Hujan Duka di Bawah Langit Mina
Berita duka
terdengar dari Mina, tempat berkumpulnya jutaan manusia dari seluruh penjuru
dunia. Korban tragedi Mina hari ini menurut berita sudah mencapai 700-an orang
yang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Terjadi karena jemaah haji yang
saling berdesakan di jalan 204.
Mina, negeri
seribu satu tenda ini disinggahi saat melaksanakan tarwiyah sebelum berangkat
ke Arafah dan 3 - 4 hari sesudahnya untuk melempar jumrah pada hari-hari nahr
dan tasyrik. Semoga amal ibadah mereka-mereka yang kembali kepada-Mu diterima
dan mereka dibangkitkan kembali pada hari akhir dalam keadaan berihram dan
bertalbiyah. Aamiin.
***
"Ayo cepat
lari!" Azka dan Aisya berlari di depanku. Nafas terasa berat dan pendek,
detak jantung makin meningkat. "Waduh, kita ketinggalan nih!" Kataku
lagi dengan susah payah berkata-kata, masih sambil berlari.
Mina, Negeri 1001 tenda |
Imam terdengar
sudah beberapa kali menggemakan takbir, tanda sholat Ied sedang berlangsung.
Langkahku agak tersendat, antara tetap menuju mesjid atau balik badan pulang
kembali ke rumah. Sepertinya kita sudah ketinggalan sholat. "Ayo Bu,
Lari!" Suara Azka membuyarkan keraguanku. Ya, tak apa-apa terlambat,
minimal kebagian khutbahnya juga tidak rugi, sekalian pembelajaran buat
anak-anak.
Halaman mesjid
terlihat masih kosong. Lho? Sedikit sekali kah yang sholat Ied? Sudah kebayang
di dalam mesjid akan penuh, karena di luar tidak tampak satu jemaah pun. Tapi
sekali lagi aku salah. Di dalam mesjid hanya ada 2 shaf laki-laki dan 3 shaf
perempuan. What an empty space!
Buru-buru ku
kenakan mukena dan ikut sholat dengan imam. Usai imam mengucapkan salam, baru
aku sadar, ternyata jema'ah berjubel di halaman samping yang baru saja selesai
pembangunannya. Sudah kaget saja dengan jema'ah sholat Ied yang sedikit.
Khutbah
berlangsung setelah selesai sholat. Mendengarkan khutbah sholat Ied, mengenai
kurban, melemparkan ingatanku ke masa 2 tahun lampau.
Pada saat yang
sama, saat umat islam melaksanakan sholat Ied di Mesjidil Haram, para jema'ah
haji sudah bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melaksanakan jumrah
Aqabah.
Lautan Manusia di Jalur Muzdalifah - Mina
Sebelum
matahari terbit, bis terakhir yang membawa sisa-sisa jema'ah yang tertinggal di
Muzdalifah mulai bergerak menuju Mina. Deru bis membelah keheningan pagi.
Bertiga, meninggalkan Masy'aril Haram yang kenangannya akan selalu tersimpan di
hati. Dalam bis berisikan campuran jema'ah dari berbagai provinsi, tidak lagi
satu rombongan yang berasal dari kloter yang sama. Masih dalam balutan baju
ihram, kalimat talbiyah memenuhi seluruh penjuru bis. What a great moment! We're from different provinces but in unity.
Jemaah bergerak ke Mina |
Jalan penuh
dengan lautan manusia berpakaian ihram. Bis berjalan tanpa terhalang, karena jalur
jalan kaki disediakan terpisah. Kalimat talbiyah terus menerus dikumandangkan.
Masih dengan mengumandangkan talbiyah dengan lirih karena wanita tidak boleh
melafalkan dengan suara keras, aku memandang dari balik kaca jendela dengan
sedikit perasaan iri. Ah, alangkah senangnya andai menjadi bagian dari para
pejalan kaki itu. Para jema'ah yang rindu akan sunah nabinya.
Tak terasa
perjalanan berakhir di Mina. Walaupun bis tidak melalui maktab kami. Tapi
karena sehari sebelum Arafah singgah di Mina dalam rangka tarwiyah, gambaran
mengenai area maktab Indonesia di Mina sedikit terbayangkan di kepala, sehingga
bisa minta turun di daerah dekat maktab kami.
