“Ya Allah!” Saya berteriak, kaget meloncat dari tempat tidur.
Sayup-sayup terdengar suara Adzan di masjid kompleks terdengar. “Kaka, Dede,
bangun! Kita kesiangan!” Dengan panik, saya mengguncang-guncang tubuh anak-anak
yang masih terlelap tidur. “Astagfirullah! Kok bisa alarmnya ngga bunyi?” Saya
mencari-cari handphone saya di tumbukan bantal, dan hanya bisa bengong melihatnya
dalam keadaan mati. Saya pun secepatnya menggiring anak-anak menuruni tangga menuju
kamar mandi bawah. Ayahnya anak-anak sudah tidak terlihat, sudah bisa ditebak
sekarang sedang berada di masjid. Sambil membuka baju anak-anak, saya mengganti
baterai handphone, dan mencoba menelepon teman saya, minta maaf karena terlambat.
“Ayah kok tega sekali ya Ka, ngga bangunin kita?” Saya
ngomel-ngomel, sambil manyambar handuk di besi jemuran. “Cepat mandinya Kaka,
Dede,” perintah saya. Masih dengan perasaan dongkol karena si bebeb tidak
membangunkan saya. Padahal saya sudah mengingatkannya untuk bangun jam 02.00,
dan siap berangkat dari rumah jam 03.00 dini hari menuju Pelabuhan Kapal Merak.
“Ayah itu tega!” Saya berkaca-kaca, membayangkan teman menunggu dari jam 04.00
di perumahan Grogol, tempat kami janjian untuk bersama menuju pelabuhan
penyeberangan. Rencananya hari ini kami akan berangkat ke Ketapang, desa tempat
tinggal khadimatnya teman sebagai acara annual
party department.
“De, coba susul ayahnya ke masjid!” Saya tidak sabar,
15 menit sudah berlalu. Perkiraan saya seharusnya sholat Shubuh berjamaah di
masjid sudah selesai. “Biasanya hari Sabtu suka ada pengajian,” lanjut saya.
Berhubung masjid hanya terpisah beberapa rumah dari tempat kami, saya pun
berani meminta anak-anak menyusul ayahnya. Mereka pun tanpa disuruh dua kali
langsung berlarian menuju masjid.
Sebetulnya acara ke Desa Ketapang ini telah direncankan
jauh-jauh hari. Setiap tahunnya, kami mempunyai jatah party dari perusahaan dan
setiap department bebas memanfaatkan
jatah tersebut, tentunya dengan pertanggungjawaban. Tahun ini, setelah beberapa
tahun hanya makan-makan di dalam kota, kami memutuskan untuk menggunakan budget party ini untuk pergi ke sisi
Timur Lampung. Selain karena tempatnya relative lebih dekat dari Cilegon, juga
perhitungan biaya yang keluar tidak terlalu banyak, dibanding jika kami harus
ke daerah Bogor atau Bandung. Ditambah ceritanya teman bahwa harga ikan di sana
sangat murah. Penasaran dong ingin tahu tempatnya.
Namun, rencana manis ini tidak berjalan sebagaimana
rencana. Satu persatu, dari 5 anggota kami mengundurkan diri, karena tiba-tiba
ada halangan. Untuk membatalkan pun rasanya tidak mungkin, karena terlanjur
sudah bilang pada keluarga khadimatnya teman di sana. Tidak enak rasanya jika
harus membatalkan tiba-tiba. Tersisa 3 keluarga menjelang waktu keberangkatan. Kami
pun memutuskan untuk tetap berangkat dan janjian ketemu jam 04.00 pagi.
5 jam menjelang keberangkatan, salah seorang dari kami
memutuskan untuk tidak jadi pergi. Keputusan yang mendadak membuat saya sedikit
kecewa, membayangkan persiapan yang mungkin sudah dilakukan di Ketapang untuk
menyambut kita. Mencari pengganti pun ditengah malam seperti ini cukup sulit
juga. Ya, tapi apa mau dikata, rencana tinggal rencana. Akhirnya dari 5
keluarga, yang jadi berangkat hanya 2 keluarga.
“Ayah! Ayah itu tega sekali! Ngga bangunin aku!”
Semprot saya, saat melihat ayahnya anak-anak muncul di depan pintu. Dia tenang
saja sambil terus baca hafalan surat pendeknya. Saya terdiam walaupun sangat
keki. Begitu dia selesai membaca ayat terakhir, saya pun nyerocos lagi, “Ayah
itu kenapa sih? Kan tadi malam sudah dibilang, jadi berangkat! Bangun jam
02.00! Berangkat jam 03.00! Kasihan tahu, mereka menunggu kita dari jam 4 pagi.
