“Brakkk!” Suara bantingan pintu di kamar sebelah membuat saya mengelus dada. Terdengar tangisan kencang dari kamar sebelah. “Pokoknya Ibu sudah janji! Kalau berjanji harus ditepati!” Teriakan Azka terdengar kencang diiringi isak tangis, menembus tebalnya daun pintu.
Saya menghela nafas panjang. Ayahnya hanya diam saja sambil meneruskan membaca artikel safety dari perangkat LG G3-nya. Aisya mengendap-endap mendekati saya dan bertanya perlahan, “Memangnya kenapa ngga jadi pergi ke Palembang, Bu?” Mata beningnya penuh penasaran, menuntut penjelasan atas keputusan mendadak saya yang membatalkan kepergian ke Palembang. Sebelumnya saya menjanjikan jalan-jalan ke Palembang sekaligus melihat fenomena langka gerhana matahari total. Hati saya bergelut antara keinginan memegang janji kepada anak-anak serta ketakutan saya melintasi Jalan Lintas Timur Sumatera.
Sampai sore tadi saya masih mantap untuk melintasi jarak 1.000
kilometer, pulang pergi Cilegon – Palembang melalui jalur darat esok hari,
sampai saat malam hari saya mendapat informasi dari teman mengenai rawannya
Jalan Lintas Timur Sumatera. Dia mewanti-wanti supaya saya hati-hati karena baru
beberapa waktu lalu salah seorang temannya mengalami kejadian ditodong
sekelompok pengendara motor di Jalintim Sumatera. Informasi ini membuat saya
berpikir ulang, apalagi saya membawa dua anak perempuan kecil. Amit-amit kalau
sampai terjadi apa-apa.
“Bagaimana Yah? Jadi ngga kita ke Palembang?” Saya mencari
persetujuan suami saya untuk mencari alternaf lain libur kejepit 5 hari ini.
“Kenapa memang kalau ke Palembang? Kalau selalu takut, ya kita ngga pernah
berangkat-berangkat,” jawabnya kalem. Iya juga sih, tidak ada yang tahu apa
yang akan terjadi di depan kita. Saya pun menghela nafas panjang kembali.
Jujur, hati saya masih was-was. Saya beranjak melihat ke kamar Azka. Anak itu
sudah tertidur lelap dalam tangisnya. Bekas air mata masih menempel di pipi mungilnya.
Ya sudahlah, Bismillah, saya niatkan besok jadi berangkat ke Palembang,
walaupun ketar-ketir apalagi setelah membaca berita polisi menangkap kawanan
bersenjata yang meresahkan warga di suatu daerah di Lintas Timur.
***
Perjalanan melintasi Jalan Lintas Timur Sumatera ternyata tidak
semenyeramkan bayangan saya. Sepanjang perjalanan dihiasi keanekaragaman budaya
Indonesia. Di Pasir Putih Lampung, saya beruntung dapat ikut menyaksikan
perayaan Melasti, salah satu upacara adat Hindu yang dilaksanakan menjelang
Hari Raya Nyepi yang pada tahun ini bertepatan dengan kejadian gerhana
matahari. Rumah-rumah traditional juga ornamen-ornamen khas Bali turut
menghiasi perjalanan kami menuju bumi Sriwijaya. Belum lagi pemandangan alam
perkebunan sawit, pertanian, perkebunan singkong dan lainnya yang super indah
memanjakan mata saya. Pun ketika melewati perkampungan yang masih berupa rumah
sangat sederhana dengan warna putih yang sama, membuat saya merenungi kehidupan
yang telah saya lalui. Malu rasanya telah banyak mengeluh.
Si Hitam terus melaju kencang melewati perbatasan Lampung dan
Sumatera Selatan. Di
beberapa titik jarak antar perkampungan satu dan lainnya cukup jauh dan relatif
lebih sepi, wajar jika perjalanan malam tidak dianjurkan. Tak terasa 10 jam
telah berlalu semenjak kami meninggalkan Bandar Lampung. Dengan panduan Google
Maps dan Waze, kami melewati ikon kebanggaan kota Palembang – Jembatan Ampera –
saat kami berusaha menemukan hotel tempat kami akan menginap. Dari jauh, 2
rangka besi berwarna merah yang menjulang tinggi telah terlihat. “Wah, itu
Jembatan Ampera-nya!” Saya berseru takjub sedikit norak. “Mana? Mana?” Tanya
Azka dan Aisya berbarengan. “Itu! Tanggal 9 Maret nanti jembatannya akan
ditutup untuk festival gerhana matahari total,” tunjuk saya dengan hebohnya,
sambil sedikit menjelaskan. “Ooooh,” keduanya memonyongkan bibirnya bersamaan
membentuk bulatan penuh.
