“Ke Cirebon yuk,” ajakku ke
Mamah Yani, “aku belum pernah ke Keraton Cirebon lho Mam, selama ini.”
“Duh, pasti lagi rame. Di
Keraton udah siap-siap acara Muludan.”
“Ngga apa-apa Mam, sekalian
jalan-jalan yuk. Masa liburan di rumah terus,” rajukku.
Jadilah, kita ke Cirebon.
Pagi-pagi dari Kuningan menuju Cirebon, melewati daerah Linggarjati, tempat
berlangsungnya perjanjian Linggarjati zaman dulu. Terletak di antara kota
Kuningan dan Cirebon. Suasananya dingin dan sejuk, karena tepat berada di bawah
kaki Gunung Ciremai. Di sini juga, terkenal dengan pemandian air panasnya.
Malah sempat ada wacana Chevron akan memanfaatkan tenaga panas bumi di kawasan
daerah Gunung Ciremai ini.
Well, tapi saat ini kita
bukan akan membahas mengenai Linggarjati. Lain waktu ya!
Kita, kali ini menuju
kawasan Keraton Cirebon. Ada 2 keraton sebetulnya, Keraton Kasepuhan dan
Keraton Kanoman. Kasepuhan berasal dari kata “sepuh” yang berarti “tua”,
sedangkan kanoman, berasal dari kata “anom” alias “muda”. Jadi dahulu kala,
ceritanya kerajaan Cirebon memiliki dua ahli waris, sehingga untuk menghindari
perpecahan, keraton dibagi menjadi dua.
Kemana yak? Kasepuhan atau
Kanoman? Akhirnya diputuskan ke Keraton Kasepuhan. Pemandu jalan sudah siap
memandu begitu memasuki daerah Cirebon. Belok kanan, belok kiri, lurus, ikutin
angkot itu, sepanjang jalan menuju Keraton Kasepuhan, Mamah Yani memandu. Ya
iyalah, hapal, secara sedari kecil tinggal di Cirebon! Buat Mamah Yani mah,
Cirebon daerah kekuasaan.
“Dompet, tas ditaruh di
depan yak. Hati-hati! Sudah mulai ramai persiapan Muludan,” Mamah Yani tak
henti-hentinya memberi intruksi.
“Siap Mam. Laksanakeun!”
Dan betul saja, suasana
sudah ramai. Bingung masuk lewat mana. Di depan kami berderet lapak-lapak
dagangan, mulai dari sepatu, pakaian, pecah belah, makanan, martabak, manisan
khas Cirebon, mainan anak-anak.
“Mam, ngga salah nih kita?” ku
colek Mamah Yani, “ini mah pasar,” kataku celingukan menemukan jalan masuk ke
Keraton Kasepuhan.
“Dulu sih disini,” jawab Mamah Yani, “coba tanya-tanya,” ajaknya lagi.
Ceu Yuyus, mesem-mesem aja sambil
menggandeng tangan Aisya. Sedangkan si Akang, sudah melaju duluan di depan, percaya
diri walaupun salah jalan! Hihi.
Setelah keliling-keliling
sambil tanya-tanya, akhirnya kita melihat gerbang masuk. Dugaanku sih
seharusnya kita tidak jalan sejauh tadi, mestinya ada jalan pintas. Cuma
mungkin diputar-putar biar sekalian lihat-lihat barang dagangan. Walhasil,
sebelum masuk gerbang sudah menggondol sepatu frozennya Azka dan Amrita.
Keraton
Pakungwati
Masuk gerbang pertama,
layaknya gerbang-gerbang candi di daerah Jawa yang berbentuk candi bentar,
terbuat dari tumpukan batu-bata. Setelah membeli karcis, ternyata masih ada
kotak amal yang harus diisi. Eh, ternyata di depan ada gerbang lagi, ada kotak
amal lagi. Jadi setiap memasuki pintu gerbang ada kotak amal yang kita bisa isi
seiklasnya. Entahlah, apakah seperti ini rutin, atau karena berhubung ada acara
Muludan.
Inilah Keraton Kasepuhan,
atau Keraton Pakungwati. Pakungwati adalah istri Sunan Gunung Jati, yaitu Ratu
Dewi Pakungwati putri dari Pangeran Cakrabuana.
