Pernah tidak terbanyang sebelumnya, moda transportasi
apa yang digunakan orang-orang di zaman kerajaan-kerajaan dahulu kala?
Bagaimana mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, bagaimana
kerajaan-kerajaan itu bisa menaklukan daerah-daerah jajahannya untuk masuk ke
dalam batas kekuasaannya, dan bagaimana mereka menyampaikan berita kerajaan ke
seluruh pelosok negeri? Dengan berkuda? Atau berjalan kaki? Atau naik burung
Rajawali seperti Brama Kumbara?
Saat berada dalam perjalanan, entah itu di dalam bus,
kereta api, angkot ataupun pesawat, terkadang terlintas, bagaimana yang zaman
kerajaan dahulu? Lebay banget ngga sih? Tapi, that’s me! Something comes up on my mind, whatever, wherever and in
anytime. I can’t resist it!
Saya suka sejarah, dahulu saya suka cerita cinta
tragis Dyah Pitaloka, putri Prabu Siliwangi dengan Prabu Hayam Wuruk, raja
Majapahit. Entah kenapa waktu itu saya membayangkan Pitaloka yang cantik,
berlayar menyusuri aliran sungai dalam suatu perahu kerajaan yang berwarna
keemasan disertai oleh ramandanya beserta para pengawal dan dayang-dayang
menuju ibukota Majapahit untuk bertemu pujaan hatinya Prabu Hayam Wuruk yang
telah menunggunya. Sayangnya kisah cinta tersebut harus berakhir tragis, karena
keangkuhan dan kekuasaan. Cinta mereka terkubur di Bubat, dengan berakhirnya
kehidupan Pitaloka yang direngut dengan sebilah Kujang. Prabu Hayam Wuruk pun
hanya bisa meratap, tidak bisa menggenggam kekasihnya.
Baca juga kisah cinta tragis antara Putri Palembang,
Siti Fatimah dan Pangeran Tiongkok, Tan Bun An di Mencari Jejak
Cinta Putri Palembang dan Pangeran Tiongkok di Pulau Kemaro.
Moda transportasi yang memungkinkan selain berkuda dan
berjalan kaki untuk bepergian dari satu desa ke desa lain atau dari satu
kerajaan ke kerajaan lain, tidak lain adalah menyusuri aliran sungai dengan
menggunakan perahu atau rakit. Di daerah Jawa, terutama Jawa Barat, sering saya
melihat sungai-sungai kering, meskipun di musim penghujan. Saya pun sangsi jika
sungai saat ini masih menjadi sarana transportasi masyarakat. Kecuali di
desa-desa nelayan yang memang mengharuskan mereka menggunakan perahu untuk menangkap
ikan. Tapi, saya rasa sudah jarang yang menggunakan aliran sungai ini untuk
transportasi dalam kehidupan sehari-hari, misalkan naik perahu untuk pergi ke
sekolah, bekerja atau sebagai sarana jual beli. Karenanya, ketika saya berada
di Palembang, saya sangat excited
mengamati denyut kehidupan di Sungai Musi.
Sungai Musi merupakan sungai terpanjang di Pulau
Sumatera, membentang sepanjang 750 km, dan membelah kota Palembang menjadi dua
bagian (Ilir dan Ulu). Kalau kalian datang ke Palembang melalui jalur darat,
mungkin kalian akan kebingungan seperti saya untuk mengetahui yang mana Sungai
Musi, karena banyaknya percabangan sungai. Ternyata, ada 8 sungai besar lainnya
yang bermuara ke Sungai Musi, yaitu Sungai Komering, Sungai Rawas, Sungai Leko,
Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Lematang, Sungai Smangus, dan Sungai
Ogan. Sehingga Sungai Musi dikenal juga dengan sebutan Sungai Batanghari
Sembilan. Tidak heran jika Palembang mendapat julukan Venesia of East.
Saya sendiri tidak tahu yang mana sungai-sungai
tersebut, yang saya tahu pasti, namanya Sungai Musi disatukan oleh Jembatan
Ampera. Jika kalian berada di jembatan ini, itu berarti kalian berada di atas
Sungai Musi.