Hotel tempat kami menginap, Graha Sriwijaya, terletak sangat dekat
dengan ikon-ikon wisata kota Palembang seperti Benteng Kuto Besak, Masjid
Sultan Mahmud Badaruddin I, Monumen Amanat Penderitaan Rakyat, Museum Sultan
Mahmud Badaruddin II dan juga Jembatan Ampera. Pokoknya within walking distance, alias
dalam jangkauan jalan kaki untuk mendatangi tempat-tempat ini dari Graha
Sriwijaya. Tapi, malam ini saya urungkan niat mengunjunginya dan lebih memilih
menghabiskan malam bersantai sambil menikmati makan malam di pinggiran Sungai
Musi dengan latar belakang Jembatan Ampera yang genit mengedap-ngedipkan cahaya
lampu berwarna-warni. Pilihan tepat memilih River Side Resto. Selain suasana
malam yang romantis, makanannya pun langsung membuat lidah merindukannya lagi
meski suapan di mulut belum berakhir. Di seberang sungai tampak Kampung
Kapitan, yang konon merupakan jejak peradaban Tionghoa di Palembang. Bentuk
atap putihnya yang unik membuat hati ingin menyeberangi Musi saat itu juga.
Di depan Benteng Kuto Besak pun ramai dengan mobil gowes yang
sekujur body dipenuhi hiasan lampu berwarna-warni. Palembang bersinar meriah di
malam hari. Kesan pertama, am
I really in Indonesia not Malacca? Palembang
sungguh menggoda. Sayang badan yang lelah akibat perjalanan 500 kilometer
pertama mengurungkan niat saya mengeksplorasi area sepanjang Kuto Besak dan
Jembatan Ampera. Kami memutuskan kembali
ke hotel, sekaligus memperpanjang waktu tinggal kami di Graha Sriwijaya.
“Maaf Bu, permintaan untuk memperpanjang sampai besok tidak bisa
kami penuhi. Besok kamar kita sudah full
booked,” jelas front officer Graha Sriwijaya, “tidak ada kamar tersisa.”
What? Saya
kaget setengah mati. Aduh, kenapa saya bodoh sekali hanya memesan kamar satu
hari. Besok semua orang berbondong-bodong ingin menyaksikan peristiwa langka
itu. Satu masalah terlewati, masalah lain kini menghadang, karena setelah
searching melalui Traveloka pun, kami tidak bisa menemukan hotel terdekat yang
masih kosong. Ayahnya anak-anak sudah senewen tingkat tinggi, kok bisa sih
booking hanya satu hari padahal tahun event puncaknya besok, mungkin begitu
yang terlintas dipikirannya.
“Ya, paling pahit-pahitnya tidur di Mobil di parkiran Masjid Agung
Palembang,” jawabku atas kekalutannya, sambil terus berusaha mencari yang
penting dapat kamar.
***
Permasalahan hotel belum selesai. Hotel yang letaknya agak jauh dari
Jembatan Ampera dengan harga yang fantastis pun ludes, laris manis. Gila! Pusing
kepala barbie, dimana mau cari hotel untuk menginap besok. Dan, disaat frustasi
melanda ..., bingo! Akhirnya, Saya berhasil mendapatkan satu-satunya kamar hotel
yang tersisa di sekitar Palembang Indah Mall. Yuhuu! Ngga jadi bermalam di parkiran masjid!
Siap bocan nih, bobo cantik. Besok pagi-pagi sekali petualangan menjelajah
Palembang, sehari sebelum GMT akan dimulai dengan menjemput mentari pagi.
Menyaksikan matahari terbit dengan latar belakang Jembatan Ampera
adalah salah satu keinginan saya datang ke Palembang selain tentunya melihat
GMT. Selesai sholat subuh, kami pun bergegas keluar hotel. Ayahnya anak-anak
malah mengeluarkan sepeda lipatnya dan jalan sendiri, meninggalkan kami yang
berjalan kaki.
Sesampainya di plaza pinggiran Sungai Musi di depan Benteng Kuto
Besak, saya menyadari bahwa spot di sisi ini sangat bagus untuk mengabadikan
Jembatan Ampera melalui jepretan kamera. Tidak hanya kami yang tertarik
menyaksikan matahari terbit satu hari menjelang GMT. Matahari yang sama yang
akan bersinggungan dengan bulan pada jam dan detik yang sama esok hari.
