Travel Writing Bersama Agustinus Wibowo |
Wuih, siapa
yang kagak kenal sama Agustinus Wibowo? Cung!
Kayaknya saya yang harus terpaksa mengacungkan jari tangan setengah tenggelam
karena malu.
Tentu saja
kalian pada kenal dengan Agustinus Wibowo, tidak seperti aku yang baru membaca
salah satu tulisannya "Koridor Wakhan: Jalan Terakhir Jalur Sutra"
beberapa minggu yang lalu. Itupun secara tidak sengaja melihat komentar yang
ditinggalkan Gola Gong di halaman status facebook-nya.
Membaca Koridor
Wakhan, serasa ada nuansa lain dalam tulisan sebuah travel writing. Penulis
terjun langsung dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan mencari sudut
pandang lain yang jarang diperhatikan orang. Tak disangka dan tak diduga
ternyata aku punya kesempatan untuk mengikuti workshop 2 jam yang dilaksanakan
oleh Smesco Indonesia dalam acara Netizen Vaganza 2015. Ibarat pepatah pucuk
dicinta ulam tiba, jodoh tak kan kemana. "Susah mendatangkan Agustinus
Wibowo," kata salah seorang rekan kerja yang tergabung dalam sebuah klub
buku, "sering tidak berada di tempat."
Wow, rupanya
terkenal juga. "Bukunya, Titik Nol dan Selimut Debu laku keras," kata
temanku lagi. Iiih, jadi penasaran.
Travel Writing, Smesco Netizen Vaganza 2015
Mengapa banyak
travel writer yang gagal dalam menarik minat pembaca? "Karena kita gagal
dalam menuliskannya dalam bentuk bigger
picture," jelas pria berperawakan sedang, mata sipit berkacamata yang
terlihat sangat berpengalaman dalam membawakan materi. "Gagal dalam
mengaitkan pengalaman pribadinya dengan pembaca."
Menurut
Agustinus, kebanyakan traveller menuliskan mengenai keindahan, cerita perjalanan
dari berangkat sampai tempat wisata, naik pesawat, dan lainnya. Gaya tulisan
zaman sekarang berbeda dengan dulu, dimana informasi mengenai tempat sangat
mempengaruhi pembaca, seperti tulisan Marcopolo tentang India yang
menginspirasi Columbus untuk mencapai India yang kemudian tanpa sadar mendarat
di Amerika yang disangkanya sebagai India.
"Gaya
penulisan zaman sekarang harus dapat mengajak pembaca seolah merasakan sendiri.
Maka teknik atau gaya penulisan yang digunakan adalah gaya penulisan fiksi atau
novel," begitu kata Agustinus Wibowo di hadapan para peserta workshop,
"tetapi narasi perjalanan adalah gabungan fakta dan cerita, yang disebut
nonfiksi kreatif."
Narasi
perjalanan adalah nonfiksi kreatif, sehingga tidak boleh ada fakta yang
dimanipulasi. Agustinus menceritakan bahwa pernah ada karya tulis berjudul three cups of coffee yang best
seller bahkan memenangkan penghargaan karena perjuangannya mendirikan sekolah
dan kisah hidupnya yang pernah disandera Taliban. Tetapi saat ada seorang
jurnalis yang menelusuri jejak sang penulis, ternyata kejadian yang disebutkan
dalam buku tersebut tidak sesuai. Sehingga akhirnya salah seorang penulis buku
tersebut bunuh diri karena merasa telah menipu dengan karyanya. Jadi travel
writing termasuk kategori nonfiksi kreatif yang harus sesuai fakta. Tidak boleh
menciptakan fakta, harus akurat dan benar, sekaligus mengasyikan untuk dibaca.
"Jauh
lebih mudah melakukan perjalanan daripada menuliskan perjalanan," kata
Agustinus yang diikuti anggukan para peserta, "padahal menuliskannya
adalah perjalanan juga. Perjalanan akan terhenti ketika kita tidak
menuliskannya. Ketika kita menuliskan perjalanan, mau tidak mau kita akan
mencari kontemplasi dari perjalanan tersebut, sehingga menulis akan menciptakan
perjalanan baru," lanjut Agustinus.
Mengapa Menulis Susah?
Diharapan para
peserta workshop travel writing di lantai 15 Gedung Smesco, 27 September 2015
lalu, Agustinus mengatakan alasan kenapa menulis susah, "karena kita belum
menyelesaikan PR kita. Kita terburu-buru ingin menuliskan. Kita tahus tahu
terlebih dahulu apa yang ingin kita sampaikan."
"Menulis
yang baik harus dibatasi dengan tema," tuturnya. Betul juga, terkadang aku
menyadari, ketika menulis ingin semua detail masuk dalam tulisan, padahal
detail tersebut tidak berhubungan. "Buang detail yang ngga penting,"
begitu kata Agustinus, yang telah lama berprofesi sebagai fotografer dan
penulis perjalanan ini. Sekali perjalanan bisa dibagi menjadi beberapa tulisan,
tidak mesti dituangkan dalam satu tulisan.
Kemudian, agar tulisan
terstruktur dan enak dibaca, ada bagusnya jika kita menentukan struktur
karangan terlebih dahulu didukung dengan premis-premis kalimat. Hampir semua
penulis melalui tahapan seperti ini, tidak terkecuali penulis terkenal
sekalipun. Kerangka karangan membantu memudahkan dalam menulis sehingga tidak keluar
dari tema yang telah ditetapkan.
