Perjalanan menjelajahi Pantai
Anyer minggu lalu, dilengkapi dengan mengenalkan sejarah pembangunan Jalan Raya
Anyer – Panarukan yang telah menelan korban yang tidak terhitung jumlahnya pada
masa itu pada anak-anak. Ya, tujuan kita selanjutnya adalah Mercusuar Cikoneng
yang terkenal juga dengan sebutan Titik Nol Kilometer Jalan Daendels. Jalan
yang panjangnya kurang lebih 1.000 kilometer dan terbentang sepanjang Utara
Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan yang dibangun pada masa pemerintahan
Gubenur Jenderal Herman Willem Daendels.
Sebetulnya ini bukan
pertama kalinya saya mengunjungi tempat wisata yang satu ini. 5 tahun lalu,
saya pernah mengunjungi tempat ini bersama si bebeb dan anak-anak yang masih
kecil-kecil. Mumpung lagi jalan ke Anyer, saya pikir tidak ada salahnya mampir
kembali ke tempat ini, yang juga katanya telah mengalami perubahan.
Memasuki area Mercusuar
Cikoneng, di sebelah kiri berjajar rumah villa yang biasa digunakan keluarga
Dinas Perhubungan. Saya kurang tahu juga apakah rumah villa tersebut disewakan
untuk umum. Pada saat kami datang, sepertinya sedang ada acara gathering
keluarga Dinas Perhubungan, karena suasana cukup ramai di rumah-rumah tersebut.
Kami parkir tak jauh dari posisi Mercusuar berada.
Landmark Zero Point Anyer - Panarukan
Dibandingkan 5 tahun lalu,
tampak beberapa perubahan di sekitar Mercusuar Cikoneng. Sekarang di dekat
pantai, ada miniatur bola dunia yang disangga sepasang tangan yang dapat
terlihat langsung saat kita memasuki area Mercusuar. Di bawah miniatur bola
dunia tersebut terdapat tugu marmer hitam yang merupakan petanda titik nol
kilometer Jalan Anyer – Panarukan, disertai peta Jalan Anyer – Panarukan yang
menggambarkan kota-kota yang dilalui oleh jalan yang disebut Jalan Raya Pos
(The Groote Postweg) pada zamannya. Yang menarik adalah nama-nama yang tertera
di peta dalam tugu tersebut dituliskan dalam ejaan lama. Yang lucu, anak-anak
berusaha membaca nama-nama tersebut dengan susah payah, seperti saat membaca
Pacoalongan, Djioedjoecarta, Cheribon, Souracarta.
Selain itu yang berubah
dibanding 5 tahun lalu, sekarang kita tidak bisa turun ke karang-karang yang
ada di tepi lautnya. Dulu saya masih bisa berpose duduk di karang yang
dikelilingi air laut, sekarang mungkin bisa, tapi agak susah. Ada juga jalan
beton yang dibuat menuju agak menjauh dari tepi pantai, membentuk seperti huruf
L. Mirip dengan jetty, yaitu tempat bersandarnya kapal, tapi sedikit lebih
kecil. Di kanan kiri jalan beton tersebut, terdapat beton-beton silinder yang
berfungsi memecah ombak. Di ujung jalan beton ini, memang ada besi tambahannya,
sepertinya memang bisa digunakan untuk kapal sandar, tapi mungkin dengan
kapasitas tertentu. Angin laut cukup kencang berhembus di sini. Anak-anak terlihat
kesenangan, dan ingin dipose sambil melompat. Hmmm..., anak-anak zaman sekarang
lebih update dibanding emaknya. Saya sedikit tertantang berjalan di atas
batu-batu silinder. Cukup seru juga meloncat dari batu satu ke batu lain.
Kontroversi Titik Nol Kilometer
Dari ujung jalanan beton
ini kita bisa melihat Menara Suar Cikoneng, lengkap dengan tulisan “Titik Nol Kilometer”
yang berwarna merah tanpa harus terbalik membacanya. Sebagian orang yakin bahwa
titik nol kilometer Jalan Raya Pos (Anyer – Panarukan), letaknya ada di sini,
walaupun sebagian meragukannya. Kenapa meragukan?