Sunrise di ufuk timur mulai naik sekitar pukul 6 pagi.
Subhanallah, Maha Suci Allah, ini adalah sunrise terindah yang pernah saya
saksikan. Dengan latar belakang Jembatan Ampera yang menyatukan Palembang Ulu
dan Ilir, matahari pagi dari bawah jembatan seolah menyapa: Assalamualaikum
Indonesia! Selamat pagi! Semburat jingga mewarnai langit Sriwijaya, ditambah
guratan putih sisa jejak pesawat di atas langit memberikan nuansa pagi yang
hangat. Air sungaipun berkilauan tertimpa cahayanya yang hangat. Ah, sayangnya
kamera handphone saya tidak secanggih mata ciptaan-Nya yang bisa menangkap
setiap detail warna dan tekstur dengan sempurna.
Fenomena gerhana matahari total tidak hanya menjadi magnet bagi wisatawan, tetapi
juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Palembang.
"Baru kali ini saya datang pagi-pagi ke Jembatan
Ampera," seorang laki-laki di samping saya mengeluarkan suara setelah dari
tadi sibuk mengabadikan moment terbitnya matahari 24 jam sebelum GMT,
"padahal saya orang Palembang," sambungnya lagi. Tidak hanya Jembatan
Ampera yang bisa mempertemukan Ulu dan Ilir, momen GMT pun mempertemukan
berbagai bangsa di tempat yang sama. Bahasa-bahasa asing berseliweran di kanan
kiri saya. Ada yang saya kenal, ada pula yang saya sama sekali tidak mengerti.
Tetapi satu yang pasti saya tahu, mereka berada di Indonesia demi tujuan yang
sama, menyaksikan pesona GMT.
Tidak kalah pentingnya, momen gerhana matahari total pun dapat meningkatkan
penghasilan warga. Di plaza depan Kuto Besak, berjejer perahu-perahu yang siap
menawarkan jasanya menuju Pulau Kemaro, delta kecil Sungai Musi yang juga telah
menjadi the most wanted destination
jika kita mengunjungi Palembang. "Ke Pulo Jodoh, Bu?" Saya terperanjat,
tiba-tiba seorang bapak berperawakan gempal menyapa dari samping saya dan
menawarkan jasa menuju Pulau Jodoh.
“Pulau Jodoh?” Tanya saya sedikit kebingungan. “Pulo Kemaro,” bapak tersebut meralat ucapan sebelumnya. Ternyata Pulau Jodoh adalah sebutan lain untuk Pulau
Kemaro, yang konon katanya di tengah pulau terdapat pohon cinta yang dapat
menyatukan dua hati.
Untuk mencapai Pulau Kemaro ada dua cara. Pertama melalui perahu/getek
dari bawah Jembatan Ampera, dan yang kedua menyeberang dekat pabrik pupuk
Sriwijaya. Menemukan getek di dekat jembatan tidaklah sulit. Naik getek Bu?
Kalimat pendek seperti itu nyaris terdengar sepanjang perjalanan dari Kuto
Besak menuju Pasar Ilir dimana terdapat terminal integrasi, angkutan darat dan
angkutan laut.
"Berapa sewa perahu ke pulau?" Tanya saya penasaran.
"200 Bu," jawab pria gempal itu. Suatu harga yang lumayan mahal untuk
menyeberang ke Pulau Kemaro yang pada hari biasa berkisar Rp 100.000/kapal.
Setelah bernegosiasi, sepakat di harga Rp 150.000, saya pikir tidak apalah,
sekali dalam puluhan tahun mendulang rejeki dan berkah melalui momen gerhana
matahari.
Suara mesin menderu, perahu pun melaju membelah Sungai Musi, menuju
Pulau Kemaro. Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat, pulau ini
timbul sebagai wujud cinta kasih putri raja Palembang dengan seorang pangeran
dari negeri Cina. Walaupun awalnya kisah cinta mereka ditentang pihak kerajaan,
akhirnya mereka bisa bersatu. Tak akan lari jodoh dikejar, begitulah peribahasa
yang cocok. Apapun rintangannya, jika memang sudah berjodoh pasti akan bersatu
juga. Seperti halnya matahari dan bulan, walaupun terpisah jarak yang sangat
jauh, pada waktu yang tepat mereka akan saling menyapa. Terlihat dari bumi
sebagai gerhana matahari ataupun gerhana bulan.