Pada abad ke VII, Sungai Musi telah menjadi urat nadi
perekonomian Sriwijaya. Kapal-kapal dagang dari berbagai daerah dan negara
singgah di sini. Bumi Swarnadwipa ini semakin makmur di bawah kepemimpinan Sri
Maharaja Balaputradewa, yang berhasil memperkuat armada lautnya untuk menjaga
keamanan perairan Sriwijaya. Hingga kini pun Musi tetap memegang peranan
penting sebagai urat nadi transportasi dan ekonomi masyarakat Palembang.
Di sepanjang bantaran Sungai Musi, berdiri rumah-rumah
penduduk yang seolah terapung di atas air sungai, karena letaknya yang persis
dipinggir sungai. Banyak rumah yang juga berdiri di atas perairan langsung.
Saat menyusuri Sungai Musi menggunakan perahu, sungguh asyik mengamati beragam
aktivitas masyarakat sekitar. Rumah-rumah yang berdekatan dan perahu-perahu
yang bersandar tepat dekat rumah. Bisa dibayangkan, penduduk di sini akrab satu
sama lain, berbeda dengan masyarakat kota besar yang tinggal di komplek
perumahan. Terlihat juga perahu-perahu kecil membawa sayur-sayuran dan sandar
di pinggir sebuah rumah, ramai dikelilingi orang-orang. Penjual sayur kah? Saya
tidak tahu, karena saya hanya bisa mengamati dari tengah sungai. Kalau
diperhatikan, rumah-rumah rakit ini hanya terlihat di sepanjang aliran sungai
bagian Ulu, sedangkan di Ilir jarang, paling hanya restoran terapung Riverside
yang dekat Benteng Kuto Besak dan Dermaga Wisata yang terletak sebelah Pasar
Ilir 16.
Ada pula rumah-rumah kayu terapung agak ke tengah
sungai. Saya sedikit heran, mengapa mereka membangun rumah-rumah rakit seperti
ini. Apakah lahan di Palembang sangat terbatas, sehingga mengharuskan mereka
membangun gubuk di atas sungai. Dan, pertanyaan saya pun terjawab, ketika
perahu yang kami naiki sedikit ngadat dan terpaksa berhenti sebentar untuk
mengeluarkan air dari dalam perahu. Perahu berhenti tidak jauh dari rumah-rumah
rakit itu.
“Oh, rupanya penjual solar!” Seru saya tidak sadar
dengan suara yang kencang. Rumah-rumah kayu terapung ini ternyata semacam SPBU
yang berada di sepanjang sungai, sehingga jika perahu-perahu kehabisan bahan
bakar, mereka bisa singgah di sini. Lucu juga melihat SPBU – SPBU terapung ini.
Selain solar, SPBU rakit ini juga menjual bahan bakar (BBM) lain seperti minyak
tanah, oli dan premium.
Di setiap SPBU terapung ini terlihat bagian terasnya
berbentuk rakit yang tersusun dari bambu-bambu. Dan dipinggiran rakit tersebut
terdapat ban-ban hitam, yang sepertinya digunakan sebagai bumper saat perahu
sandar untuk membeli bahan bakar. Yang menarik lagi, tidak seperti rumah-rumah
di perkotaan, yang pintu ke luar paling banyak dua buah (depan dan
belakang/samping), rumah-rumah rakit memiliki beberapa pintu keluar yang begitu
terbuka langsung berhadapan dengan air sungai. Sedangkan atap rumah terbuat
dari seng yang bergelombang.
Para penghuni rumah-rumah rakit melakukan beberapa
aktivitas, ada pula yang tiduran sambil menunggu pelanggan datang. Ada pula
seorang lelaki sedang mandi di pinggir rumah terapung. Ups! Langsung saya
mengalihkan pandangan. Beberapa anak laki-laki terlihat sedang bersenda gurau,
berenang di pinggiran sungai. Ketika melihat perahu kami lewat, mereka
mengacung-acungkan lengannya memberi tanda. Saya kurang mengerti tanda apa itu,
apa mereka memberi tanda supaya saya melempar koin dan mereka akan
mengambilnya? Saya tidak tahu, karena teriakan mereka hanyut bersama deru mesin
motor perahu.