Ini sudah jam berapa? Padahal kan ayah sudah bangun dari tadi!” Saya mengikuti
kemana pun dia bergerak, ganti baju, mengambil kunci mobil dan lainnya. “Lho,
aku pikir hari Minggu perginya,” jawabnya kalem, setelah saya nyerocos panjang
kayak kereta api, “terakhir kan bilangnya hari Minggu. Ya aku pikir masih sama.”
Astagfirullah! Saya speechless. Mulut sampai ternganga. Lah, terus saya ngomong semalam
supaya bangun jam 02.00 itu apa yak? “Ya, sampean kan cuma nyebutin jam. Aku
pikir harinya tetap hari Minggu.” Arrrgggh! Beginilah mungkin namanya salah sambung,
jaka sembung bawa golok, alias miscommunication.
Setelah saya pikir-pikir lagi, memang saya tidak menyebut hari. Saya hanya
menyebut besok, dan definisi besok dalam dunia dia adalah bisa besok hari, bisa
besok harinya lagi, atau besok besoknya lagi. Duh, ini baru dua orang yang
berkomunikasi, bagaimana jika melibatkan banyak orang? Saya menghela napas
panjang, pelajaran saya pagi ini: katakan sedetail mungkin jika kita akan traveling,
hari, jam, tanggal, tujuan, peserta, transportasi dan lainnya. Dan, jangan
mengharapkan pasangan kita atau orang lain mengerti sendiri apa yang kita mau. Betul
kata Engkong Jepang bahwa komunikasi itu dikatakan berhasil jika orang lain
melaksanakan apa yang kita komunikasikan.
Dengan perasaan sungguh sangat tidak enak dan malu,
saya meminta maaf karena sudah membuat teman dan keluarganya menunggu selama 1
jam lebih. Karena tinggal 2 keluarga yang ikut, rencana semula untuk
menyeberang tanpa kendaraan pun dibatalkan, karena secara perhitungan budget
kami masih memenuhi daripada harus sewa mobil di Bakauheni untuk menuju desa
Ketapang. Kami pun beriringan memasuki loket penyeberangan untuk kendaraan.
“Port Link sudah berangkat belum?” Tanya suami saya
kepada petugas loket, sambil menyerahkan uang Rp 320.000 untuk biaya kendaraan
naik ke atas kapal. Port Link adalah salah satu kapal penyeberangan yang mewah,
jadi kami pun ingin mencoba merasakan fasilitas Port Link. “Belum Pak, masih
lama. Baru sandar,” jawab si petugas loket, menyerahkan kembali KTP dan uang
kembalian. “Mau nunggu Port Link?” Tanya si bebeb. Saya menggelengkan kepala. “Nanti
keburu siang kalau menunggu Port Link,” jawab saya dengan perasaan masygul karena
tidak bisa naik Port Link, “ikut yang ada saja.”
Kapal yang kami dapat pun tidak jelek pula. Dharma
Kencana XI! Yes! Bisa menaiki kapal ini dalam waktu yang berdekatan rasanya
berkah sekali. Di kapal yang satu ini, fasilitasnya oke punya, dan kita ngga
perlu upgrade untuk mendapatkan tempat yang nyaman dan ber-AC. Si Jenderal
Hitam memasuki mulut kapal. Saya tidak sadar, mobil teman yang bersampingan dengan
Jenderal Hitam belum memasuki kapal. Ternyata mobilnya tertahan di depan kapal,
petugas mendahulukan truk-truk yang telah antre panjang. Saya pun gelisah, bagaimana
jika mobilnya tidak keangkut? Saya senewen. Jika tidak terangkut, nunggunya lama
lagi. Sampai jam berapa nanti tiba di Ketapang. Akhirnya mobil teman berhasil
masuk di urutan paling buncit, itupun setelah khadimatnya turun dan
menyampaikan kepada petugas bahwa kita rombongan. Duh, nyaris saja!
Anak-anak sangat menikmati perjalanan dengan Dharma
Kencana IX. Sebelum kapal berangkat, kami pun berkeliling. Sebelumnya karena
menaiki kapal ini di malam hari, jadi penasaran juga menjelajah setiap sudutnya
di hari yang terang. Di ujung-ujung kapal terdapat kursi-kursi kayu bersenderan
yang bisa digunakan untuk berleha-leha sambil memandangi lautan. Lihat
bagaimana antusiasnya anak-anak berada di buritan dan geladak kapal ini.