Legenda sang putri Palembang dan pangeran negeri Cina harus berakhir
tragis, tapi cerita Sungai Musi tidak pernah berakhir. Sangat menarik mengamati
denyut kehidupan sepanjang sungai. Pengalaman yang tidak pernah saya lihat
sebelumnya. Anak-anak pun menunjukan ekspresi ketertarikan melihat
"SPBU-SPBU" terapung, juga melihat hilir mudik perahu warga Ulu yang
beraktivitas di daerah Ilir. Bagi anak-anak, pemandangan ini tiada dalam
pelajaran sekolah. Tak ada henti pertanyaan-pertanyaan mereka lontarkan.
"Rumah mereka di atas sungai Bu?" Tanya Aisya. "Bagaimana mereka
pergi ke mall atau pasar?" Azka pun tak mau kalah bertanya. "Rumah
penduduknya unik ya Bu," komentar Azka. Rumah-rumah terapung menjadi
pemandangan yang luar biasa bagi perjalanan kami. Masyarakat Palembang juga
terdiri dari berbagai macam etnis yang hidup saling berdampingan.
Sungai terpanjang di Sumatera dengan panjang 750 kilometer
membelah Palembang menjadi dua bagian. Duduk di ujung perahu sambil menikmati
pemandangan sekitar dan merasakan hembusan angin menerpa wajah, saya serasa terbawa
suasana zaman Sriwijaya dimana sarana transportasi utama adalah aliran Sungai
Musi ini. Terbayang betapa sibuknya arus lalu lintas sungai pada zaman keemasan
Sriwijaya. Ratusan kapal hilir mudik memasuki ibukota Sriwijaya baik lokal
maupun internasional, dikarenakan perannya sebagai jalur perdagangan dunia.
Tiba-tiba lamunan saya buyar. Kapal sedikit oleng, tubuh kami
terhempas ke kanan dan ke kiri. Tidak lama motor kapal pun mati. Kami masih
berada di tengah-tengah Sungai Musi. Sedangkan Jembatan Ampera pun belum tampak
sama sekali.
Pemilik perahu yang mengemudikan perahu yang kami sewa terlihat
mencoba memompa air dari dalam perahu. Ternyata air sungai yang masuk ke dalam
perahu yang membuat motor ngambek tidak mau hidup. Motor pun akhirnya berderu
kembali, dan kapal meluncur mendekati Jembatan Ampera. Perjalanan kami dengan
getek berakhir di depan Benteng Kuto Besak, sisa-sisa peninggalan Kesultanan Palembang
yang masih berdiri sebagai pengingat perjuangan Palembang mengusir kaum
penjajah dari bumi Sriwijaya.
Semangat Sultan Mahmud Badaruddin selalu bergelora di dada orang
Palembang. Pertempuran 5 hari 5 malam pun menjadi penerus perlawanan sultan
terhadap hegemoni asing. Jejak kisah para pahlawan tanah Sumatera Selatan ini
terpatri di Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Selatan (Monumpera). Kisah
semangat juang dan tekad para pahlawan bangsa, termasuk pesan-pesan yang mereka
sampaikan membuat bulu kuduk berdiri. Salah satu pesannya adalah,
: “right or wrong my country,
lebih-lebih kalau kita tahu, negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru saat
itu pula kita wajib memperbaikinya”. Tanggung jawab mempertahankan kedaulatan
negara ada di tangan kita bersama, seperti halnya kata Panglima Besar Sudirman:
korban sudah cukup banyak, sekali merdeka tetap merdeka.
Malam semakin larut, tetapi plaza Kuto Besak dan area sekitar
Jembatan Ampera malah semakin ramai dan penuh sesak dengan lautan manusia yang
ingin menghabiskan malam menikmati kerlipan Jembatan Ampera beberapa jam menuju
gerhana matahari total. Kendaraan bermotor pun sulit bergerak, terjebak
ditengah euforia masyarakat menyambut gerhana matahari total. Sudah banyak stasiun TV yang standby
untuk reportase langsung besok. Aparat pun telah mulai disiagakan.
Pusat keramaian tidak hanya berada di pinggiran Sungai Musi,
tetapi juga diseberang Monumpera, tepatnya di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin I yang
menampung jemaah takbligh akbar.
“Bu, kata ibu guru, kalau gerhana kita harus sholat gerhana,” kata
Aisya tiba-tiba. “Hmmm...,” saya hanya bergumam panjang. Tiba-tiba saya diliputi
perasaan galau antara berlari ke Jembatan Ampera atau memilih duduk bersimpuh
sholat khusuf dan mendengarkan khutbah gerhana. Waktunya sangat berdekatan.