Mendekati Jembatan Ampera, beberapa perahu-perahu
menyeberang dari Ilir ke Ulu. Rupanya berasal dari bawah Pasar Ilir 16, yang
bangunannya terlihat mencolok dari perahu yang kami naiki. Sepertinya
masyarakat Ulu pergi ke Ilir untuk berbelanja barang kebutuhan yang kemudian
diangkut menggunakan perahu menuju Ulu.
Turun dari perahu, kami menyusuri sepanjang jalan dari
Benteng Kuto Besak menuju Pasar Ilir 16. Kami melewati Dermaga Wisata di depan
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, yang menampung berbagai macam restoran fast
food seperti KFC, J.CO, Bebek Garang,
dan lainnya. Dari Dermaga Wisata, terlihat tenda-tenda berderet panjang di
sepanjang tepi sungai, sampai ke bangunan Pasar Ilir. Penasaran dong dengan
kuliner Palembang sepanjang Sungai Musi ini.
Perkiraan saya tidak salah, deretan tenda-tenda ini
adalah tenda-tenda kuliner makanan khas Palembang, seperti ikan pindang patin,
es kacang merah, pempek dan lainnya. Sesekali si pemilik tenda keluar
menawarkan untuk masuk ke tendanya untuk mencoba kuliner Palembang. “Coba Bu,
ikan pindang patinnya,” demikian mereka menawarkan pada pengunjung yang lewat.
Kami terus berjalan melewati deretan tenda kuliner ini
menuju ke arah bangunan Pasr Ilir 16. Sepertinya pasar ini mirip-mirip dengan
Pasar Baru Bandung atau Tanah Abang Jakarta. Berhubung tidak sedang berminat
belanja, saya melewatkan toko-toko ini. Anak-anak sudah mulai mengeluh
kepanasan dan kelelahan. “Panas Bu, beli topi!” Seru Aisya. “Ibu, sebenarnya
mau kemana sih?” Tanya Azka.
Duh, padahal saya masih penasaran, ada apa di depan.
“Sedikit lagi. Lihat ke arah sana yuk, ada apaan,” bujuk saya, “nanti habis ini
beli es krim deh sama puding mangga, biar seger,” rayu saya lagi. Anak-anak
menurut mengikuti saya. Dan sampailah saya tepat di bawah Jembatan Ampera. Wait! What’s this?
Owh! Ternyata di bawah Jembatan Ampera terdapat
dermaga kapal penumpang. Tertulis “Dermaga Bus Air Bawah Ampera 16 Ilir”.
Suasananya mirip dengan terminal bus. Orang-orang duduk-duduk menunggu angkutan
berangkat. Para pedagang lalu lalang menjajakan barang jualannya. Kuli-kuli
panggung membawakan barang-barang belanjaan. Sangat menarik nongkrong di sini,
yang ternyata juga merupakan terminal terpadu yang menghubungkan transportasi
darat dengan sungai. Di sebelah terminal bus air ini, terdapat terminal bus
darat. Sehingga memudahkan perjalanan dari Ilir ke Ulu dan sebaliknya.
Sama halnya dengan terminal-terminal lainnya, di situ
ada terminal, pasti ada tempat makan. Bedanya di sini, tempat makannya
terapung! Orang-orang menaiki jembatan kayu menuju rumah makan terapung. Resto
terapung ini sebetulnya adalah perahu yang disulap menjadi tempat makan. Ada
beberapa rumah makan terapung yang menjual makanan khas Palembang, seperti
pindang ikan patin.
Ayo, berani makan sambil bergoyang-goyang? Duh,
sayangnya perut rasanya tidak bisa menampung apapun lagi. Gara-gara jadi bagian
pembersihan saat anak-anak minta makan di Dermaga Wisata. Kapan lagi ya bisa ke
Palembang? Belum mencoba rumah makan terapung dan rumah makan pempek terapung
yang katanya enak ini.
Ngumpulin dulu duit atau bermimpi dilempar tiket dan
akomodasi gratisan ke Sumatera Selatan. Hahaha.
Wahaha jauh jauh ke palembang, maemnya kaepci hihi
BalasHapusAku baru tahu ternyata pom bensin, solar bentuknya rumah apung ya :)
Terus terang aku sumatera blum kujelajahi semua...baru pernah mampir ke bukittinggi
Iya..duh, jalan sama bocah kecil memang harus banyak berdamai dengan keinginan. Haha..padahal tinggal bentar lagi jalan menuju tempat kuliner tepian musi, yang makanan khasnya. Masalahnya, kalau mereka ngga habis makan, yang jadi tempat lemparan ya saya, akhirnya perut kenyang duluan deh ...
