sumber:Greenpeace |
"Hmmm...tahu
dari mana Kakak Azka?" tanyaku, sambil melepaskan sepatu safety di rak
sepatu.
"Aku
menonton di TV, juga baca," jawabnya, "katanya lahan gambut itu untuk
perkebunan kelapa sawit ya, Bu?"
Belakangan ini
topik mengenai bencana kabut asap menjadi berita hangat di berbagai media.
Bahkan sampai diberitakan memaksa presiden RI untuk mempercepat kunjungannya di
Amerika Serikat.
"Sudah
ada korban lho, Bu. Banyak warga yang mengeluh sesak nafas. Ada bayi yang
meninggal. Kasihan lho Bu," Azka kembali bercerita.
"Orang
Utan juga sudah diungsikan. Kenapa kebakaran hutan terjadi Bu?"
Hmmm...jawabannya
susah juga. Masalah kebakaran hutan bukan hanya kali ini saja terjadi. Tahun
1997 pernah terjadi kebakaran hebat, melalap 4,5 hektar lahan. Setelah lebih
dari 17 tahun sesudahnya, persoalan kebakaran hutan masih menjadi PR nasional.
2014, Presiden SBY membentuk tim khusus untuk investigasi permasalahan ini.
Hasil investigasi diteruskan ke daerah untuk ditindaklanjuti. Hanya saja belum
cukup efektif memberikan efek jera bagi pelaku pembukaan lahan ilegal. Tahun
2015 kembali terulang, diduga lebih parah dari kebakaran hutan 1997.
WALHI
merilis data, bahwa mayoritas titik api ada di dalam konsesi, 5.669 titik api
di Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 9.168 titik api di perkebunan sawit. Data
ini merupakan hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Data
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 10 orang tewas akibat
bencana ini baik langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 503.874 jiwa
menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di 6 provinsi pada periode
Juli - Oktober 2015. Dan bukan hanya manusia yang terpapar dampak buruk
kebakaran hutan dan kabut asap ini, tetapi habitat dan hewan yang bernaung di
dalamnya. Baru-baru ini, National Geographic juga meliris berita penyelamatan 4
orang utan dan 1 beruang madu oleh Borneo Orang Utan Survival Foundation. Hewan
yang dilindungi ini, diperkirakan tersesat memasuki pemukiman penduduk saat melarikan diri dari kepungan api dan asap. Sungguh mahal harga satu tarikan nafas udara segar.
Sampai
detik ini masih simpang siur, siapa sebetulnya yang bertanggung jawab sebagai
penyebab kebakaran hutan dan kabut asap ini. Disinyalir adanya konspirasi rumit
yang melibatkan banyak pihak. Tidak sedikit sumber berita yang menyebutkan
bahwa hutan dan lahan sengaja dibakar, terutama lahan gambut untuk perluasan
area penanaman kelapa sawit. Jadi teringat cerita seorang teman di daerah Riau,
ketika ada lahan milik salah satu perusahaan besar kelapa sawit terbakar hebat,
pihak perusahaan hanya menjawab: biarkan saja, ketika diberitahu bahwa lahannya
terbakar. Sepertinya hati nurani sudah membeku ketika berhadapan dengan
keuntungan bisnis yang menggiurkan.
"Oh,
jadi sengaja dibakar ya Bu, lahan gambutnya?" tanya Azka polos.
"Baru
dugaan, sayang."
"Kenapa
kita perlu kelapa sawit, Bu?"
Hmmm...mengapa
sawit diburu sampai rela membakar hutan dan lahan?
Tanpa
kita sadari ternyata banyak produk yang kita gunakan sehari-hari mengandung
sawit (palm oil). Bukan hanya minyak goreng yang kita gunakan untuk menumis
sayuran, tapi juga sabun sampai es krim juga mengandung sawit. Hampir 50%
produk yang berada di supermarket mengandung sawit. Sawit mempunyai
karakteristik yang unik, seperti mempunyai sifat pengawet alami, sehingga
diperlukan untuk memproduksi produk-produk di atas. Begitu besarnya peran sawit
dalam kehidupan kita ya.