Dulu, 5 tahun lalu, saat ke
sini saya melihat batu penanda berbentuk segi empat dicat biru dengan tulisan
kuning “0 KM Anjer – Panarukan 1806 AKL.” Di sini sebetulnya agak janggal,
entah siapa yang membuat batu petanda tersebut dan kapan dibuatnya, karena
menurut sejarah Daendels baru mendarat di Anyer pada Januari 1808. Terdapat
perbedaan tahun di batu petanda dengan kedatangan Daendels yang disebut-sebut
sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penderitaan rakyak Indonesia
karena kerja paksa pembangunan jalan ini, pada masa pemerintahannya, yaitu antara
tahun 1808 – 1811. Terus terang saya jadi penasaran mengenai sosok Gubenur
Jenderal Hindia Belanda yang terkenal dengan kebengisannya. Betulkah tiada
sedikitpun rasa kemanusiaan dalam dirinya? Bagaimana kisah cinta sang jenderal?
Kisahnya bisa dibaca di sini: Herman Willem Daendels, Akhir Kisah Hidup SangGubernur Jenderal Yang Romantis
Menara Suar Cikoneng Yang Bikin Kaki Lemas
Terus apa dong hubungannya
antara Menara Suar (Mercusuar) Cikoneng dengan Jalan Anyer – Panarukan? The
Groote Postweg atau yang terkenal dengan Jalan Anyer Panarukan, mulai dibangun
1808. Terdapat tapal petanda bertuliskan tahun 1806. Belum lagi di atas pintu
mercusuar terdapat tulisan yang menyebutkan bahwa mercusuar ini dibangun pada
tahun 1885. Nah lho? Jadi apa hubungan ketiga tahun yang disebut disini?
Konon kabarnya Mercusuar Cikoneng
dibangun pada tahun 1806, tepatnya 2 tahun sebelum kedatangan Daendels ke
Anyer. Mercusuar ini didirikan sebagai alat bantuan navigasi kapal di sekitar
Selat Sunda. Mencusuar ini sudah ada ketika Daendels mengerjakan tahap awal
Jalan Raya Pos, yaitu menghubungkan Anyer dan Batavia di tahun 1808. Dalam
cerita masa-masa akhir kejatuhan Kesultanan Banten, disebutkan bahwa Sultan
Banten menolak memberikan bantuan kepada pemerintah Belanda untuk membangun
pelabuhan militer yang diperkirakan ada di daerah Tanjung Lesung sekarang dan
pembangunan jalan Anyer – Panarukan. Diduga bahwa sebetulnya Jalan Daendels ini
mempunyai banyak cabang, selain jalan utama yang dikenal sekarang, termasuk
jalan yang menghubungkan jalur Pandeglang dan Lebak.
Kembali ke Mercusuar
Cikoneng, pada tahun 1883, mercusuar ini ikut menjadi korban ganasnya letusan
Gunung Krakatau. Pada tahun itu dikabarkan ke Batavia bahwa mercusuar Anyer
rusak berat, tersapu gempa akibat letusan gunung dan gelombang tsunami yang
dasyat, yang sempat membuat langit dunia kelabu selama beberapa waktu. Pada
tahun 1885, Mercusuar Cikoneng dibangun kembali tidak jauh dari tempat
mercusuar yang pertama. Itu sebabnya pada bagian atas pintu masuk bertuliskan: Onder De Regeering Van Z.M.Willem III Koning
Der Nederlanden ENZ.ENZ.ENZ. Opgeicht voor vast licht 2 grootte. Ter vervanging
van den steenen lighttoren in 1883 by de ramp van Krakatau Vernield. 1885,
yang kira-kira artinya di bawah pemerintahan Raja Belanda Z.M.Willem III,
dibangun mercusuar ke dua, menggantikan mercusuar lama yang hancur karena letusan
dasyat Krakatau.
Memasuki bagian dalam
mercusuar, kita ditarik iuran sebesar Rp 5.000 per orang. Begitu melewati pintu
masuk, kita dihadapkan pada pintu lain yang menempel pada baja silinder yang
berada di pusat mercusuar. Di atas pintu tersebut terpampang lukisan Gubenur
Jenderal Daendels dan sejarah singkat mercusuar. Disebutkan dalam kilas sejarah
ini, bahwa di sinilah titik nol kilometer Anyer – Panarukan berada.