Imam biasanya membaca surat panjang pada sholat gerhana, belum lagi kalau
khutbahnya panjang. Tak sadar saya pun menghitung kancing. Galau berat! Nonton gerhana..., sholat
khusuf..., nonton gerhana..., sholat khusuf..., nonton gerhana...
Saya tidak ingat kejadian gerhana matahari pada tahun 1983. Usia
saya waktu itu sekitar 6 tahun. Yang saya ingat adalah bersembunyi di bawah
ranjang besi bertingkat, tapi entah karena gerhana matahari atau karena
ketakutan hampir ketabrak mobil.
Banyak mitos yang berkembang di kalangan masyarakat, baik itu
lokal maupun internasional. Sebut saja di Jawa, gerhana matahari dikaitkan
dengan cerita Batara Kala (buta/raksasa) yang memakan matahari, karena
dendamnya kepada Batara Surya. Legenda yang sama pun beredar di tempat lain, hanya
saja yang memakan atau mengerjar matahari bukanlah raksasa melainkan binatang
seperti naga (China), serigala (Viking), katak besar (Vietnam), beruang
(Amerika), anjing (Korea), meskipun ada juga yang berbeda seperti di Afrika
yang meyakini bahwa gerhana terjadi karena matahari dan bulan bertengkar, dan
pada saat gerhana itulah waktu mereka menyelesaikan pertengkarannya.
Satu kesamaan yang diamati dari cerita-cerita legenda ini adalah
ketika dunia tiba-tiba gelap gulita karena gerhana, masyarakat beranggapan
sesuatu yang buruk akan terjadi, entah itu bencana, paceklik ataupun wabah
penyakit. Oleh karena itu penduduk akan membuat bunyi-bunyian nyaring supaya
gerhana cepat berlalu. Kaum wanita dan anak-anak di sebagian tempat malah
diharuskan bersembunyi di bawah ranjang.
Gerhana matahari sebetulnya terakhir melewati Indonesia adalah tahun
1995. Dan Indonesia dilintasi kembali gerhana matahari pada 9 Maret 2016 lalu.
Masyarakat sangat antusias menyaksikan fenomena gerhana matahari total ini, dan
berbondong-bondong menuju 12 daerah yang dinyatakan dilintasi GMT. Pemerintah
sendiri menargetkan kunjungan 100.000 wisatawan mancanegara dan 5,1 juta
wisatawan lokal.
Sholat gerhana di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin dimulai pukul
o6.20, dan ketika khubah selesai, Jembatan Ampera pun sudah penuh sesak.
Berlari ke arah sana pun sudah tidak keburu dan pasti akan membutuhkan
perjuangan menembus lautan manusia. Cuacapun berawan, sehingga agak menggangu
pengamatan. BMKG sebelumnya telah memprediksi bahwa GMT Palembang akan
terhalang awan 50%. Aisya malah bernyanyi-nyanyi riang, mengganti lirik Rain, Rain Go Away dengan Clould, Cloud Go Away.
Yang tidak kebagian ke Jembatan Ampera akhirnya memenuhi area depan
air mancur masjid, sebagian lagi menaiki jembatan penyeberangan di samping
masjid.
Sekitar pukul 07.12 pagi, langitpun seketika berubah gelap. Terdengar tepukan tangan membahana dan
terlantun takbir menyaksikan keajaiban alam ini. Dari bawah matahari sama
sekali tidak terlihat, saya berlari ke arah jembatan penyeberangan bersama
Aisya. Di sana pun tiada kutemukan jejak mentari dan bulan. Yang ada hanya atmosfir
yang dingin dan kelam.
“Allahu Akbar,” seorang ibu berkerudung tiada hentinya mengucapkan
kalimat takbir di samping kami. Dengan mata tertutup kacamata gerhana, dan
kedua tangan sibuk mengabadikan momen gerhana, si ibu terus menerus berbicara, “Subhanallah,
gerhana matahari total di Palembang. Jam 7 pagi terlihat seperti petang.” Kota
Palembang pun berselimut kegelapan.
Gerhana berlangsung dengan cepat. Langit yang kelam seketika
bersinar terang ketika bulan perlahan meninggalkan mentari. Perubahan yang sangat
cepat dari gelap menuju terang, sungguh menggetarkan hati. Subhanallah, Maha
Besar Allah yang telah menjalankan mentari dan bulan pada tempat peredarannya
masing-masing.