Cuaca mendung pagi ini. Ombak hari ini cukup kencang. Goyangan kapal pun sangat
terasa. Saya pun sempat limbung saat berjalan. Anak-anak cuek sekali seolah
tidak peduli dengan goncangan kapal. Terus terang, saya sedikit khawatir,
karena biasanya mesin kapal terdengar mulus, tanpa gejlukan. Hari ini beberapa
kali mengalami gejlukan, seolah kapal menabrak arus kuat yang berlawanan. Anak
pertama teman sedikit mengalami mabuk laut, sedangkan kedua anaknya yang balita
malah pecicilan, berlarian kesana kemari. Ternyata anak kecil lebih tahan
banting dibandingkan orang dewasa. Ini pelajaran saya berikutnya pagi ini:
jangan pernah meremehkan kekuatan anak-anak, ketangguhan mereka mengalahkan
perkiraan kita orang dewasa. Bukannya mabuk, malah kita yang dibikin mabuk sama
mereka. Hahaha.
Perjalanan masih cukup lama untuk sampai di Pelabuhan
Penyeberangan Bakauheni. Saya pikir, ngga ada salahnya tiduran sebentar sebelum
tiba di sana. Baru saja saya memejamkan mata, tiba-tiba saya teringat Nikon
yang saya bawa. Astagfirullah, saya cuma bawa kameranya doang, sedangkan baterainya
tertinggal masih dicharge di rumah. Ya, ampun! Benar-benar tanpa persiapan sama
sekali. Jadi saya harus puas dengan kualitas foto yang dihasilkan dari
handphone saya. Saya pun menghela napas kembali. Duh, mimpi apa semalam.
Rencana indah yang disusun harus berawal dengan kejadian-kejadian tidak
mengenakkan. Bagaimana seandainya di sana pun tidak semanis bayangan?
Televisi tepat di samping belakang saya sedang
menayangkan film Indonesia. Ah, paling juga film zaman dahulu. Eh, tapi kok
anak-anak serius sekali memperhatikan. Saya pun penasaran, apa yang sedang
mereka tonton. Walaupun dekat, tetap saja tidak terlihat karena saya tidak
memakai kacamata saya. “Film apa sih De? Kok serius banget nontonnya?” Tanya
saya, balik memandang mereka kembali. “Itu Bu, Merry Riana,” jawab Aisya tanpa
mengalihkan pandangan dari televisi.
Ding Dong! Sesuatu tiba-tiba
menghantam pikiran saya. Merry Riana? Rasanya kok pernah dengar nama ini.
Dimana ya? Oh, bos saya pernah cerita bahwa salah satu film favoritnya adalah Merry
Riana, judulnya saya tidak ingat, tapi yang saya ingat jelas adalah namanya.
Bos saya bilang film ini sangat bagus, mengenai perjuangan seorang Merry Riana
untuk menjadi orang sukses dan suka dukanya selama kuliah di Singapura. Wow!
Saya pun berubah pikiran, yang tadinya hendak tidur, sekarang pindah ke bangku
paling depan untuk menonton Merry Riana,
Impian Sejuta Dollar.
Sialan! Film ini sukses membuat saya menangis di
awal-awal. Tengsin amat, di tempat umum menitikan air mata. “Ibu, Ibu menangis
ya? Sedih ya Bu nonton filmnya?” Tanya Aisya. Saya mengiyakan, “iya sedih,
melihat perjuangannya saking inginnya bersekolah.” Benar kata bos saya, film
ini bagus. Ya, walaupun terlambat nonton, ngga apa-apalah, better late than never kaan?
Impian Sejuta Dollar terinspirasi oleh kisah Merry
Riana, seorang wanita Indonesia pertama yang meraih 1 juta dollarnya di usia 26
tahun. Kerusuhan 1998 membuatnya membatalkan cita-citanya kuliah di Indonesia,
dan keluarganya mengirimnya ke Singapura dengan kondisi keuangan yang
memprihatinkan. Di usianya yang muda, Merry harus berjuang seorang diri di
Singapura, jatuh bangun sampai akhirnya dia berhasil. Film ini bercerita
tentang tekad yang kuat, berusaha, cinta, persahabatan, juga takdir. Hehe,
menurut saya sih takdir, karena di salah satu adegan diceritakan Alva, seorang
pemuda yang mencintainya akhirnya menyerah untuk meninggalkan Merry dan
memberikan cincin kepada nenek tua di jalanan yang tadinya cincin tersebut akan
diberikan kepada Merry. Cincin itu akhirnya sampai juga di tangan Merry karena
secara tidak sengaja Merry menolong nenek tua itu yang tiba-tiba pingsan.