Di tenda maktab, semua telah berkumpul dan sebagian terlihat sedang melaksanakan tahalul. Sepertinya mereka semua telah melaksanakan jumrah Aqabah.
"Baru
datang?" Tanya Teh Iti, teman satu rombongan asal Pandeglang yang diikuti
anggukan kepalaku, "Iya," jawabku kemudian.
"Kami
sudah selesai jumrah Aqabah. Tadi malam, lewat dini hari meninggalkan
Muzdalifah, langsung balang jumrah," terangnya, "enak, masih kosong.
Ngga berdesakan. Bisa lempar dari dekat."
"Oh,"
aku tidak konsentrasi lagi dengan omongan Teh Iti, aku sibuk dengan pikiranku,
kalau pergi lempar jum'rah saat ini pasti sedang puncak-puncaknya, karena semua
orang dari berbagai negara ingin waktu yang utama untuk melempar jumrah, yaitu
waktu dhuha.
"Berangkat
sekarang nih kita?" Pak Jaksa sudah siap untuk berangkat yang di ayo kan
oleh suamiku dan beranjak untuk berangkat. Terlihat kerumunan bapak-bapak
saling membantu memotong rambutnya untuk tahalul awal setelah lempar jumrah
Aqabah.
"Yah, tuh
lihat pengumuman yang ditempel," tunjukku ke arah kertas seukuran A4 yang
ditempel di dinding bertuliskan pengaturan waktu untuk melempar jumrah bagi
orang Indonesia supaya tidak bentrok dengan jemaah dari negara lain yang ukuran
badannya lebih besar-besar. "Tuh Yah, waktu dhuha untuk jemaah negara
lain," rajukku lagi sambil menarik ujung kain ihramnya, mulai cemas.
"Waktunya bisa kok sampai sebelum matahari terbenam."
"Ngga
apa-apa. Bismillah saja. Lagi kalau sore malah takutnya nyasar, kita kan belum
tahu jalan. Ini tinggal kita bertiga lho, yang lain sudah semua," jawabnya
sambil terus menoleh, "bawa minum ngga?" Aku mengacungkan botol aqua
kecil yang tinggal setengah, "bawa nih."
"Lewat
mana kita?" Tanya Pak Jaksa.
"Lewat atas sepertinya," jawab suamiku.
"Lewat atas sepertinya," jawab suamiku.
Waduh!
"Indonesia lewat terowongan Muasim deh Yah," aku mencoleknya. Dengan
hati berdebar-debar, aku mengikuti langkahnya berbelok ke arah kiri dan naik
menuju jalan atas. Aku menengok ke arah kanan, arah yang ditunjukan orang yang konon katanya menuju terowongan Muasim.
Ternyata
jalanan berbeda dengan perkiraan sebelumnya. Sebelumnya terlihat lebih gampang menuju
jalur ini
karena tinggal lurus mengikuti jalan sampai di Jamarat. Sepertinya
jalurnya berubah, banyak pengalihan dan tenda-tenda baru yang berdiri. Akhirnya
kami mengikuti arus orang-orang yang menuju Jamarat. Mudah mengenali yang
menuju Jamarat, karena jalur masuk dan keluar terpisah.
Peta Pekemahan Mina |
Lautan manusia
dari berbagai penjuru dunia bergabung dalam satu jalur. Talbiyah terdengar
semakin kencang. Jantung berdegup dengan kencang, rasa exciting memenuhi dada. Akhirnya, aku berada di tengah para pejalan
kaki ini. Berbagai suku bangsa, berbagai warna kulit, berbagai ukuran badan,
berbagai warna mata, berbagai usia, tapi semua dalam satu bahasa: talbiyah! Dan
semua menuju arah yang sama.
"Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika
laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak"
Berjalan di
tengah lautan manusia, tidak semenakutkan seperti yang terbayang dalam alam
kecemasanku. Aku terbawa dalam spirit kebersamaan dan saling membantu mencapai
satu tujuan.
"Help! Help! Water," seorang
perempuan bertubuh tambun berkulit hitam legam menunjuk-nunjuk ke arah botol
aqua kecil yang aku bawa. Tangan yang satunya memegangi tenggorokannya,
mengisyaratkan rasa harus. Wajahnya berpeluh keringat, disebelah kanan kirinya
rekan-rekan wanitanya memegangi lengannya, terlihat seolah sedang menghibur
atau memberi semangat kepada perempuan separuh baya tersebut.
