Masy'aril Haram, 2 Tahun Lalu
Hari ini tepat 2 tahun lalu pada
penanggalan kalender Islam.
Masy'aril Haram (source:Help for Haj) |
Lembaran tikar dan bekas kardus-kardus
makanan bertebaran tidak karuan. Padang yang semula bersih, kini hanya
menyisakan sampah-sampah tidak bertuan. Di beberapa pojok lapangan masih ada
satu dua rombongan yang masih bertahan menunggu fajar menyingsing disaat
sebagian besar orang sudah bergerak saat waktu melewati tengah malam
meninggalkan daerah tidak bertuan ini.
Terbangun dalam suasana yang hening, di
tengah hamparan padang kosong, memandang atap langit hitam yang terasa begitu
luas, badan rasanya menciut ratusan jutaan kali lipat mungkin milyaran kali
lipat, entahlah mungkin tidak terhitung. Rasanya seperti tersedot pusaran
besar. Begitu kecilnya tubuh ini dibandingkan dengan kerajaan-Nya yang meliputi
seluruh jagat raya.
Melepas Lelah, Beristirahat Beratapkan Langit Luas Tanah Haram Muzdalifah
Suara dekuran yang walaupun pelan tapi
terasa begitu jelas di telinga menambah suasana yang tidak akan terlupakan di
padang Muzdalifah ini. Terbayang sosok nabi Muhammad SAW saat memimpin
rombongan haji pada haji wada, berdiri di tempat ini, mabit dan menanti fajar
menyingsing untuk melaksanakan sholat subuh 2 rakaat dan berdoa mengangkat
kedua tangannya menghadap Ka'bah.
"Sampai jam berapa kita mabit di
muzdalifah yah?" tanyaku suatu waktu ketika belajar manasik.
"Nabi SAW berangkat ke muzdalifah dari
Arafah, menjama sholat Magrib dan Isya, bermalam di Muzdalifah," jawab
suamiku menerangkan, "Beliau kemudian melaksanakan sholat Shubuh 2 rakaat
saat waktu shubuh dan berdiam sampai langit berwarna kekuningan, kemudian
bertolak ke Mina sebelum matahari terbit."
Menyisakan Sampah (dok pribadi) |
Tetapi aku malah jatuh cinta di Muzdalifah.
Suasana yang hening ditengah gurun, betul-betul perfect untuk teringat akan
eksistensi diri yang tiada arti tanpa-Nya. Walaupun tidur beralaskan sobekan
karton, yang bergelombang disana sini karena bebatuan di bawahnya, tidurku
sangat nyenyak walaupun cuma beberapa jam.
Di Muzdalifah, waktunya untuk beristirahat,
karena keesokan hari tantangan berat menanti. Itu yang aku dengar dari salah
seorang ustadz. "Esok hari harus menuju Mina untuk lempar jumrah aqabah,
tahalul pertama kemudian menuju ke mekah untuk tawaf ifadhah dan tahalul
akhir," jelas beliau selanjutnya, "setelah melaksanakan sholat,
tidur! Kemudian bangun untuk sholat subuh, berdoa, membaca takbir, tahlil
dan kalimat tauhid sampai langit berwarna kekuningan. Itu manasik Nabi
SAW."
Aku lirik lelaki disebelahku yg masih
tertidur. "Ayah, bangun. Orang-orang udah pada pergi yah," aku
khawatir, menggoyang-goyang tubuhnya supaya bangun, "kalau ditinggal bis
bagaimana?"
"Hmmm...jalan kaki saja," sahutnya
masih dengan mata terpejam. Mataku berkeliling memandang seluruh penjuru
Masy'aril Haram, hati sedikit tenang, masih terlihat beberapa rombongan yang
masih bertahan. Lelaki di sampingku pun tak lama bangun, disusul Pak Jaksa yang
agak terpisah beberapa jengkal. Berdua mereka bangkit menuju toilet yang
jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kami beristirahat.
Rombongan kami memang tersisa 3 orang,
sedangkan yang lain telah berpamitan lewat tengah malam, "kami duluan ya,
banyak orang tua dan wanita," pamit salah seorang pembimbing haji
rombongan lain yang berangkat bersama sejak dari Arafah, begitu jam 12 malam
lewat sedikit. Ya, Islam memang indah, tidak menyulitkan umat.
Till We Meet Again, Muzdalifah!
Suara adzan sayup terdengar. Sepertinya
berasal dari mesjid Masy'aril Haram, tempat baginda nabi berdiri sebelum
bertolak menuju Mina.
Sholat shubuh ditengah heningnya dan
gelapnya dunia, berhamparkan tikar lusuh dan kardus bekas, terasa berbeda. Kami
berdiri menghadap kiblat, berdoa memanjatkan segala permohonan dalam hati.
Tetapi yang terpanjat hanyalah permohonan ampunan serta kalimat sederhana yang
berjuta makna, takbir, tahlil dan kalimat tauhid, la ilaha Illallah. Tak kuasa
meminta selain ampunan karena begitu banyak nikmat yang ternyata Allah berikan
tanpa kita memintanya. La ilaha illahllah wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa
lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir.
Dan permohonan yang terakhir terpanjatkan di
hati adalah, ya Allah, perkenankan kami hadir kembali menjadi tamu Engkau.
"Ayo sebentar lagi matahari terbit,
kita harus segera berangkat menuju Mina," ajak suamiku sambil melipat
tikar yang sudah lusuh.
"Tunggu sebentar yah, sepertinya ada
yang ketinggalan rombongan tuh," tunjukku pada seorang bapak berpakaian
ihram yang terlihat mondar mandir sendirian.
"Ajak bareng kita aja," sahut Pak
Jaksa. Si Bapak semakin mendekat, dan saat berhadapan dengan kami bertanya,
"kenapa masih di sini? Ketinggalan rombongan?"
Lho? Yang ketinggalan rombongan siapa ya?
"Kami menunggu sebentar setelah shubuh. Ini sudah mau berangkat. Bapak mau
bareng kami?" tawarku.
"Secepatnya ya. Di sana masih ada bis.
Naik bis yang mana saja. Tidak usah menunggu," sahutnya, "secepatnya
ya."
"Maaf, Bapak dari rombongan mana ya?"
Tanyaku masih bingung.
"Saya petugas sweeping yang bertugas
menyisir jangan sampai ada jemaah haji Indonesia yang ketinggalan dan segera
menuju Mina," jawabnya.
Alamak! Malu! Kirain ini Bapak tersesat dan
tertinggal dari rombongannya. "Oh, Bapak petugas haji toh. Aduh maaf, kami
pikir Bapak tersesat," sahut kami sambil mesem malu.
"Iya, saya diperbantukan selama musim
haji," jelasnya, "cepat ya naik bis," perintahnya lagi sambil
meninggalkan kami meneruskan menyisir Masy'aril Haram, tempat yang disebut-sebut
dalam Al-Qur'an ini. Dan kami pun berbalik menuju arah bis yang ditunjukkan
Bapak tadi. Masih ada beberapa bis, tapi sesuai petunjuk Bapak tadi, kami naik
bis mana pun. Tidak masalah, tidak mesti terpaku menunggu yang satu maktab, toh
semua bis menuju ke Mina.
Bye Masy'aril Haram. Tanah syiar para nabi,
tanah haram yang diabadikan Allah dalam kitabnya. Bye, till we meet again!
bagus sekali gan info ny
BalasHapussaya senang berkunjung ke blog anda