Lidah api
yang dilapisi emas melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Ternyata
tugu yang dirancang Frederich Silaban yang saya bilang bentuknya kurang menarik
ini, mempunyai makna yang mendalam ya. Menyesal deh, saya pernah memandang
sebelah mata.
Maksud hati ingin mengabadikan kebersamaan di depan
Tugu Monas. Duh, tapi sinar matahari sungguh terik, Mata sampai memicing
sekecil-kecilnya saking silaunya. Padahal waktu sudah menunggukan pukul 15.00
lebih. Berfoto dengan latar belakang tugu pun tidak akan terlihat bagus. Yang
ada malah backlight. Akhirnya saya
memutuskan untuk menyudahi tour kami di Tugu Monas, untuk kembali ke Parkiran
IRTI.
Cuaca sangat terik. Muka rasanya langsung tersengat
sinar matahari. Sambil menunggu kereta wisata lewat, kami melihat ke taman yang
terdapat patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda. Konon, patung
ini dibuat oleh pemahat Italia, Coberlato. Patung perunggu seberat 8 ton ini merupakan
hadiah atau sumbangan dari Konsulat Jenderal Honores, Dr. Mario Bross.
Cuaca yang terik membuat mood semakin memburuk, kami kembali ke tempat menunggu kereta
wisata. Sudah banyak orang yang antre menunggu kereta wisata, membuat kami
tambah frustasi. Sinar matahari tepat mengenai muka tanpa penghalang sama
sekali. Untungnya kereta wisata datang cepat. Sehingga kami pun dapat segera
pergi menghindar dari kejaran sinar sang graha yang terik.
Sampai di pusat kuliner di wilayah parkiran IRTI, tumpukan
batok kelapa muda sungguh menggoda tenggorokan yang sedari tadi kering
kerontang. “Minum dulu es kelapa muda yuk!” Ajak saya, “kelihatannya enak.”
Saya pun duduk dan memesan 2 buah kelapa batok dan 2 mangkuk es campur kelapa
ijo. Semangkuk es campur pun ludes di perut saya. Sedangkan ayahnya anak-anak,
sibuk mengeruk isi batok kelapa mudanya. Azka malah hanya mengaduk-aduk isi
kelapa batok di hadapannya.
“Mbak, jadi berapa semua?” Saya memanggil si Mbak penjual
es campur dan kelapa muda sambil menanyakan harga yang harus saya bayar. “Tujuh
puluh ribu rupiah?” Jawabnya, yang langsung membuat saya mengerjapkan mata
berkali-kali. Beuh! 70 ribu untuk 2 batok kelapa dan 2 mangkuk es campur? “Ngga
salah Yah?” Bisik saya pada ayahnya anak-anak. “Ngga lah Bu, bener 70 ribu,”
sahut Azka yang rupanya menguping omongan saya, “kan kelapa batoknya 20 ribu satunya,
es campurnya 15 ribu semangkuk,” lanjutnya lagi. “Tau dari mana?” Saya
penasaran, yang dijawab Azka, bahwa harganya tertulis di samping gerobak. “Kenapa
kamu ngga bilang dari tadi Ka? Kalau tahu begitu ngapain beli kelapa batoknya 2
biji?” Whuuua, pengen menangis darah rasanya, apalagi melihat kelapa muda di
hadapan Azka hanya diudek-udek ngga karuan. “Mbak, itu yang ngga habis, tolong
dibungkus saja yak,” akhirnya saya memanggil si Mbaknya untuk membungkus kelapa
muda Azka. Sayang Bo! 20 ribu cing! Kirain harga kelapa mudanya sama kayak di
Anyer, Rp 10.000/biji. Moral of the story:
selalu tanyakan harga sebelum membeli, jangan kepedean!
Bagi yang tertarik datang ke Monas, loket masuk ke
Monas dibuka sekitar pukul 08.00 – 15.00 setiap hari, kecuali hari Senin di
pekan terakhir di setiap bulannya. Jika ingin naik sampai puncak, sepertinya dibatasi
hanya sampai jam 12.00 siang, karena saat saya datang setelah sholat dhuhur,
tiket naik ke puncak sudah tidak dijual. Hanya tiket sampai ke cawan yang
tersedia. Harga tiket sampai ke puncak Rp 15.000/orang dewasa. Menurut saya,
enaknya datang ke Tugu Monas ini di pagi hari atau di sore hari. Hanya saja jika
di sore hari, kita tidak bisa masuk ke dalam Tugu Monas karena sudah tutup. Jangan lupa berfoto-foto di area pelataran Tugu Monas dimana terdapat relief tiga dimensi.
aku belum pernah masuk ke dalam Monas, ternyata dioramanya bagus2 ya Mba.. kita bisa belajar banyak hal tentang sejarah.. Btw, blognya aku tarok di blogroll pada blog aku ya..