Aku bengong,
melirik ke arah lengan yang memegang botol aqua. Tanpa sadar botol aqua kecilku
sudah berpindah tangan. Senang rasanya bisa membantu, semangat langsung
bertambah untuk segera melanjutkan perjalanan. Hei, tunggu! Kok rasanya ada
sesuatu yang aneh. Tenggorokan terasa kering, kuraih tasku mencari-cari botol
minum. Aduh lupa! Aku menepok jidat sendiri.
"Ayah, aku
ngga punya lagi air minum, aku haus. Dari tadi tidak terlihat kran air
zamzam," aku mengkipas-kipas muka dengan kedua tanganku,
"Jamarat sudah dekat?"
"Baru
setengahnya kayaknya," jawabnya. Oh,
my! Ya Allah, aku haus.
"Eh, Ayah,
itu air zamzam bukan?" Mataku tertumbuk pada sekerumunan orang yang
berjejer di tangki-tangki berbentuk silinder. Wah, tangki air zamzam! Seolah
menjawab isi hati. Aku berlari mendekati tangki minum. Minum air dari keran
langsung alangkah segarnya. Fabi ayyi ‘ala irobbikuma tukazziban. Nikmat Tuhan
kamu manakah yang kamu dustakan?
“Laa Haj! Laa Hajjah Laa!”
Perjalanan
menuju Jamarat berlanjut. Walaupun jalur sudah diatur sedemikian rupa menggunakan
pemisah pagar kawat besi tinggi, sehingga kecil kemungkinan orang untuk
berpapasan arah, tetapi terlihat di beberapa titik, jemaah berusaha pindah
jalur dengan mencoba membuka pintu pembatas, bahkan ada yang meloncatinya. “Laa Haj! Laa Hajjah Laa!” Teriakan petugas Arab yang disambut dengan
gelengan kepala dan isyarat tangan pun sepertinya kalah tertelan suara protes
para jemaah yang sudah kelelahan. Membuka pagar pembatas sangat membahayakan
memotong arus.
Sepertinya hari
Nahr (10 Dzulhijah) dan hari pertama Tasyrik (11 Dzulhijah) adalah titik kritis
pelaksanaan ibadah haji. Para jemaah haji yang telah kelelahan wukuf di Arafah,
berjalan kaki menuju Muzdalifah untuk mabit dan kemudian berjalan kaki menuju
Jamarat di Mina untuk melempar jumrah Aqabah. Disinilah titik dimana kondisi
emosional ada dititik terbawah. Kelelahan, belum lagi ditambah jika cuaca panas
yang tidak mendukung serta pengaturan yang kurang maksimal bisa menjadi pemicu
terjadinya tragedi. Mengatur jutaan orang di lapangan tidaklah semudah teori di
atas kertas.
Pada hari Nahr,
semua orang tentunya ingin mengambil waktu utama yaitu sekitar pukul 08.00 –
11.00, bertepatan dengan waktu dhuha. Juga adanya batasan waktu pelemparan jumrah
aqabah pada hari Nahr yaitu sebelum matahari tenggelam, membuat pengaturan
super ketat harus diberlakukan. Oleh sebab itu mungkin pemerintah Indonesia
mengatur pelaksanaan waktu melempar jumrah di setiap maktab untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan.
"Hajj! Hajj! Hajjah! Hajjah!" Teriakan petugas terus terdengar sayup-sayup di belakang, entah berteriak karena apa lagi.
Jumratul Aqabah
Mendekati
Jamarat semua jalur menjadi satu memasuki gedung Jamarat. Aku semakin kencang
menarik ujung kain ihram suamiku. Pintu masuk jamarat sangat padat, tetapi
semua tertib, berjalan perlahan mengikuti arus. Di tengah lautan orang tinggi
besar, aku dan suamiku mungkin batas ketiak mereka.
Memasuki Jamarat,
terlihat tiga tiang berjejer memanjang. Berurutan dari arah kami masuk:
Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Hari ini, Jumratul Ula dan
Aqabah terlihat kosong. Ya, karena pada hari Nahr, kita hanya melempar di
Jumratul Aqabah, tiang yang terdekat dari arah Mekkah.