Entahlah, apa cerita film ini seluruh adegannya berdasarkan kisah asli yang dialami
oleh Merry Riana atau telah mengalami modifikasi alur cerita. Tapi yang pasti
film ini mengajarkan bahwa sukses adalah ketika kita bisa membuat orang-orang
di sekeliling kita bahagia. Di akhir film, Merry sadar bahwa sukses atau hidup bukan
hanya diukur oleh berapa banyak uang yang kita hasilkan. Bisa ditebak dong akhir
filmnya happy ending.
Dan, bioskop pun bubar. Puncak Menara Siger sudah
tampak membesar, pertanda sebentar lagi kapal akan tiba di Bakauheni. Dan, miscommunication pun masih berlanjut . .
. . .
Bersambung bagian - 2 Click Here
Xixixi, jadi teringat suamiku yang juga suka miscom. Aku bilangnya apa, dia apa. Alhasil, berantakan deh mood gara-gara suami.
BalasHapusAku belum pernah liat film itu, kayanya juga bakal nangis bombay deh.
Rame Mbak filmnya. Mirip-mirip drakor gitu lah. Saya sih suka. Hihi.
Hapusaku udah nonton fimnya, tahan banting ya MErry Riana
BalasHapusIya Mbak, bener tahan banting. Lihat film ini serasa aku jadi ikutan terlarut dalam emosinya doi. Jatuh bangun mengejar mimpi. Jadi terinspirasi juga, cuma kalau buat jadi agen asuransi saya ora iso Mbak..hiks, ngga bakat. Hiks udah under estimate diri sendiri deh dengan kalimat ini yak...
HapusWah masih menampilkan soal kapal mbak,,,
BalasHapusKu semakin merindu kampung halaman,,, hehehe....
Fasilitas kapal sekarang sudah semakin oke ya mbak?
Akhir-akhir ini bolak-balik nyeberang ke Lampung sepertinya sih fasilitas kapal makin bagus. Banyak kapal-kapal yang keren.
HapusMerry riana mimpi sejuta dollar, keren filmnys menginspirasi anak muda untuk selalu kerja keras
BalasHapusBetul sekali menginspirasi untuk selalu mempunyai impian dan tekat serta kerja keras untuk mencapai impian tersebut.
HapusSaya belum pernah nonton filmnya tapi pernah dengar teman cerita tentang Merry Riana..dari cerita teman yang saya tangkap, tidak jauh beda dengan apa yg di tulis di sini..
BalasHapusBerhubungan sebentar lagi memasuki waktu azan magrib, jadi komentarnya akan saya lanjutkan lagi nanti..Karena untuk memberikan komentar yg relevan terhadap tulisan mbak ini, saya harus benar-benar membacanya dengan teliti agar saat comment jadi nyambung...gak lucu kan comment tapi cuma baca judul artikelnya aja..hehe
Recommended ini film Mas Sonny. Saya sih suka. Dari melihat film ini saya jadi terinspirasi untuk ngga takut mempunyai impian tinggi walaupun tetep aja takut sih yak. Kalau jatuh sakiiit!!!
HapusTulisan mbak Levina ini, kalau dibaca dengan seksama, saya malah ikut hanyut dalam alur ceritanya, pas mau comment malah bingung mau nulis apa...haha
BalasHapusSalut dech sama mbak, tulisannya enak di baca terus gaya bahasanya juga seperti saat ngobrol..Jujur, saya belum bisa seperti ini :)
wah..tararengkyu Mas Sonny. Saya masih belajar dan masih suka kehilangan arah. Sering malah. Kayak lagu aja yak? Butiran Debu itu...wkwkwk
HapusBagus ya mak film merry riana, blm nonton. Hihi, kocak ni ayahnya, woles abis ya walopun istrinya udah kalap
BalasHapusBagus filmnya. Saya sih suka. Iya, kadang saya lagi marah juga karena dia jawabnya asal, mau ngga mau jd ketawa. Xixi.
Hapuspenasaran dengan marry riana... asyik ya mbak wisatanya, di penyeberangan aja sudah dapat hiburan dan pengalaman
BalasHapus