Air kanal di bagian Timur benteng tua itu berkilau diterpa sinar
matahari pagi. Airnya tidak jernih, lebih tepatnya kecoklatan bercampur dengan
warna kehijauan. Alam sekitarnya terlihat masih alami. Pepohonan hijau berderet
disepanjang kanal dan juga tersebar disekeliling benteng. Benteng yang luasnya
1,5 hektar itu, terlihat sepi, hanya ada sepasang sejoli sedang memadu kasih
dipojokan benteng yang sedikit tersembunyi. Mereka pun segera menyingkir dan mencari pojok lainnya yang
mungkin lebih tidak terganggu lalu lalang orang yang mulai berdatangan.
Dahulu
kala benteng ini menjadi saksi bisu keberadaan VOC di Banten. Terletak di sebelah Timur Vihara Alovakitesvara dan Barat Laut Keraton
Surosowan dan Mesjid Banten, Benteng Speelwijk masih menyisakan puing dan
pondasi yang menyerupai benteng. Kebanyakan orang menyangka Benteng Speelwijk
ada berdekatan dengan Mesjid Agung Banten. Benteng yang dibangun oleh Hendrik
Lucaszoon Cardeel antara tahun 1681 - 1684, letaknya mendekati Pelabuhan Kapal
Nelayan Karangantu. Namanya diambil dari nama Gubenur Hindia Belanda yang
menjabat saat itu, Cornelis Jansz Speelman. Dibangun pada puncak ketegangan
hubungan sultan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa) dan putra mahkota (Sultan Haji)
yang tidak lain masih anak kandungnya sendiri. Kisah perseteruan ayah dan anak
ini dapat dibaca di sini: Kisah Getir Surosowan Yang Terlupakan Zaman
|
Tembok sisi Barat yang saya naiki untuk mencapai atas. |
Walaupun hampir 15 tahun tinggal di Banten, baru kali ini saya
menginjakkan kaki di Benteng Speelwijk, yang terletak di Kampung Pamarican
Banten. Minimnya petunjuk arah dan tanda masuk ke benteng Speelwijk, membuat
saya kebingungan setiap kali melewati jalanan menuju pasar ikan Karangantu.
Secara tidak sengaja saat penasaran ingin mampir di Klenteng Alovakitesvara,
saya melihat ada jembatan putih yang tembus menuju benteng yang dulunya
terkenal dengan nama Fort Speelwijk ini. Tidak ada penjagaan sama sekali.
Satu-satunya keramaian adalah seorang penjual ikan yang dikerubuti pembeli di
samping jembatan putih. Dan pemandangan yang sudah biasa saya tangkap, jika di
sekitar jembatan terdapat banyak sampah berserakan, mengurangi keindahan
bangunan sejarah ini. Sebetulnya aksesnya lebih mudah jika kita melalui Karangantu atau datang dari arah Tasik Kardi.
|
Area menara pengintai yang lebih tinggi. |
Memasuki halaman benteng yang dipenuhi pepohonan tinggi, suasana
sunyi yang melingkupinya membuat saya sedikit berdebar-debar. Anak-anak dan
ayahnya belum juga muncul. Tapi rasa penasaran terus memaksa saya untuk
memasuki area benteng. Yang terlihat adalah lapangan luas dikelilingi tembok
yang ditengahnya ada jaring gawang, sepertinya tempat ini dimanfaatkan untuk
lapang bermain bola. Di sebelah Barat Daya ada sebuah bangunan, sepintas
terlihat seperti lorong. Tiba-tiba saya bergidik, entah kenapa yang muncul
dalam bayangan saya adalah tempat itu merupakan lorong panjang tempat
penyimpanan tawanan VOC zaman dahulu. Sisi Selatan lapangan terdapat pondasi
yang lebih tinggi, tetapi tidak terlihat akses untuk mencapai tempat itu.
Satu-satunya yang saya pikirkan adalah memanjat tembok di sisi Timur. Ups!