Habis gelap terbitlah terang. 1 menit 52 detik, itulah durasi
waktu gerhana matahari total di Palembang. 2 menit yang saya tunggu dan kejar, sampai harus menempuh perjalanan 1.000 kilometer. Walaupun
sedikit kecewa tidak melihat bentuk gerhana matahari total secara sempurna,
setidaknya mengalami perubahan alam dari gelap ke terang dapat mengurangi
perasaan kecewa. Setidaknya Azka melihat sedikit penampakan matahari yang
tertutup bulan, karena dia dan ayahnya keburu melihat gerhana matahari total dari dekat air mancur
masjid.
Pengejaran #wonderfuleclipse berakhir di sini, dan kami pun harus
menempuh perjalanan 500 kilometer kedua. Banyak hal yang kuperoleh dalam perjalanan
1.000 kilometer mengejar #wonderfuleclipse dan saya tidak kapok pergi ke bumi
Sriwijaya.
1.
Melihat beragam kehidupan dan budaya yang berbeda sepanjang 1.000
kilometer, membuat saya semakin meyakini bahwa Indonesia itu indah dan kaya.
Pantas saja Ibu Sud menciptakan lagu Tanah Airku sebagai wujud kerinduannya
akan keindahan alam Indonesia. Walaupun
banyak negeri kujalani. Yang Masyus permai dikata orang. Tetapi kampung dan
rumahku. Disanalah kurasa senang.
2.
Wisata edukasi buat kedua putriku. Selain mengenalkan kepada mereka
mengenai keanekaragaman budaya, toleransi, juga sejarah bangsa; momen gerhana
matahari total juga menjadi media pembelajaran mereka untuk mengenal fenomena
alam, termasuk mengagungkan pencipta-Nya. Pepatah bilang seeing is believing!
3.
Melatih kesabaran, karena perjalanan 1.000 kilometer ditambah
ketidaktahuan mengenai jalur yang harus dilalui, seringkali menimbulkan emosi.
Belum lagi ditambah anak-anak yang mulai mengeluh kepanasan dan lelah, menguras
tenaga.
4.
Buat saya, perjalanan 1.000 kilometer ini sekaligus ajang refleksi
diri pergulatan batin, antara memenuhi kewajiban saya kepada-Nya, ataukah
memenuhi keinginan saya.
5.
Perjalanan 1.000 kilometer mengejar #wonderfuleclipse juga
mengajarkan saya untuk tidak menggampangkan janji kepada anak-anak. Mereka
punya daya ingat yang kuat, dan janji harus ditepati.
6.
Terakhir..., perjalanan ini mengajarkan saya kalimat: better to see something once, than to hear
about it a thousand times.
Ke Sriwijaya saya kan kembali, menuntaskan janji mengunjungi
tempat-tempat yang belum sempat saya datangi. Membawa ibunda mengunjungi bumi
Balaputradewa. Semoga kelak terus bisa mengajak anak-anak menjelajah negeri, menyaksikan pesona Indonesia.
Wah,,,, kalau mbak lewat Jl. Lintas Timur, berarti lewat kota kelahiran saya mbak di Mesuji,,, :-) itu di bagian jalan raya mbak, masih mending agak aman,,, belum masuk kedalam perkampungan. Kalau masuk kedalam pastilah spot jantung mbak selalu was was di todong lah, di begal lah, dll.... tapi lama - kelamaan Lampung akan aman kok mbak, soalnya banyak para pembegal dan penodong ketangkap.... sip deh mbak, cerita petualangan 1000 Km terselesaikan :-)
BalasHapusItu dia yang bikin sport jantung. Mana sehari sebelumnya teman ngasih tahu bahwa temannya sampai dicegat 3x, padahal jarak ke kantor polisi cuma 200 meter. Sekali cegat 300-500rb katanya. Oh, Anis kelahiran Mesuji? Lewat sini saya tertarik banyak perkebunan singkong bagus2, trus ada perumahan yang dari kayu putih semua berjauhan. Itu desa transmigrasi atau apa yak?
HapusBukan mbak, bukan kayu putih,, itu papan di labur semua (ala cat gitu),,, Dulu itu daerah Transmigrasi mbak,,,
HapusPemandangan disitu keren. Perkebunan singkong berbukit bukit gituh. Cakep banget. Btw emang daerah Mesuji masih agak rawan yak? Yang saya perhatiin sih kantor polisi lumayan berdekatan dibanding daerah lain. Mesuji juga ada 2 ya, yg masuk ke Lampung sama yang masuk ke Sumsel. Asli keren2 pemandangan alamnya.