Lalu bagaimana
agar tulisan kita bagus? Pada kesempatan ini, Agustinus berbagi tips membuat
tulisan yang bagus dan menarik dibaca.
Tips Menulis Ala Agustinus Wibowo
1.
Berikan
ijin bagi diri anda sendiri untuk menulis jelek
2.
Menulis
ulang, karena menulis adalah proses menulis ulang.
90% tulisan pertama
adalah sampah alias rubbish. Terus
terang kata-kata Agustinus ini membuat aku kaget dan langsung berpikir, bahwa tiada
satu pun di dunia ini yang serba instan, kecuali mie instan, kopi instan, apalagi
ya yang serba instan?
3.
Pembukaan
adalah hal yang terpenting, harus menggambarkan isi dari tulisan dan membuat
penasaran pembaca.
4.
Bangun
kontemplasi (kesimpulan sendiri) secara perlahan, tidak tiba-tiba di awal
tulisan. Tulisan yang baik mengandung kontemplasi yang kuat.
5.
Show
don't tell, merupakan rumus wajib semua penulis. Tetapi tidak semua kalimat
harus "show". Fakta atau detail yang kurang penting bisa dituliskan
sebagai "tell". Sedangkan "show", jika kita ingin pembaca
merasakan langsung situasi yang terjadi.
6.
Untuk
memperkuat efek "show", gunakan kalimat aktif. Kalimat aktif lebih
hidup dalam menggambarkan suatu peristiwa.
7.
Latihan,
latihan dan latihan! Kunci menjadi penulis sukses adalah latihan. Penulis
terkenal sekalipun tidak langsung ujug-ujug menghasilkan karya indah.
8.
Banyaklah
membaca, sehingga secara tidak langsung kita belajar teknik penulisan juga
memperbanyak kosakata.
Tuliskan Kisah Perjalananmu, Jangan Biarkan Menguap
Nah, itulah
beberapa tips yang dishare Agustinus Wibowo pada acara Netizen Vaganza 2015 di
Smesco Building, Jakarta. Agustinus terkenal dengan ciri khas travel
writing-nya yang tidak biasa, mengunjungi daerah-daerah yang jarang dikunjungi
turis. Menurut Agustinus, tempat-tempat wisata seperti candi, kuil, itu tempat
yang sudah mati tidak hidup, tidak banyak yang dapat diceritakan selain
keindahannya, sejarahnya atau bagaimana cara menuju tempat tersebut. Tetapi,
asalkan kita pandai menemukan angle,
tempat tersebut bisa dituliskan dengan warna tersendiri.
Agustinus Menjawab Pertanyaan Para Peserta Workshop |
Ketika ditanya
apakah saat melakukan perjalanan ke tempat tak biasa itu, Agustinus langsung
menuliskan perjalanannya, dia menjawab bahwa senjatanya adalah pena dan kertas
untuk menuliskan detail dalam bentuk poin-poin.
"Tidak
menulis dalam bentuk paragraf, tapi dalam bentuk poin-poin. Jika tidak begitu,
detail yang menarik
sepanjang perjalanan akan terlupakan."
Menjawab
pertanyaan peserta mengenai bagaimana mengatasi writer block, Agustinus menyatakan bahwa sebetulnya tulisan yang
macet bukan karena writer block. Ada
2 penyebab menurut Agustinus, yaitu malas dan kurang riset, sehingga kita tidak
tahu apa yang harus kita tuliskan.
Apalagi zaman
sekarang godaan semakin banyak. "Godaan terberat dan terbesar adalah
smartphone dan internet. Bukannya menulis, malah sibuk update status, atau
sibuk lihat yang reply status," ungkap Agustinus, yang disambut dengan
gelak tawa peserta. Hmmm...yang tertawa berarti pernah melakukan hal yang sama
sepertinya. Sarannya Agustinus, "jauhkan smartphone dan internet dari
hadapan saat kita menulis."
Bahkan
sekaliber Agustinus Wibowo pun terkadang tergoda untuk main game di smartphone
dengan alasan awal menggunakan smartphone untuk riset. Bukannya riset, malah
jadi main game. Oleh karena itu, Agustinus menegaskan, "pisahkan waktu
menulis dan riset, jangan digabung."
Agustinus
kemudian menceritakan pengalamannya supaya tidak tergoda internet, "pada
saat menulis, saya simpan smartphone dan modem dalam koper. Kopernya saya
kunci, dan kuncinya saya simpan di ruang terpisah."
Agustinus
memang sedang menjadi sosok idola. Para traveller, blogger bahkan penikmat
membaca kisah perjalanan seringkali mengejarkan untuk sekedar belajar secuil
ilmu dan pengalaman darinya. Ibarat kata, pengalaman adalah guru yang paling
berharga. Perjalanan pun ibarat guru yang mengajarkan ilmu dan pengalaman hidup
yang tiada bandingannya. Dan sosok Agustinus pun berbagi ilmu dan pengalamannya
dengan bahasa yang sederhana, menarik dan dapat dimengerti para peserta
workshop. Hmmm...cocok menjadi seorang pengajar.
So, bagi
para traveller, yuk tuliskan perjalananmu. Seperti kata Agustinus Wibowo: Jangan
Biarkan Pengalaman Berkesanmu Menguap Begitu Saja. Jangan Biarkan Perjalanan
Berkesanmu Berakhir Hanya Dengan Sebuah Upload Foto atau Status Update di Media
Sosial.
hahaha...
BalasHapusberarti tulisan2 saya sampah dong, Mbak...
soalnya yang saya pos di blog itu tulisan2 pertama saya, alias tanpa edit...
hehehehe