Lumayan tinggi juga! Jiwa petualang saya mulai keluar.
|
Tembok benteng dan menara pengintai,
banyak orang duduk di atas tembok sambil menikmati alam |
Memanjat dinding tembok batu bata membuat saya serasa kembali
menikmati masa-masa mendaki gunung dengan Ganala, group pencinta alam yang
dibentuk oleh teman-teman angkatan 95, Kimia Universitas Padjadjaran. Tentu
saja tembok benteng tidak bisa dibandingkan dengan gunung, hanya saja kegilaan
memanjat tembok menimbulkan sensasi tersendiri. Dan kenekatan saya pun terbayar
dengan pemandangan indah yang bisa disaksikan dari ketinggian ini. Sisa-sisa
bangunan benteng tua dengan menara pandang di pojok, air kanal di sisi Utara,
sekeliling pepohonan hijau, dan diiringi dengan senyuman matahari terbit di
Timur, sungguh pemandangan yang breath taking. Suasana yang tadi membuat saya
bergidik, beralih menjadi perasaan damai dan relaxing. Hmmm, entah apa yang
dirasakan Sultan Haji, saat menyadari perbuatannya melawan ayahnya harus
dibayar dengan berdirinya Fort Speelwijk, yang menandai babak baru VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie),
menguasai monopoli perdagangan Kesultanan Banten sekaligus mengakhiri masa
kejayaan Banten sebagai pelabuhan internasional yang berdaulat. Mungkin hanya 4
kata yang bisa melukiskan perasaannya: “sesal kemudian tiada guna”. Ibarat nasi
telah menjadi bubur, ayahanda dan saudara telah ditawan Belanda.
|
Aisya dan Azka ikut menaiki tembok sebelah Barat |
“Ibuuuu!” Teriakan anak-anak membuat saya menoleh ke arah tembok
yang tadi saya naiki. Terlihat dua bocah menaiki dinding tembok dibantu
ayahnya. Mereka berlari berhamburan kesenangan, berlari di atas rerumputan
hijau, dengan latar belakang Klenteng Alovakitesvara yang terlihat dari
kejauhan. Saya baru menyadari bahwa benteng ini berdekatangan dengan pemukiman
Cina di zaman dahulu, sehingga tidak heran bahwa pembangunan benteng ini konon
melibatkan orang-orang Tionghoa yang diupah rendah.
“Awas! Hati-hati!” Seruku, karena di bagian tengah terdapat
sisa-sisa pondasi yang terlihat rata, padahal berlubang. Entah dahulu dipakai
untuk ruangan apa.
|
Menara pengintai Speelwijk, banyak coretan vandalism |
“Bu, itu apa?” Aisya menunjuk
menara pandang yang masih berbentuk. “Sepertinya sih ini menara, untuk
memantau keadaan musuh misalnya,” jawab saya sok tahu. Kami mendekati menara
tersebut. Terlihat coretan vandalisme di dinding menara ini, termasuk dibagian
langit-langit menara. Duh, iseng banget sih yang melakukan grafiti pada tembok
peninggalan sejarah. Di sisi dekat menara pandang ada beberapa cerukan yang
sepertinya dahulu berfungsi sebagai tempat moncong meriam, terlihat dari
kemiringan temboknya. “Nah, ini pasti dulunya tempat menaruh meriam,” kata saya
pada anak-anak dengan sok tahu lagi. “Iya tah?” tanya anak-anak dengan nada
sangsi. “Iya, lihat aja coba bentuknya. Ini cocok kalo moncong meriam di taruh
di sini. Tinggal mengarahkan ke depan, kanan, dan kiri,” jawab saya sambil
memperagakan mengintip dari cerukan tersebut.
|
Tembok benteng sisi Utara agak miring |
“Bu, orang itu menyeberang di atas tembok! Iih, takut amat!” Seru
Azka. Saya mengalihkan pandangan pada tempat yang dilihat Azka. Sepasang
muda-mudi sedang berjalan di atas tembok dengan ketinggian, yang menghubungkan
sisi bangunan Barat dan Timur. Mereka seolah berjalan di atas titian panjang, saling berpegangan tangan. “Ayo kita
coba!” Tantang saya pada anak-anak. “Iuuuh, ibu aja kali. Kita sih ngga mau.
