"Aku mencari-cari keberadaan
dirimu,
Di antara batu-batu purba itu,
Surosowan, demi malam kan kukutuk bulan menjadi awan,
Kalau menggugurkan impianku membacakan kisahmu.(Surosowan Pada Catatan Duka, Bagus Bageni)
Di antara batu-batu purba itu,
Surosowan, demi malam kan kukutuk bulan menjadi awan,
Kalau menggugurkan impianku membacakan kisahmu.(Surosowan Pada Catatan Duka, Bagus Bageni)
Sultan memandang langit di atas Surowosan dengan pandangan getir. Dalam pandangannya langit merah membara dan berangsur-angsur berubah hitam kelam. Lintang Kemukus tampak di langit Barat Laut Surosowan. Sultan menghela nafas panjang, diliriknya Pangeran Purbaya yang selalu setia mendampinginya berjuang mempertahankan Sorosowan dari bangsa berkulit putih yang mencoba menguasai kekayaan Banten.
Pangeran
Purbaya termenung, segala cara telah dilakukan untuk membujuk kakaknya Sultan
Haji agar tidak berpihak kepada VOC. Sungguh taktik kejam yang dilancarkan VOC
untuk mengadu domba ayah dan anak. Pangeran Purbaya tidak berani memandang raut
wajah ayahnya yang semakin hari terlihat makin suram menanggung beban yang luar
biasa, akibat pertempuran panjang melawan putranya sendiri. Tidak banyak yang
dia bisa lakukan.
"Peperangan
besar segera terjadi. Pengkhianatan demi pengkhianatan akan terus berlangsung
di tanah ini," ucap Sultan dengan suara berat dan serak, seolah telah
mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kemudian dengan mata
berapi-api dan suara tegas, Sultan berkata, "tetapi menyerah pada
kekuasaan asing, tidak pernah ada dalam hidupku! Mari kita berjuang sampai
akhir, Pangeran Purbaya." Pangeran Purbaya mengangguk pelan. Di dalam
dadanya berkecamuk beribu pertanyaan akankah mereka berhasil mengusir para
pengkhianat dan penjajah dari Bumi Surosowan.
332 tahun kemudian . . .
Hamparan sawah hijau terterpa sinar matahari pagi |
"Sabar
dong," sahut ayahnya, "tuh sebelah kanan, itu dulu taman tempat
berkumpul raja dan keluarganya," lanjut ayahnya sambil menunjuk dengan
ujung mata ke sebelah kanan jalan. Terlihat sebuah kolam yang cukup luas dengan
pulau buatan kecil ditengahnya, mirip dengan bale kambang. Tasik Kardi nama
danau itu, yang menurut cerita adalah tempat wisata keluarga Kerajaan Banten
tempo dulu, sekaligus berfungsi sebagai reservoir air.
"Oh,
itu yah, tempat main putri?" tunjuk Aisya semangat, kakak Naylal diam
mengamati. "Trus ke tempat yang ditengah-tengah itu pakai apa yah?"
Tanyanya kemudian. "Oh, itu. Naik sampan lah, atau perahu kecil. Kalau
sekarang pakai perahu bebek." Jawab ayahnya. Ayah sengaja memperlambat laju
Innova hitamnya supaya kami bisa melihat lebih jelas.
Situs Pengidelan Abang, bangunan penjernih air keraton |
Jejeran kios penjual oleh-oleh dan makanan |
Di
depan kami ada pertigaan lagi. Beberapa orang tampak memungut bayaran dari
mobil-mobil yang lewat. Dengan cuek ayahnya anak-anak berbelok ke kiri, dan
terus melaju ketika seseorang mencoba menghentikan si Hitam dan mengisyaratkan
untuk memberikan uang lewat.
“Ayah,
kita harusnya keliling lewat sebelah sana!” tunjukku ke arah jalur satunya yang
menuju ke arah kumpulan kios-kios tenda biru. Sang pengendara di sampingku diam
seribu bahasa. Aku tahu, dirinya tidak suka dibantah. Lagipula petunjuk arah di
sini tidak lah jelas. Saya pun masih celingukan mencari bangunan istana.
Benteng Surosowan, terbuat dari bata dan karang |
“Ya,
benteng ini namanya Keraton Surosowan,” kata Ayahnya anak-anak, setelah
memarkir si Hitam di pelataran parkir Museum. “Lah, trus masuknya dari sebelah
mana? Dindingnya tinggi begitu?” Tanya saya. Si Bebeb malah mengangkat bahu.