HapusIya, "pom bensinnya" unik.
Wah, keren sekali. Saya langsung membayangkan seperti transportasi sungai di Belanda yg pernah saya baca (soalnya belum pernah ke Belanda langsung hihi...). Ternyata di Palembang juga ada ya? Semoga satu saat saya berkesempatan kesana.
BalasHapusIya Mak, Palembang transportasinya salah satunya lewat Sungai. Kabarnya sih di Kalimantan juga, cuma saya belum pernah ke Kalimantan...semoga bisa kesampaian ke sana juga. Aamiin Mak, semoga yang dicita-citakan tercapai ya Mak...
HapusWeh, berarti rumah ku dekat dengan Venesia ya kak di Mesuji,,,, wakakaka (pede banget),,,,
BalasHapusIya ya, banyak banget percabangan sungai di sana sampai - sampai ada 8 jumlahnya,,, tapi kalau nggak mau bingung ya datang aja deh langsung di Jembatan Amperanya,,,, terkenal, keren, sekaligus menjadi titik - titik pertemuan sungai - sungai lagi,,, keren
Duh mbak, tulisannya sampean panjang, tapi sungguh menarik :-)
Bener Anis, rumahmu deket Venesia dari Timur. Katanya sih gitu banyak cabang sungainya. Pas lewat saya bingung, ini Sungai Musi bukan, tapi kok ngga ada Jembatan Amperanya...xixi.
Hapuskeren dah
BalasHapusTerima kasih ....
HapusKalo sekitaran pulau kemarau aja masih kurang mbak, jauh lagi di sana lebih banyak pemandangan bagus... dan sinyal hilang. haha
BalasHapusKe sebelah mana yang lebih bagus? Masih di Pulau Kemaro? Kalau lihat di peta sih sebelah pagoda kayak ada perumahan gitu. Owh, sinyalnya lenyap pulak. Alamak...sinyal udah termasuk barang kebutuhan primer, ngga ada sinyal ngga seru, bisa kayak cacing kepanasan entar...
Hapuskalau denger kota palembang yang saya inginkan adalah nikmatin pempek asli buatan orang palembang langsung..
BalasHapusNiat saya juga begitu. Eh, sampai sana segala pengen. Ada martabak Har juga yang enak, belum aneka seafoodnya. Enak banget. Tau-tau udah harus balik, pempek Dempo yang katanya paling enak di Palembang belum kesampean. Hiks
Hapusmantap kak perjalanannya...
BalasHapusjadi ingin ke sana....
Iya...ngga nyesel ke sana, walaupun badan remuk perjalanan darat lumayan juga ternyata..xixi.
HapusPindang patinnya enak, ya Mak?
BalasHapusAsyiknya yah, kapan saya bisa ke sana :)
Whuaaa...😠ngga sempet nyoba pindang patin nya. Makanya pengen ke sana lagi.
Hapustengkiyu mbak....jadi berasa di sana deh
BalasHapusSama-sama Mbak. hehe. Alhamdulillah.
HapusMembayangkan mengarungi sungai dan menikmati pemandangan sekitar. Indah dan ayem rasanya :-)
BalasHapusCakepnya iya...Ademnya sih dibeberapa tempat yg banyak pohon aja sih. xixi. Panas juga. Mungkin pas kesana lagi kemarau ya jadi terasa panas.
HapusWah menggiurkan sekali ceritanya, membuat hasrat ingin berwisata ke Palembang semakin menjadi. Selain itu saya juga teringat tentang daerah saya yang dulunya juga merupakan water front city, yaitu Banjarmasin dengan ikon pasar terapungnya.
BalasHapusSaya pengen juga tuh ke Banjarmasin. Terkenalnya sebagai water front city yak. Asyik kalo yak liat pasar terapung plus belanja belanji di pasar apung.
HapusSerunya berpetualang ke Palembang,jadi pengen liburan ke sana :)
BalasHapusYup Mbak Seru. menyusuri sungai Musi sambil melihat kehidupan sekelilingnya.
Hapus