Ya, Ca?” Jawab Aisya sambil mencari persetujuan kakaknya. “Ah, coba dulu,” ajak
saya sambil beranjak mengikuti kedua remaja tadi. Permukaan tembok ternyata
sedikit miring, membuat saya sedikit limbung. Duh, kok dua muda-mudi tadi kelihatannya gampang sekali menyeberangi tembok benteng sisi Utara ini. Anak-anak pun terlihat merangkak
bukannya berjalan, sepertinya mereka juga merasakan kesusahan berjalan dipermukaan tembok yang sedikit miring ini. Saya malah tertawa melihat polah mereka. “Ibuuu..., takuut! Tinggi
banget!” Teriak Aisya sambil mencoba merangkak.
|
Azka dan Aisya ketakutan untuk berjalan di atas benteng |
“Oh, ternyata ada tangga ke bawah tuh!” Saya baru melihat ada
tangga ke bawah yang bisa diakses menuju tempat di seberang. Tangganya sedikit
tersembunyi memang, sehingga saya tadi tidak melihatnya. Pemandangan dari
tembok sisi Timur pun ternyata tidak kalah indahnya. Sisi Timur Laut terdapat
kompleks pemakaman tua Belanda yang dikenal dengan sebutan Kerkhoff. Di sini
telah dimakamkan komandan perang, Hugo Pieter Faure, yang makamnya berukuran
besar lengkap dengan simbol kesatuan militer. Ada juga makam Maria Susanna
Archer istri dari Thomas Schippers yang meninggal tahun 1743. Thomas Schippers
adalah pegawai pajak VOC, yang kelak menjadi Gubenur Jenderal Malaka dan
menikahi Catherina Cornelia van Mijlendonck yang merupakan janda dari van
Ossenbergh. Pun makam Catharina Maria van Doorn, istri Letnan Jan van Doorn
juga makam Jacob Wits seorang pegawai pajak dan pembelian pada zaman VOC.
|
Salah satu pintu keluar benteng Speelwijk |
Di sisi tenggara tembok, dari kejauhan tampak kanal air yang
berwarna kecoklatan, kontras dengan pepohonan rindang dan rerumputan hijau di
sekelilingnya. Dahulu tempat ini, sama seperti halnya benteng Surosowan,
dikelilingi parit-parit besar dan dilewati kanal air. Terbukti di sisi Barat
benteng Saya mengambil LG G4, dan mencoba mengabadikan keindahannya. Beberapa
kali mencoba mencari sudut pengambilan, tetapi selalu terganggu dengan
sampah-sampah yang berserakan. Masalah sampah ini memang sering mengganggu dan
juga merupakan salah satu dampak negatif wisata. Masih banyak yang datang ke
tempat wisata, membawa atau membeli makanan dan minuman, kemudian membuang
sampah seenaknya.
|
Sisi Timur speelwijk dihiasi dengan kanal air |
Terlepas dari masalah sampah, tempat ini perfect untuk dijadikan
tempat selfie. Pepohonan dan rumput hijau, kanal air, reruntuhan bangunan bersejarah, perpaduan yang asyik. Saya pun tergoda untuk foto-foto dengan latar belakang sisi Selatan benteng. Begitupula dengan sisi Utara benteng yang tidak kalah menarik. Anak-anak pun tertawa-tawa riang mencoba berbagai macam pose. "Ayo, bergaya mirip fotomodel, Ca!" Teriak Aisya mengajak Kakaknya, sambil memperagakan berjalan di atas tembok bak peragawati berjalan di atas catwalk. Kakaknya tertawa melihat tingkah polah adiknya. Ketika sedang asyik jeprat-jepret bersama anak-anak, terdengar
teriakan dari sisi Barat. Dua anak laki-laki berteriak-teriak ke arah kami, “jangan
foto-foto disitu! Angker! Pamali!” Teriakan mereka bersahutan satu sama lain. Saya
melihat ke sekeliling saya, dan yang sedang berfoto-foto hanya kami. Dua anak
perempuan berseragam olah raga telah menuruni dinding tembok, entah hendak
kemana. “Ibuuu.., takuut,” Azka ketakutan, “hapus Bu, fotonya.”
|
"Ayo Ca, bergaya kayak fotomodel!" |
“Teriak ke kita ya, Yah?” Tanyaku sama si bebeb, dengan hati dag
dig dug. Duh, bener ga sih angker. Si bebeb hanya ketawa saja. “Pulang yuk!”