Tiang satu dan
tiang dua kami lewati menuju tiang yang terjauh, dan menuju tiang terdekat dari
arah Mesjidil Haram. Lingkaran area lempar jumaratul Aqabah sangat penuh. Kami
praktekan cara mendekati Aqabah tanpa melawan arus. Kami masuk dari ujung,
disela-sela ketiak orang-orang yang tangannya dalam posisi melempar, bergeser sedkit
demi sedikit di sepanjang bibir lingkaran, terus ke tengah sampai akhirnya kami
tiba di posisi tengah yang jarak lemparannya terasa lebih dekat dibandingkan
melempar dari ujung. Dan, satu demi satu, ke tujuh kerikil mendarat di
tempatnya diikuti suara takbir disetiap lemparannya.
Jamarat telah
banyak mengalami perbaikan. Kini Jamarat terdiri dari lima lantai yang bisa
dipergunakan untuk ibadah lempar jumrah. Terdapat banyak pintu masuk dan pintu
keluar. Pintu akses ini diatur sedemikian rupa sehingga jemaah yang datang tidak akan bentrok dengan jemaah yang keluar. Semua diatur supaya jemaah bergerak dalam satu jalur.
Sejarah Melempar Jumrah
Lempar jumrah,
sering diidentikan dengan melempar setan atau simbol perlawanan terhadap setan
yang sering mengganggu manusia. Tak jarang dengan memaknai seperti ini, banyak
jemaah haji yang melempar dengan geram, melempar menggunakan batu kerikil
besar, bahkan anekdotnya ada yang digambarkan melempar dengan sendal atau botol
minuman sambil memaki setan. Entahlah anekdot yang beredar itu benar atau
tidak.
Konon kabarnya
di sinilah saat nabi Ibrahim dan keluarga digoda setan ketika hendak
melaksanakan perintah-Nya untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim menolak rayuan
setan dan melemparnya di tempat jumrah Ula. Setan kemudian merayu Hajar, ibunda
Ismail agar mengurungkan niat Ibrahim menyembelih putranya. Kasihan setan,
karena ternyata bunda Hajar pun tidak mempan dengan bujuk rayunya dan bunda
Hajar melemparnya di tempat melemparnya jumrah Wustha. Hingga akhirnya setan
merayu Ismail yang ternyata seperti halnya ayah dan ibunya yang tidak goyah
dengan bujuk rayunya. Ibrahim, Hajar dan Ismail melempari setan di tempat kita
melempar jumrah Aqabah.
Apakah benar
kita melempar setan? Aku tak tahu. Yang aku pahami adalah melempar kerikil pada
hari nahr dan 3 hari tasyrik semata-mata untuk mengingat Allah. Tunduk dan
patuh kepada perintah-Nya. Dan kita hanya mengambil pelajaran dari Ibrahim,
bapak para anbiya, bahwa semuanya adalah milik Allah SWT semata.
Betul kata Pak
Ustad pada khutbah Idul Adha kali ini, dalam setiap diri kita ada Ibrahim dan
kita mungkin memiliki Ismail. Ismail kita bisa ANAK-ANAK yang kita lahirkan.
Ismail kita bisa jadi adalah HARTA KEKAYAAN yang kita sayangi. Ismail kita
mungkin PANGKAT & JABATAN kita. Ismail kita bisa pula ISTRI atau SUAMI yang
kita miliki. Ismail kita bisa saja ORANG TUA yang kita CINTAI. Ismail kita
sangat mungkin PEKERJAAN yang kita banggakan. Kita banyak memiliki ISMAIL!
Puncak dari
Haji dan Idul Adha adalah penyerahan secara totalitas, bahwa semua adalah
kepunyaan-Nya, termasuk badan dan jiwa kita.
#Cilegon, 11 Dzulhijah, teriring doa untuk para jemaah haji yang menjadi korban tragedi Mina, semoga amal ibadahnya di terima dan dibangkitkan kelak di hari kiamat dalam keadaan berpakaian ihram dan bertalbiyah.
#Cilegon, 11 Dzulhijah, teriring doa untuk para jemaah haji yang menjadi korban tragedi Mina, semoga amal ibadahnya di terima dan dibangkitkan kelak di hari kiamat dalam keadaan berpakaian ihram dan bertalbiyah.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar. Silahkan tinggalkan jejak, ya.
Follow my media social for any update of articles
Twitter: @mandalagiri_ID
Instagram: mandalagiri_ID