BalasHapusSaya juga baru kali ini masuk Monas :) Seumur umur. Betul Mbak.
HapusThank you, saya juga sudah taro di site I follow di sidebar kiri ya. Btw, biar ikonnya muncul kayak blogroll y Mbak Rita pakai gadget apa Mbak untuk di layoutnya?
Sementara ini aku baru muter2 di seputeran Monas aja belum pernah masuk ke dalamnya.. Nice post Mba..
BalasHapusMuterin juga lumayan bikin keringetan ya Mbak. Tadinya saya juga ga tertarik masuk. Cuma abis gitu mikir, masa belum sekalipun liat dalamnya Monas? hahaha. Sayang kemarin tiket naik ke puncak udah ditutup. Sedih deh cuma bisa sampai pelataran cawan.
HapusSaya sudah pernah ke monas dulu jaman SMP, tapi gak sempat foto di monas, masih malu-malu buat foto, dulu jaman study tour smp haha
BalasHapusBiasanya memang Monas favorit tempat untuk study tour yak. Anak saya yang SD juga study tournya ke sini. Kmrn juga banyak yang datang rombongan.
Hapuswah sudah lama gak ke monas, terakhir lima tahun yang llau menunggu kereta yang masih lama, jalan-jalan ke monas dulu
BalasHapusHihi...saya malah baru pertama kali ke Monas Mbak hari itu. Saya masih penasaran belum mencapai puncaknya.
HapusAku belum perah ke Monas, lha belum pernah ke Jakarta hihihi.
BalasHapusSepertinya kalo datang ke Jakarta, wajib deh foto di tugu monasnya :)
Btw itu es campurnya bikin ngiler *glek.
Haha...betul..betul..Monas ikonnya Jakarta kan yak.
HapusSaya juga baru kali ini Mbak, kesampaean nyambangin Monas.
Dulu saya saring ngeledek, diih, apaan cuma liat tugu doang. Eh, ternyata dalamnya lumayan juga Mbak untuk belajar sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Seru juga ternyata. Masih belum puas Mbak, karena belum dengar naskah proklamasi yang dibacakan Presiden Soekarno dan lagu Bagimu Negeri dari Ruang Kemerdekaan, juga belum naik sampai puncak tugu. Jadi pengen kesana lagi.
Mungkin kata orang rumput tetangga lebih hijau itu benar ya mbak? hehehe
BalasHapusDalemannya monas itu kayak itu ya ternyata dan harus mengantri kalau mau masuk,,,,
kapan - kapan kalau ke Jakarta tak mampir ke Monas ah, buat menjenguk Icon ibukota ini, :-)
Keren mbak Levina
Bisa tuh Nis, pulang kampung kan sejalan tuh, bisa mampir dulu, itupun kalau lewat jalur darat, hehe. Iya es campurnya bikin glek, sekaligus bikin meringis pas bayar. Haha. Jakarta lebih mahal daripada Anyer ternyata...
Hapuspertama kali menginjak monas pada tahun 2007 Mbak, tapi hanya di pekarangannya saja, gak sempat naik ke atas..
BalasHapussatu hal yang saya ingat dari monas adalah bau pesing kuda yang sangat mengganggu indera penciuman saya saat itu :(
Oh dari delman ya Mbak? Kemarin sih lihat model delman gitu yang dihias-hias lidi dikasih kertas warna warni itu, mirip yang suka ada di ondel-ondel. Tapi kemarin sih lihatanya di luaran Monasya. Wah, pengalaman yang membekas di hati ya Mbak, bau pesingnya itu yak..wkwkwk.
HapusBerarti saya masih lebih elit yak, cuma kepanasan doang plus kulit gosong...xixixi.
Berkali - kali ke monas, belum pernah naik ke atas hiks (Biasanya kesorean datangnnya). Tapi kalo ngga salah dengar, sekarang MOnas dibuka untuk malam juga ya mba?
BalasHapus