Jika kita mengedarkan
pandangan ke seluruh sudut ruangan mercusuar pada lantai dasar ini, pada
dinding-dinding baja penuh dihiasi oleh bingkai foto yang berisikan peta
navigasi kapal disekitar wilayah Selat Sunda dan Tanjung Priuk. Selain itu,
sampai dengan tingkat ke-3 kita bisa menyaksikan informasi-informasi mengenai
letak mercusuar-mercusuar yang dijadikan alat navigasi yang terletak pada jalur
Selat Sunda dan Tanjung Priuk. Seru juga membaca nama-nama pulau tempat dimana
mercusuar ini berada. Ada Mercusuar Pulau Tikus, Mercusuar Pulau Serdang, Mercusuar Pasemut, Mercusuar Pulau Payung, Mercusuar Pulau Dapur, Mercusuar Pulau Kunyit, dan
lainnya. Saya berpikir, banyak sekali nama pulau yang baru saya tahu sekarang.
Menaiki tangga terus,
dengan penuh perjuangan, akhirnya kami sampai ke lantai 16, lantai terakhir
yang bisa kita naiki. Karena 1 lantai selanjutnya adalah tempat lampu mercusuar
berada. Anak-anak dengan penuh semangat dan tanpa lelah menaiki tangga satu
demi satu. Sedangkan saya sendiri setiap naik 2 lantai selalu meminta berhenti
karena kaki rasanya lemas sekali menaiki tangga sebanyak 16 lantai. “Tunggu
dulu! Berhenti!” Itu teriakan saya sambil terengah-engah setiap kali 2 lantai
terlewati. Rombongan lain pada melirik melihat saya berteriak-teriak pada
anak-anak. Ah, masa bodo! Saya Noroktok
tuur alias ngaroroncod, kalau dalam versi Bahasa Sundanya.
Dinding mercursuar
terbangun dari potongan-potongan plat besi baja yang disambung menggunakan
sekrup. Setiap plat baja diberi nomor, yang sepertinya disesuaikan dengan
ketinggian mercusuar. Satu pelat mempunyai tinggi 1 meter. Jika diperhatikan,
plat-plat tersebut mempunyai nomor yang tercetak pada platnya dengan semakin
tinggi posisi mercusuar, nomor yang tertera pun semakin besar. Untuk setiap
satu lantai terdiri dari 4 plat ke atas, yang berarti ketinggian lantai sekitar
4 meter. Jadi jika sampai posisi lantai ke 16, berarti ketinggian mercusuar
pada lantai ini adalah 64 meter. Kalau ditambah satu lantai lagi tempat lampu
mercusuar berada, kira-kira menjadi 68 meter. Di beberapa artikel yang saya
baca, tinggi menara suar ini adalah 75 meter dan terdiri dari 18 lantai (saya
lupa, lantai dasar sudah saya hitung belum yak?).
Di lantai ke 16 ini, ada
pintu menuju keluar mercusuar. Dari sini kita bisa menikmati Anyer dari
ketinggian lebih dari 60 meter dengan pandangan 360 derajat. Artinya, kita bisa
mengitari pinggiran mercusuar dan melihat sekeliling Anyer. Uuuuh, berada di
ketinggian seperti itu rasanya ngeri-ngeri sedap. Jangan ditanya mengenai
pemandangan dari ketinggian. Sudah jelas spektakuler! Ditambah angin yang
berhembus kencang, menimbulkan sensasi tersendiri. Anak-anak sangat menikmati
duduk dipinggiran lantai ke 16 mercusuar dengan kaki menggelantung di udara.
Hanya emaknya yang dag dig dug, dipenuhi kekhawatiran kalau-kalau pagar besi
penghalang tidak kuat menyangga beban.
Ada Hantu Di Mercusuar Cikoneng?
Setelah puas duduk di dek mercusuar
lantai 16, saatnya menuruni tangga mercusuar, kembali ke dasar bumi. Saat
turun, kita melihat ada pintu besi kerawang. Sepertinya ini merupakan lift yang
dipakai pada masa itu, untuk mengangkut orang supaya cepat ke atas atau ke
bawah. Hmmm..., tadi saat naik sempat terpikir, bagaimana repotnya para penjaga
mercusuar jika tiap kali menyalakan, memadamkan, melakukan perawatan lampu
harus menaiki tangga secara manual. Anak-anak merasa heran, bagaimana cara
mengunci pintu tanpa menggunakan kunci seperti yang ada saat ini. Di sini
anak-anak mengetahui teknologi sederhana engsel besi yang bisa digunakan untuk
mengunci pintu.