Ajakku buru-buru, “lagian sebentar lagi acara di Rumah Dunia akan dimulai.”
Dengan sedikit tergesa-gesa saya dan anak-anak menuruni tembok. “Ibu,
coba searching di Google. Emang
beneran angker?” Azka masih penasaran. Saya teringat, tempat ini pernah
dijadikan ajang uji nyali, katanya ada hantu wanita di sini. Wuiiih, semakin
merinding saya mengingatnya. Walaupun kagak percaya, tetap saja auranya
menakutkan. Apalagi menurut cerita, benteng ini mulai ditinggalkan Belanda
sekitar tahun 1810 – 1811 karena merebaknya penyakit sampar, dan banyak orang
mati akibat penyakit yang menyerang binatang ini.
|
Sisi Barat menghadap Klenteng Alovakitesvara |
“Ayo ah, cepat!” Saya sedikit mengajak anak-anak berlari. Dalam
hati kubaca ayat kursi berulang-ulang. Si bebeb malah ketawa cekikikan. “Yaaa,
kena deh! Tuh orang yang teriak-teriak tadi ketawa melihat kalian lari
terburu-buru!” Serunya sambil mengikuti kita keluar benteng.
Sepanjang perjalanan pulang, kita masih kepikiran, apa iya di situ
angker dan dilarang untuk foto-foto. Anak-anak diam seribu bahasa walaupun
ayahnya terus menggoda. “Ah, itu mah yang tadi bohong. Ngga ada apa-apa lagi,”
kata saya menenangkan mereka, padahal saya juga masih sedikit kaget setengah
ngga percaya. Tapi tempat cantik itu terus menggoda saya untuk kapan-kapan
datang kembali. Kamu pun pasti akan setuju setelah datang ke tempat ini, terutama
di pagi hari, bahwa tempat ini memang indah.
Fort Speelwijk
Desa Pamarican atau Pabean Banten, Indonesia
Jalan Bio Banten, depan Klenteng Alovakitesvara
Satu lagi jenis tempat wisata : Wisata Misteri, haha
BalasHapusPeninggalan jaman dulu selalu ada hubungannya dengan sejarah ya mbak, menariknya lagi ini benteng : ada seremnya pasti, baik lokasi maupun fisik bangunannya. Meskipun pemandangannya sangat indah.
Menarik sih, penuh tantangan tapi..jangan pergi sendiri :)
Hihi...betul mak...wisata misteri. klo pergi sendiri apalagi malem2 saya ga berani mak...
HapusWiiih gak sanggup kalo harus jalan di atas tembok yang tinggi. Bisa pingsan duluan deh saya. :D Tempatnya luar biasa kerennya.
BalasHapusHihi..sebenernya sih ngga mesti naik tembok Mbak. Ada jalannya. Tapi kalu pengen liat pemandangannya, enak dari atas temboknya sih ya...
HapusAda sih fotonya lagi, tapi saya ngga tampilin disini, kok pas diliat dalam-dalam kayak ada penampakan. Aaah, mungkin hanya perasaan saya saja. ngga mau liat lagi fotonya.
tampak menyeramkan ya....membayangkan jaman dulu
BalasHapusBagus sih Mbak. Tapi kalau ngga berani sendiri, mendingan rombongan. Tapi ibu-ibu disitu sih pada berani juga blusukan sampai ke celah-celah. Mungkin sebetulnya ngga ada apa-apa kali ya. Hanya perasaan saya saja...
Hapussepertinya saya gak akan berani berwisata ke sini Mbak karena saya orangnya penakut :(
BalasHapusKalau ngga kesini, kesebelahnya aja Mak. Ada klenteng Alovakitesvara yang bersejarah juga. Dulu pernah masuk sini, pas nganter orang Jepang. Ternyata dalamnya cakep juga, ada tamannya. Cantik deh.
HapusWah ternyata angker ya Mbak, untung nggak jadi ke situ. Hehehehehehe.
BalasHapus