HapusBener banget mbak, ada 2 Kabupaten Mesuji,,,, satu masuk Lampung dan satunya lagi masuk Sumsel. Rata - rata daerah Lampung Rawan mbak,,, tapi dari sekian kabupaten di Lampung yang bisa di bilang paling nyaman ya daerah Mesuji. Kantor Polresnya berada di Jl. Raya Lintas Timur... Lucunya ya mbak, saya masuk ke Sumsel itu lebih dekat daripada ke Kota Bandar Lampung,,, hahaha,,, Duh jadi nyesel kemarin nggak pulang ke Lampung dan lihat Solar eclipse di Palembang, padahal dekat lho dibandingkan dari Jogja, hehehe, eh malah ngelantur kemana - mana :-)
Hapuswahh, Mbak Levina menyaksikan GMTnya secara langsung, pasti terharu banget yah Mbak, saya saja yang menyaksikan GMT lewat TV tetap merasa terharu dan mata saya berkaca-kaca..
BalasHapusHihi..iya Mbak Ira. Sebenernya sih memang dari jauh hari sebelumnya pengen ke Palembang, eh pas kebetulan ada event ini, trus pas kebetulan lagi ada libur kejepit. Duh, kalau ngga libur kejepit mah agak berat juga cutinya. Habis jatah cuti soalnya. Hehe.
HapusSaat - saat yang menyenangkan mba yah,,, banyak cerita untuk mengisi hari bersama keluarga, apalagi ada kesempatan untuk melihat GMT secara langsung, kalau di jatim katanya hanya masuk sekitar 70% saja mba, saya hanya nonton di tv saja soalnya. Hehe
BalasHapusYang bikin seneng sih sebetulnya melihat anak-anak yang takjub dan penasaran kenapa gerhana matahari terjadi. Melihat wajah-wajah takjub dan penasaran mereka rasanya lelah perjalanan darat nyetir nonstop (ayahnya sih yang nyetir hehe), terbayarkan kata ayahnya. Wah dari Jatim ya..., Jatim banyak wisata bagusnya juga katanya ya...pengen ke sana juga, terutama ke Trowulan.
HapusSelamat datang di kota pempek ya mbak. Sudsh hirup cuka pas sampe? Hehe
BalasHapusSayangnya belum ke eksplor semua. Waktunya terbatas. Pempek yg didorong pun nyoba. Cuko dihirup ya wkwkwk.
HapusAhh saat yang bakal tak terlupakan bersama keluarga. Apalagi pas moment gerhana matahari. Duuh so sweet deh.
BalasHapusHaha...bener mbak. ngga terlupakan..anak2 malah pengen nambah libur (bolos) sampai jumat nya katanya. xixi.
HapusKeren, muantappp sudah berkunjung ke blog ini asik artikelnya.
BalasHapusAsyik bener jalan-jalannya, ke Sumatera lewat jalur darat, banyak pengalamannya...
BalasHapusBetul...asyik sekali..
HapusHuwaaaa kmrn sempet liat langsung dong ya mba gerhana mataharinya? Ak aja liat live di tv sampe berkaca2. Gimana klo liat langsung.. Pasti indah banget
BalasHapusHihi...pedih kalau diingat mah. mataharinya tertutup awan...ngga bisa merangsek ke Ampera, terpaksa puas menyaksikan dari depan halaman mesjid agung Palembang. Naik ke jembatan penyeberangan sebagai ganti Jembatan Ampera..yg penting jembatan. Eh, pas mau puncak2nya, Aisya kelaperan pengen empek2, nongkrongin pempek deh. Tapi pas momen menjadi gelap trus dalam sekejap terang lagi...amazing banget sih. Beda dengan mendung kemudian terang. Apalagi ditengah lautan manusia yang melantunkan kalimat2 Tayyibah, juga tepuk tangan yang gemuruh. Merinding siiih...
Hapusdi Palembang gak kalah ramenya dengan Ternate, disana padat ya yang menyaksikan GMT
BalasHapusRame juga Mak Palembang. Jembatan Ampera aja sampai penuh sesak. Betul2 uji kekuatan beban tuh. Palembang memang asyik Mak didatangi, belum aja nih pegi ke arah Pagar Alam, dan Kabupaten OKu Selatan, katanya sih cakep2 pemandangan alamnya. Keren, ada pegunungan dempo dengan tehnya, air terjun, danau ranau, dll. Bikin mata blink blink blink...