Kereta
Singa Barong
Masuk ke area museum Kereta
Singa Barong di sisi kiri pintu masuk, di halaman depan terdapat sebuah kereta
kencana duplikat Pedati Gede Pekalangan. Di dalam museum, terlihat kereta kuno
yang diberi nama Kereta Singa Barong.
Kereta ini berkepala naga, berbelalai
gajah yang memegang trisula dan bersayap seperti garuda, sebagian menganggapnya
buraq. Konon kepala naga mengambarkan persahabatan dengan Tiongkok, Gajah
melambangkan persahabatan dengan India, sedangkan buraq melambangkan
persahabatan dengan mesir.
Kereta Singa Barong
merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Menurut cerita Pemandu, dulu sayap
kereta bisa bergerak, seolah sedang berkepak. Pada zamannya, kendaraan ini
termasuk canggih karena telah memiliki sistem hidrolik dan suspensi, sehingga
Sultan merasa nyaman menaiki kereta ini.
Terlihat pengunjung menaruh
uang di depan setiap benda. Melihat ini, hampir sama dengan yang terlihat di
daerah Banten. Jika berziarah ke area Banten lama, di tempat tertentu tersedia
untuk saweran uang.
Tatapan
Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah Raja
Padjadjaran yang juga merupakan ayah dari Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon,
atau kakek dari Sunan Gunung Jati.
Lukisan Prabu Siliwangi
berada di area museum ini. Awas, hati-hati, lukisan ini seolah-olah sedang
menatap ke arah manapun kita bergerak, posisi kaki kiri juga selalu menghadap
ke pengunjung.
Lukisan ini menurutku
mungkin sejenis dengan lukisan 3D, atau mirip-mirip lukisan gadis muda dan
nenek tua.
Lukisan Prabu Siliwangi, yang dikatakan matanya selalu mengikuti ke mana pun kita bergerak |
Selain, lukisan dan kereta
kencana, di museum ini terdapat tandu yang digunakan untuk membawa permaisuri ataupun raja Cirebon zaman itu.
Tandu yang ada di Museum Singa Barong |
Bangunan
Utama Keraton Kasepuhan
Bangunan utama berwarna
putih, di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja. Bagian
luar bangunan bertembok besar dan berwarna putih lebih kental dengan nuansa
Eropa, sementara di bagian dalam pengaruh kebudayaan Jawa dan Tiongkok lebih
dominan.
Di bagian dalam terdapat
bangunan bernuasa hijau, sayang tidak bisa masuk ke dalam. Terlihat seperti
ruang pertemuan dengan singgasana raja di depan. Dinding dalam penuh dengan hiasan
porcelain Tiongkok.
Bagian dalam keraton terlihat perpaduan budaya dengan Cina, banyaknya hiasan porselin di dinding |
Museum
Benda Kuno
Sebelum keluar dari
keraton, kami masuk ke museum benda kuno. Di ruangan ini dipamerkan berbagai
macam benda-benda kuno yang digunakan pada zaman itu, seperti alat kesenian,
lampu kristal, kaca hias, tombak, kujang, cudrik dan peralatan berperang,
baju-baju yang dipakai putra-putri raja, serta di pojok pintu keluar kerdapat
kurungan ayam dengan kursi bertitian yang disebut alatTedak Siti atau Mudun
Lemah.
Beberapa peninggalan benda kuno di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan |
Tedak Siti ini, dulu adalah upacara turun tanah untuk bayi yang telah
berusia 7 bulan. Anak dipapah, kakinya di injakkan pada undakan tangga dan
terakhir dimasukkan ke dalam sangkar dan kakinya diinjakkan ke tanah. Kemudian
disuruh memilih, jika mengambil padi diyakini bakal jadi petani, uang
diprediksi menjadi pedagang, dan lainnya.
Sudah tidak penasaran lagi deh akhirnya. Mengunjungi museum mengingatkan kita, betapa kaya nilai kebudayaan Indonesia di masa lampau, juga dapat mengambil pelajaran dari sejarah orang-orang terdahulu. Seperti kata Presiden Sukarno, "Jangan Lupakan Jas Merah."
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar. Silahkan tinggalkan jejak, ya.
Follow my media social for any update of articles
Twitter: @mandalagiri_ID
Instagram: mandalagiri_ID