Duh, dasar orang Banten yang aneh! Tinggal di Banten dari kecil masa ngga tahu
jalan masuk ke benteng Surosowan. Dari kejauhan tampak orang-orang memanjat
menaiki benteng. Aku mencoba mengikuti jejak mereka, tapi akhirnya menyerah.
Berkeliling mencari jalan masuk, hanya menemukan gerbang yang atasnya
melengkung, tetapi itu pun tertutup kerangkeng besi. Saya mencoba melongok ke
dalam, tetapi yang terlihat hanyalah padang yang luas, beserta puing-puing
pondasi bangunan yang hampir rata dengan tanah. Dimanakah gerangan letaknya Keraton
Surosowan yang pernah dikenal sebagai Fort Diamant atau Kota Intan ini? Gedong
Kedaton Pakuwon tempat tinggal para sultan Banten. Anak-anak tertunduk lesu,
kecewa tidak melihat bangunan seperti yang dibayangkannya.
“Jangan
sedih dooong,” saya mencoba menghibur mereka. “Kenapa istananya ngga ada, Bu?”
Tanya Naylal. “Kenapa ya?” Jadi, waktu itu Sultan Banten berjuang bersama
rakyat Banten supaya lepas dari kekuasaan Belanda,” jawabku. “Jadi mereka
kalah, Bu?” Aku termenung.
Dibangun
pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, sultan pertama Banten (1526-1570), dilanjutkan
pembangunannya oleh penerusnya Maulana Yusuf (1570 – 1580), dengan membangun
benteng yang terbuat dari batu bata dan
karang. Kota Surosowan dikelilingi kanal-kanal air. Kapal-kapal kecil dari
Pelabuhan Karangantu berlayar memasuki ibukota Surosowan melalui jembatan
rantai. Setidaknya, bekas-bekas kanal ini masih terlihat di beberapa bagian.
Disebelah Utara Benteng Surosowan dan juga Mesjid Banten, bagian jembatan rantai masih bisa dilihat. Jembatan rantai dibangun dari batu dan karang, serta diperkirakan menggunakan tiang besi besi dan papan untuk penyeberangan, dan kerekan rantai untuk menaikan dan menurunkan papan jembatan. Di bagian Barat benteng pun masih terdapat kanal, juga di sisi sebelah
Selatan dan Utara. Kebayang indahnya kota Intan waktu dahulu, lalu lintas di dalam kota
menggunakan perahu yang melewati kanal-kanal yang mengelilingi kota tersebut.
Mungkin seindah Venesia.
Jembatan Rantai, di sisi Timur Mesjid, banyak sampah |
Di Bawah Langit Surosowan, 14 Maret 1683
Pangeran
Purbaya mencoba menghalangi niat ayahnya menerima undangan Pangeran Gusti yang
sekarang bertahta di Keraton Surosowan atas bantuan VOC, memukul mundur pasukan
yang dipimpin ayahnya sendiri. Mengingat hubungan ayah dan anak, walaupun
terbersit kecurigaan dalam hati, Sultan Ageng, tetap berangkat menuju Surosowan
ditemani Pangeran Purbaya dan sedikit pasukan yang tersisa. Apa yang akan
terjadi, terjadilah. Begitu mungkin yang ada dalam pikiran sang sultan.
Peperangan berat puluhan tahun pun sudah dilakoni, termasuk perjuangan
meloloskan diri dari kepungan penjajah untuk tetap memimpin pasukan Banten mengusir
para penggerogot kekayaan bumi Banten. Terakhir, Pangeran Purbaya sampai terpaksa
membakar keraton kecil di Tirtayasa untuk mengelabuhi musuh.
Rombongan
kecil mereka sampai di pelataran istana. Sultan Haji menyambut kedatangan rombongan
ayah dan adiknya dengan baik pun penuh suka cita, seolah tidak ada
persengketaan selama ini di antara mereka. Pangeran Purbaya tetap merasakan atmosfir
pengkhianatan di atas langit Surosowan. Duduknya pun tidak tenang, seolah
berada di atas bara api. Sesekali diliriknya ayahnya yang tetap dengan
ketenangannya meladeni Sultan Haji.