Tiba-tiba terdengar suara
berdesis yang agak panjang. Ssssshhhhhhh...., seperti desisan angin, yang
berasal dari pintu lift tersebut. Anak-anak langsung menjerit ketakutan. Saya pun
sebenarnya takut. Suara desisan itu seperti dalam bayangan saya tentang
cerita-cerita zaman dahulu di gedung-gedung tua peninggalan Belanda. Saya
membuka pintu lift tersebut, ragu-ragu melongok ke dalam lorong gelap yang membujur
ke bawah itu. Pfuuuih...tinggi sekali! Lorong kosong memanjang ke bawah, tembus
sampai lantai satu. Saya sedikit bergidik melongok kedalamannya, serasa ada sepasang
mata yang memperhatikan dari balik kegelapannya. Terlihat secercah cahaya dari
pintu lift di ujung bawah. Tak lama terdengar suara dari bawah. Oh, ternyata
suara yang bergema memasuki lorong kosong yang panjang ini yang membuat efek
desisan tadi. Saya lega, saya meyakinkan anak-anak tidak ada apa-apa. “Sini
lihat!” Anak-anak tidak mau diajak melihat. Mereka berpikiran ada hantu di
situ. “Bukan hantu sayang. Suara tadi sepertinya terjadi karena ada seseorang
yang berbicara di lantai satu, dan suaranya bergema, ditambah resonansi udara,
jadi menimbulkan efek seperti suara angin mendesis. Tapi, tetap saja mereka
segan melihat lorong tersebut. “Ngga ah, takuuut!” Sahut mereka sambil cepat
menuruni tangga selanjutnya, meninggalkan saya.
Dan sampailah kami mendarat
di bumi kembali. Petualangan kami mendaki 16 lantai Mercusuar Cikoneng berakhir
di sini.
How to Get There & How Much Does It Cost?
Untuk sampai kesini mudah
sekali, ada beberapa jalan yang dapat dilalui.
1.
Kendaraan umum hanya melewati jalan utama. Dari terminal bis
Cilegon, gunakan angkot yang menuju ke arah kota Cilegon (bilang saja Simpang,
atau Ramayana, atau Supermall). Kemudian cari angkot yang berwarna silver dan
tanyakan apakah sampai ke Cikoneng. Perjalanan menggunakan angkot ini melewati
kawasan industri Krakatau Steel, pabrik-pabrik petrokimia, pasar Anyer, sebelum
akhirnya kita bisa sampai di Cikoneng. Jangan khawatir tersesat, karena
mercusuar yang posisinya berada di sebelah kanan jalan (arah ke Anyer) dan
menjulang tinggi, sangat mudah dikenali.
2.
Jika menggunakan kendaraan pribadi, selain menggunakan jalur di
atas, yang melalui pusat kota Cilegon, kamu bisa menggunakan Jalan Lingkar
Cilegon. Keluar pintu tol Cilegon Timur, lurus terus melewati perempatan besar.
Perjalanan masih lurus, sampai ujung Jalan Lingkar. Dari ujung jalan ini,
berbelok ke kiri memasuki jalanan Anyer. Kalau kalian menemukan tulisan Port of
Banten, berarti kalian berada di jalur yang benar. Tinggal lurus saja menuju
kampung Cikoneng.
3.
Bisa juga melalui jalur Mancak Serang. Perjalanan melalui jalur
ini, kita akan disuguhi pemandangan hijau. Tembusan keluar jalan Mancak adalah
di pasar Anyer. Dari sini tinggal berbelok ke kiri memasuki jalan utama menuju
Anyer.
4.
Dari arah Pandeglang pun bisa, hanya saja, mercusuar ada pada
posisi sebaliknya, di sebelah kiri jalan.
5.
Untuk biaya masuk Mercusuar Cikoneng, perorang ditarik bayaran Rp.
5.000, sedangkan untuk parkir, ditarik bayaran Rp. 40.000 per mobil. Kalau mau
bebas biaya parkir, kalian bisa memanfaatkan tempat parkir di Rumah Makan
Muaro, ya sambil makan siang di situ. Enak kok, kita bisa milih sendiri
seafoodnya. Habis makan, nyebrang deh ke Mercusuar Cikoneng.
Noted ... Pingin ke sini kalo udah lahiran nanti. Semoga bisa. :)
BalasHapusWaah selamat yak mbak dan semoga lahirannya lancar jaya. Ibu dan anak sehat juga yaaa....
HapusJangankan anak2 Mak, sy pas baca nama Pacoalongan, Djioedjoecarta, Cheribon, Souracarta juga agak mikir hahaha
BalasHapusboleh infonya untuk jam buka-tutup nya jam berapa? apakah weekend buka?
BalasHapus