Hal
ini, membuat kita sulit untuk beralih dari sawit, di samping juga perkebunan
kelapa sawit telah menjadi mata pencaharian bagi banyak petani sawit di
Indonesia. Di lain sisi, keuntungan ekonomi ini, dapat menimbulkan dampak luas
dengan berkurangnya hutan akibat pembukaan lahan yang masif untuk mencapai
target 40 juta ton crude palm oil (CPO). Contoh nyata adalah kebakaran
hutan tahun 2015, yang disebut-sebut sebagai the biggest man crime di abad ke 21 ini. Bagaimana tidak? Indeks pencemaran udara di
beberapa kota di Indonesia, jauh melebihi batas normal, bahkan telah melampau
batas indeks udara berbahaya (300-500). Palangkaraya, dinyatakan sebagai kota
dengan indeks pencemaran tertinggi, sempat menyentuh kisaran 2.000, yang berarti
4x lipat dari indeks berbahaya.
Label RSPO |
"Berarti
kalau aku suka beli es krim, aku jadi penyebab kabut asap? Jadi kita ngga boleh
pakai sawit, Bu?"
"Tidak
bisa begitu juga Kak Azka. Kalau kita beralih ke jenis minyak lain, lama-lama
akan timbul masalah, karena untuk memproduksi minyak tersebut membutuhkan lahan
lebih luas."
"Jadi
bagaimana dong, Bu?"
"Semua
pihak harus sinergi, pemerintah, pengusaha, organisasi lingkungan hidup, dan
orang yang paling berpengaruh di bumi, yaitu kita."
source:greenpackinggroup.com |
"Bagaimana
membantu melawan kebakaran hutan dan kabut asap? Lihat api saja, aku
takut."
"Sebagai
konsumen, banyak yang dapat kita lakukan, dari mulai menyuarakan opini kita,
juga melalui pemilihan produk-produk yang kita gunakan sehari-hari. Beli yang
baik."
"Beli
yang baik?"
"Beli
produk berlabel RSPO (Roundtable Sustainable
Palm Oil), untuk produk yang
menggunakan kelapa sawit, seperti minyak goreng, margarine, sabun; atau yang
mempunyai label FSC (Forest Stewardship
Council), untuk produk seperti
kertas, buku, tisu; dan produk olahan laut yang ramah lingkungan."
"Oh,
jadi waktu belanja itu, Ibu lama pegang minyak goreng karena mencari label RSPO
ya Bu?"
"Iya
betul! Ibu lihat-lihat label RSPO atau FCS nya. Ternyata baru sedikit yang ada
labelnya. Oleh karena itu, sebagai konsumen yang berpengaruh kita bisa mulai
dengan 3 langkah sederhana, yaitu: mengenal, artinya kita harus mencari tahu
serta paham latar belakang produk sebelum mengkonsumsinya; selanjutnya meminta
kepada penjual untuk menyediakan produk ramah lingkungan dan berkelanjutan; dan
yang ketiga, mengajak lebih banyak orang untuk menerapkan gaya hidup hijau
dalam kesehariannya."
"Kalau
belanja, aku bantu cari yang berlabel RSPO atau FSC ya. Oya, aku juga mau
bilang sama Emak, kalau bikin gorengan, pakai minyak goreng RSPO." Aku
mengangguk, menyetujui ucapannya.
"Kalau
kita beli yang baik, artinya kita sudah membantu melawan kabut asap, Bu? Kita
sudah bantu Orang Utan supaya rumahnya tidak rusak kan, Bu? Kita juga membantu
para petani sawit, kan Bu?"
"Iya,
betul sekali. Beli yang baik, karena kita adalah orang yang paling berpengaruh
di bumi. Yuk, kita tonton bareng video singkat ini," ajakku menutup
pembicaraan.
Who's The Most Influential Person In The World?
bagus sekali gan artikel nya
BalasHapus