Tiba-tiba
ditengah ke akraban tersebut, terdengar derap langkah prajurit. Pangeran
Purbaya siaga dalam duduknya. Sultan Ageng, melirik ke arah putra
kesayangannya, Pangeran Purbaya yang selama ini telah berjuang bersamanya
melawan VOC, termasuk melawan kakaknya sendiri. Mata mereka beradu. Pangeran
Ageng mengisyaratkan agar Pangeran Purbaya segera melarikan diri. Pangeran
Purbaya tidak ingin meninggalkan ayahnya sendirian di sini, tetapi tatapan
Sultan Ageng memaksanya untuk beranjak dari tempat duduknya. Dengan perlahan,
Pangeran Purbaya mundur ke belakang dan menyelinap keluar. Setelah berhasil
keluar, dilihatnya pasukan VOC telah mengepung istana, dan terlihat ayahnya ditahan
pasukan VOC dan diperlakukan tidak dengan semestinya. Ingin rasanya berlari
menerjang pasukan musuh untuk membebaskan ayahnya. Tapi kakinya tertahan. Sorot
mata ayahnya yang memandang dari kejauhan memaksanya menghentikan langkahnya.
Tatapan yang penuh harapan agar dirinya bisa melanjutkan perjuangan memimpin
pasukan Banten mengusir musuh dan pengkhianat.
Pangeran
Purbaya hanya sanggup mengepalkan tangannya dengan kencang. Otak dan batinnya
berperang dasyat. Pikiran warasnya mengkalkulasi, kecil sekali kemungkinan
berhasil menyelamatkan ayahnya, Sultan Ageng. Dengan menggemeretakan giginya,
mengepal kedua tangan disamping tumbuhnya, Pangeran Purbaya berbalik badan.
Melangkah pelan, satu langkah, dua langkah, kemudian lari sekencang-kencangnya
dengan pikiran kalut mengingat ayahnya yang tertawan VOC. Tetes demi tetes air
mata jatuh ke samping, mengikuti kecepatan larinya. Hatinya sakit seperi teriris
sembilu. Bagaimana mungkin kakaknya tega menyerahkan ayahnya ditahan VOC.
Bagaimana mungkin kakaknya percaya dengan hasutan VOC bahwa dirinya akan
merebut tahta putra mahkota. Sedikit pun tidak pernah terlintas dipikirannya
untuk memegang tampuk kekuasaan negeri ini.
Pangeran
Purbaya terus berlari, tidak mempedulikan alam sekitarnya yang mulai kelam.
Langit menghitam. Geledek menggelegar disusul sambaran halilintar. Dan hujan
pun turun membasahi bumi Surosowan, seakan ikut berduka. Mengiringi duka
Pangeran Purbaya, dan juga berduka dengan ketidakberdayaan putra terbaik Banten
di tangan VOC. Keserakahan atas dunia telah menutup mata batin manusia yang
asalnya penuh welas asih.
Epilog
Sultan
Ageng Tirtayasa ditawan Belanda dan dibawa ke Batavia. Sultan meninggal tahun 1692.
Perjuangan dilanjutkan oleh Pangeran Purbaya dan para pengikut Sultan Ageng
yang masih setia. Desember 1683, Syeh Yusuf, pengikut sultan yang setia,
ditangkap Belanda. Pangeran Purbaya pun menyerahkan diri.
Sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan, tangga berundak dan kolam Roro Denok |
Note:
Cerita sejarahnya diilustrasikan berdasarkan persepsi pribadi yak, walaupun tanggal-tanggal dan kejadiannya, Insya Allah telah disesuaikan.
Jadi pengen liat bentengnya.
BalasHapusLumayan sih Mak. Kalu ke sini sekalian satu kompleks. Surosowan, Mesjid Banten Lama, Istana Kaibon, Benteng Speelwijk, Vihara Alovakitesvara, kompleknya berdekatan.
HapusWaah menarik nih mba, berasa baca cerpen. Nulis yg banyak trus dibukukan dreh ;)
BalasHapusPengennya begitu eung..bikin fiksi latar belakang sejarah. Hihi...ajarin dong nulis fiksinya..
HapusKo ga ngajak sih.sebetul nya kalo ke cilegon pengen kesana.impian dari kecil
BalasHapusHayu atuh..iraha bade kadieu. Ajakan amrita oge, radia juga.
Hapussitusnya belum dipugar gitu ya, kayak batu2 berserakan :((
BalasHapuseh tapi kayaknya pernah makan yang kayak krupuk gitu di kios penjual itu, samiler kalau nggak salah :D
masyaALLAH, islam dan perjuangan memang tak bisa dipisahkan. Terima kasih para pahlawan....
BalasHapus