HapusTernate katanya penampakan GMT y sempurna ya Mak. Temenku ada yg ngejar ke Balikpapan, disana juga katanya mah bulat sempurna.
Seru juga perjalanan 1000 km-nya untuk melihat suasana GMT di Palembang. Apalagi pergi bareng keluarga, pastinya banyak cerita untuk dikenang nantinya.
BalasHapusKapan-kapan kalau mbak Levina dan keluarga mampir di Lampung kabari ya. Siapa tau bisa bertemu dan berbincang2 sambil nikmati kopi Lampung :)
Waaah..Mas Yopie dari Lampung? Masih banyak area Lampung yang ingin saya jelajahi. Pantai Barat ke atas sampai ke Danau Ranau. Saya sering ke Lampung dulu pas mertua masih ada, masih ada keluarga juga di sana, di Way Halim. Insya Allah kalau ke Lampung lagi kabar kabari...
HapusPerjalanan menuju momen langka yang mengesankan. Apalagi bagi anak-anak ini akan berkesan sepanjang hayat.
BalasHapussalam
Betul. Mereka terkesan, malah saya sendiri ngga sangka mereka baca2 tentang gerhana. Pas kmrn malam gerhana bulan penumbra mereka langsung aja nerangin kalo gerhana bulan itu cahaya matahari ke bulan terhalang bumi, dll. Saya sampe bengong sesaat.
Hapuspgn ke palembang, tapi ga prnh jadi dari dulu.. -__-. tapi memang sih mbak, jln darat lintas sumatra udh trkenal rawan.. itu juga yg bikin aku tiap mudik ke medan lbh milih pesawat daripada naik mobil. dianjurkan sih konvoy rame2 ato pas malam mnding nginep di mana.. tp jujurnya sih ttp pgn ke palembang naik mobil dr jkt :).. kulinernya itu lohhhh, ;). enak2 kayaknya...
BalasHapusseru lewat perjalanan darat. ada teman juga nyaraninnya seperti itu. dia suruh saya naik pesawat, soalnya temannya dia ada yg kena cegat juga. kebayang dong sepanjang perjalanan deg deg plas, alias doki doki suru kalo bahasa jepangnya mah kali yak.
HapusTapi pemandangannya asyik banget byk pesawahan dan perkebunan, juga perkampungan Bali.
wah perjalanannya seru ya :D keren banget bisa cerita sampai detail :D
BalasHapusbtw hana baru tahu ada pulau jodoh..
Makasih infonya :D
Katanya pulau kemaro disebut juga pulau jodoh, gara gara ada pohon jodoh. konon klo nulisin namanya disitu sama pasangannya kt y sih langgeng. Entah juga bener ngga nya. Ada yg bilang hy buat naik wisatawan kalau pohon jodoh itu...
HapusCeritanya enak, renyah dan nikmat....rasanya pengen nyicip trus, tpi keburu abis......
BalasHapusTeringat Palembang tringat someone yang telah dulu dilamar orang...
Hahahha
Terima kasih.
HapusWaaah, jadi tempat ini mengingatkan luka masa lalu ya Mas...
Semoga mendapat pengganti yang lebih baik yaa...dan jangan kapok datang ke tempat ini. Karena saya pun suka saat pertama kali datang ke sini.
Soal memberi janji ke anak2, jadi ingat ponakan yang selalu menagih janji "Ayo mama Pika, mana katanya mo buatin kue bolu?" ke tantenya (sepupu saya). Hihihihi....anak2 ternyata ya.
BalasHapusBtw salam kenal mba, tulisannya bagus. Selamat ya ^^
Salam kenal Mbak...
HapusIya, anak2 punya ingatan tajam juga ternyata. Kadang saya nya mah sudah lupa, tapi mereka masih inget apa yang saya omongin padahal misalnya dah lama.
Thank you Mbak...
Wow keren banget pengalaman jalan2nya. Jadi ngiri hehehe
BalasHapusHehe..terima kasih Mas.
Hapuswah ini momen yg bikin ngiri anyak orang ya. Bersyukur yang bisa melihat secara langsung
BalasHapusIya Mbak, setelah perang bathin terlebih dahulu di awal keberangkatan. Tapi jalan-jalan di Palembang memang ngga bikin nyesel Mbak. Walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
HapusSelamaaaaaaat yah mbaaak.
BalasHapusArtikelnyaaa jawaraaaa :)
ini kampung kelahiranku Palembaaang ^^.
Hmm sepertinya seru ya mbak.
BalasHapus